Ilustrasi http://Muhammadiyah.or.id |
Oleh Ahmad Fauzi
Saat NU dan Muhammadiah bersatu, kekhawatiran itu berlalu. Saya mengenal Abdul Mu'ti saat beliau masih menjadi dosen pengajar di IAIN Walisongo Semarang. Waktu itu saya semester 5 tahun 2001, datang ke rumahnya di karonsih untuk meminta beliau menjadi pembimbing dalam organisasi yang saya dirikan, yaitu Islamic Study Club.
ISC memiliki dua pembimbing dosen yaitu Muhsin Jamil dan Abdul Mu'ti. Kedua pembimbing saya ini sudah lama saya prediksi akan menjadi bintang bersinar di masa depan. Yang pertama kini Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang. Dan yang kedua, Sekretaris Umum PP Muhammadiah.
Tahun 2001, saya sering berdiskusi dengan keduanya. Abdul Mu'thi memang terasa istimewa bagi saya. Lulusan S2 Australia ini menjadi harapan bagi gerakan Kultural dalam Muhamnadiah di masa mendatang. Aspek kultural inilah yang saya harapkan dapat menyatukan diri bersama NU dengan lebih sinergis.
Isu bendera HTI, dianggap oleh Mu'thi sesuatu yang terlalu menghabiskan enersi bangsa dalam sia sia. Muhammadiah tidak perlu masuk dalam pusaran politik kebencian yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Untunglah Pak Haedar Nashir, Doktor Sosiologi lulusan UGM ada satu visi dengan Sekretaris Umumnya. Muhamnadiah memang majemuk. Berdiri di luar negara akan membuat organisasi ini dewasa dan mampu lebih berbuat banyak demi masyarakat dan umat. Terlalu naif menarik Muhammadiah ke dalam politik murahan.
Masyarakat Utama sudah sedikit banyak diwujudkan Muhammadiah dalam bentuk Universitas, Rumah Sakit, Sekolah, Panti Asuhan dan sebagainya. Saatnya Gerakan Kultural menjadi Cahaya Milenial bagi bangsa dan negara.
Tambahkan Komentar