Semarang, TABAYUNA.com
– Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI menggelar kegiatan bertajuk “Pitutur Cinta: Implementasi Ajaran Agama dalam Bingkai NKRI dengan Semangat Cinta Kasih”, yang melibatkan tokoh lintas agama, akademisi, serta generasi muda dari berbagai latar belakang pada Jumat 18 Juli 2025.

 

Acara yang digelar melalui Bidang Agama, Sosial-Ekonomi, dan Budaya FKPT Jateng yang menjadi momentum penting dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan, cinta kasih, dan toleransi antarumat beragama melalui pendekatan spiritual dan budaya.

 

Dalam sambutannya, Ketua FKPT Jawa Tengah, Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., menegaskan komitmen pihaknya untuk terus memperkuat upaya pencegahan radikalisme dan terorisme secara holistik dan humanis.

 

“Harmoni tidak lahir dari keseragaman, tapi dari perjumpaan dan penghargaan atas keberagaman. Melalui ‘Pitutur Cinta’, kami ingin menghidupkan kembali pesan-pesan kebajikan universal dari ajaran agama yang menanamkan kasih sayang dan persaudaraan antarumat manusia,” ujarnya dalam kegiatan yang digelar secara hybrid tersebut.

 

Kegiatan yang difasilitasi oleh BNPT RI ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, antara lain Direktur Pencegahan BNPT Prof. Dr. Irfan Idris, M.A., Plt. Kepala Kesbangpol Jateng Muslichah Setiasih, S.IP., M.M., M.Eng., yang diwakili Plt. Kepala Bidang Politik Dalam Negeri Rahmad Winarto, narasumber nasional Dr. Sholehuddin, M.Pd., dan daerah Prof. Dr. KH. Syamsul Ma’arif, M.Ag., serta berbagai elemen masyarakat. Hadir peserta melalui Zoom Meeting lebih dari 140 dan juga secara luring di Semarang yaitu di kantor Badan Kesbangpol Jateng, dan di Jakarta.

 

FKPT mencatat, Jawa Tengah merupakan wilayah yang sangat beragam, dengan penduduk mencapai lebih dari 38 juta jiwa, terdiri atas berbagai suku, agama, dan budaya. Berdasarkan data BPS 2024, mayoritas penduduk Jawa Tengah beragama Islam (97,30%), diikuti oleh Kristen Protestan (1,43%), Katolik (1,04%), Buddha, Hindu, dan agama lainnya. Keberagaman ini menjadi kekuatan sekaligus tantangan dalam menjaga persatuan dan mencegah konflik.

 

Kegiatan “Pitutur Cinta” diikuti oleh berbagai unsur seperti jurnalis kampus, wartawan media massa, konten kreator, pondok pesantren, ormas keagamaan, MUI, serta tokoh masyarakat lintas agama dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Hadir pula perwakilan dari Badan Pekerja Harian Sinode GITJ Kabupaten Pati, Majelis ZFZ Kasogatan Temanggung, Bamagnas, Korempa GKJ Tlogosari Semarang, dan Komunitas Mahasiswa Lamaholot.

 

Narasumber utama kegiatan ini, Prof. Dr. KH. Syamsul Ma’arif, M.Ag., Guru Besar Pendidikan Islam UIN Walisongo, menyampaikan materi berjudul “Kolaborasi Pelajar Lintas Agama dalam Menciptakan Kesejukan dan Kedamaian yang Inklusif dalam Beragama.” Selain itu, kegiatan ini juga dilengkapi dengan diskusi dan lomba pembuatan konten dakwah perdamaian secara daring.

 

FKPT Jawa Tengah berharap kegiatan ini mampu mencetak agen perdamaian dan duta harmoni dari kalangan muda yang aktif menjaga nilai-nilai kebangsaan dan toleransi.

 

Di akhir sambutannya, Dr. Hamidulloh Ibda turut menyampaikan ucapan selamat ulang tahun ke-15 kepada BNPT RI. Ia mengapresiasi kerja keras dan dedikasi BNPT dalam menjaga keamanan nasional dari berbagai potensi ancaman radikalisme dan terorisme.

 

“Kami yakin sinergi lintas lembaga akan membawa Indonesia semakin kuat dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045,” pungkasnya.

 

Kegiatan itu secara resmi dibuka secara resmi oleh Direktur Pencegahan BNPT Prof. Dr. Irfan Idris, M.A. Pihaknya menyebut pentingnya menguatkan imunitas kebangsaan tanpa harus melabeli kelompok tertentu. Dalam paparan sambutan, Prof Irfan juga berharap di era post-truth ini, para generasi muda bisa memanfaatkan beragam sumber selain media internet. Usai dibuka, kegiatan dilanjutkan dengan paparan materi dari kedua narasumber. (*)


Oleh : Deby Arum Sari

Ada hari-hari ketika tubuhku berjalan, tapi jiwaku tertinggal entah di mana. Aku tersenyum, berbicara, bekerja, seperti biasa. Tapi di dalam, semuanya terasa sunyi dan hampa. Aku seperti mesin yang diprogram untuk terus hidup, padahal di balik kulit ini ada hati yang ingin berhenti sejenak dan hanya... diam.


Aku dan jiwaku pernah akur, dulu. Saat dunia masih sederhana. Saat luka bisa sembuh dengan pelukan ibu atau bermain di bawah hujan. Tapi entah sejak kapan kami mulai terpisah. Mungkin saat dunia mulai menuntut lebih dari yang bisa kutanggung. Atau saat aku mulai berpura-pura kuat agar tak jadi beban bagi siapa pun.


Suatu malam, aku duduk di pojok kamar dan berbisik lirih, “Di mana kamu?”

Jiwaku tidak menjawab. Tapi ia hadir dalam bentuk sesak, yang menyelinap perlahan seperti kabut, lalu menggenang menjadi tangis. Tangis yang bukan karena sedih, tapi karena akhirnya... merasa lagi. Setelah sekian lama hanya bertahan, hanya "berfungsi".


Aku mulai sadar, aku terlalu sering memaksa. Memaksa tersenyum saat ingin berteriak. Memaksa baik-baik saja demi tidak membuat orang lain khawatir. Aku lupa: jiwaku bukan mesin. Ia tidak butuh dilawan. Ia butuh istirahat. Ia butuh didengar. Ia butuh dipeluk—oleh diriku sendiri.


Kini, aku sedang belajar menyatu kembali dengannya. Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah. Belajar menangis tanpa merasa lemah. Belajar bahagia tanpa perlu validasi dari luar. Dan yang paling sulit: belajar memaafkan diriku sendiri—untuk semua luka yang kututup rapat.


Aku dan jiwaku masih dalam perjalanan menuju pulih. Tapi kami sudah berjalan bersama lagi, meski pelan. Dan bagiku, tak ada yang lebih menenangkan daripada tahu bahwa aku tak lagi sendirian di dalam diriku sendiri.


Oleh: Deby Arum Sari

Dito adalah anak kelas 5 SD yang sangat suka bersepeda. Setiap sore, ia selalu mengayuh sepedanya keliling desa, melewati sawah, jembatan bambu, dan pohon-pohon besar yang seperti penjaga setia jalanan. Tapi suatu hari, Dito menemukan sesuatu yang tidak biasa.


Pagi itu, ketika sedang membersihkan gudang di belakang rumah bersama kakeknya, Dito melihat sebuah sepeda tua berwarna merah yang sangat berdebu. "Sepeda siapa ini, Kek?" tanya Dito sambil menyentuh sadelnya.


"Itu sepeda kakek waktu kecil. Tapi katanya... itu sepeda ajaib," jawab sang kakek sambil tersenyum misterius.


Dito tertawa, "Sepeda ajaib? Maksudnya bisa terbang?"


"Kau coba saja sendiri. Tapi ingat, jangan gunakan sepeda itu untuk hal yang serakah atau jahat."


Malamnya, Dito tak bisa tidur. Pikirannya terus terbayang sepeda ajaib. Keesokan harinya, diam-diam ia mendorong sepeda tua itu keluar rumah dan mulai mengayuhnya.


Awalnya terasa biasa saja, tapi ketika Dito berkata pelan, “Andai aku bisa pergi ke negeri awan,” tiba-tiba sepeda itu mengeluarkan suara kring kring lalu... wuuuussshh! Roda depannya terangkat, lalu tubuh Dito dan sepedanya melayang tinggi ke langit!


Ia benar-benar berada di negeri awan! Segalanya putih, empuk, dan penuh warna pelangi. Burung-burung bisa berbicara, dan ada kelinci yang bisa menyanyi. Dito tertawa riang, bermain seluncuran pelangi dan makan permen kapas dari awan.


Namun tiba-tiba, datang awan hitam bernama Awu, si awan iri. Ia tidak suka ada anak manusia masuk ke dunia mereka. “Kau tidak boleh di sini!” teriak Awu sambil mengumpulkan hujan badai.


Dito panik, tapi sepeda ajaibnya berbisik, “Jangan takut, ucapkan keinginan pulang.”


Dengan cepat Dito menutup mata dan berkata, “Aku ingin pulang ke rumah sekarang!”


Wuuuusshhh! Dalam sekejap, ia sudah kembali di belakang rumah, dengan sepeda tua yang kini bersih dan berkilau seperti baru.


Sejak hari itu, Dito menjaga sepeda itu dengan baik dan hanya menggunakannya ketika benar-benar perlu. Ia tahu, kekuatan ajaib adalah anugerah yang harus disyukuri, bukan untuk pamer atau disalahgunakan.


Dan setiap kali ia mengayuh sepedanya, Dito selalu tersenyum... karena siapa tahu, petualangan ajaib berikutnya sedang menunggu di tikungan jalan.


Oleh : Deby Arum Sari

Sate bukan sekadar hidangan. Ia merupakan gabungan budaya, teknik memasak, dan cita rasa yang sudah menjadi bagian penting dari identitas kuliner bangsa Indonesia. Dari ujung barat hingga timur nusantara, hampir setiap daerah memiliki varian satenya masing-masing, mulai dari sate ayam, sate kambing, sate lilit khas Bali, hingga sate Padang yang dikenal dengan kuah kental dan bumbu rempahnya yang tajam. Meski ragamnya berbeda, semuanya memiliki satu kesamaan: dibakar perlahan di atas bara api, penuh ketekunan dan kehangatan.


Ada daya tarik tersendiri dalam proses memasak sate. Tusuk demi tusuk daging disusun dengan cermat, dibumbui, kemudian dibakar sambil terus dikipasi hingga aromanya menyebar memikat. Bagi banyak orang, aroma sate bukan hanya menggugah selera, tapi juga membangkitkan kenangan masa lalu. Tentang makan malam keluarga di akhir pekan, pesta kecil di halaman rumah, atau momen santai di warung pinggir jalan yang penuh canda tawa.


Di tengah maraknya makanan cepat saji dan kuliner instan, keberadaan sate kadang dianggap usang. Padahal, justru dalam proses memasaknya yang tidak tergesa-gesa, tersembunyi nilai yang mahal. Sate mengajarkan bahwa hal-hal yang dibuat dengan sabar dan tangan sendiri akan menghasilkan rasa yang lebih bermakna.


Keunikan sate juga tercermin dalam keberagamannya. Setiap daerah memiliki bumbu khas yang mencerminkan karakter lokal. Ada yang menggunakan sambal kacang yang manis dan gurih, ada yang memakai kuah kuning pedas, bahkan ada yang cukup dibumbui garam lalu dibakar. Ini menunjukkan bagaimana satu jenis makanan bisa diolah menjadi beragam cita rasa tanpa kehilangan jati dirinya.


Sate bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang filosofi hidup. Ia mengajarkan pentingnya menjaga nilai, mengenali proses, dan merawat tradisi. Bukan makanan kekinian yang datang dan pergi, tetapi warisan rasa yang terus hidup dari generasi ke generasi.


Dalam seporsi sate, tersimpan bukan hanya potongan daging dan bumbu, tapi juga potongan-potongan kisah hidup masyarakat Indonesia. Tentang gotong royong, kesederhanaan, dan cinta terhadap tanah air melalui masakan. Sate dengan segala kehangatannya adalah jembatan antara lidah dan identitas.