Temanggung, TABAYUNA.com - Ketua Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung Hamidulloh Ibda didapuk menjadi pemateri tunggal dalam Seminar Literasi, Pengumuman Pemenang Lomba Cipta Puisi dan Peluncuran Antologi Puisi "Patriot Is Me" pada Sabtu (10/11/2018) di aula lantai 3 STAINU Temanggung.
Kegiatan ini selain menjadi perayaan Hari Pahlawan juga diperuntukkan merayakan Bulan Bahasa tahun 2018.
Dalam kesempatan itu, Hamidulloh Ibda mengatakan literasi era Revolusi Industri 4.0 tidak cukup literasi lama, namun harus diperkuat dengan literasi baru. "Pemerintah telah merumuskan tiga solusi kemajuan bangsa. Mulai dari kompetensi, karakter dan literasi," beber dia dalam seminar yang dihadiri ratusan pelajar SMA/SMK/MA dan guru se eks Karesidenan Kedu tersebut.
Untuk literasi lama, kata dia, hanya pada literasi membaca, menulis dan berhitung. "Tapi literasi baru menuntut kita untuk menguasai literasi data, teknologi dan literasi manusia," papar penulis buku Media Literasi Sekolah tersebut.
Ia juga menjelaskan posisi pelajar, mahasiswa, guru dan dosen dalam menjalankan Bahasa Indonesia. Selain di dunia jurnalistik, karya tulis ilmiah, bahasa harus dikuatkan melalui karya sastra. "Jika dulu sastrawan itu harus menulis dan dimuat dikirim ke media massa, penerbit, maka sekarang banyak potensi untuk menjadi sastrawan," beber dia.
Pertama adalah cybersastra. "Ini adalah komunitas yang menggerakkan sastra di dunia siber. Anda bisa menirunya sesuai karya sastra yang dipilih. Mau puisi, cerpen, gurindam, fabel, seloka, hikayat, dongeng dan lainnya," papar penulis buku Senandung Keluarga Sastra tersebut.
Kedua adalah sastrawan virtual. "Jadi ini model sastrawan instan. Nulis puisi sebanyaknya, terus diupload di media sosial, terus ngaku sastrawan. Ini yang banyak dipilih anak-anak muda era 21 ini. Tapi saya tidak menyarankan untuk seperti ini," papar penulis buku Stop Pacaran Ayo Nikah tersebut.
Ketiga, sastrawan momentum. "Ini model sastrawan dadakan. Misal presiden, gubernur, bupati yang membaca puisi di momen tertentu. Tapi ya ini bukan jenis sastrawan beneran," ujar dia.
Keempat adalah sastrawan lomba. "Nah ia menjadi sastrawan ketika ada lomba. Baik itu jenis karya sastra lisan atau tulisan," beber peraih Juara I Lomba Artikel tingkat Nasional Kemdikbud tahun 2018 tersebut.
Dari keempat itu, kata dia, silakan mau pilih mana. "Tapi saya menganjurkan ya tetap menulis karya sastra lalu dikirim ke media massa atau penerbit. Atau Anda bisa jadi kritikus, apresiator atau peneliti sastra," papar Ibda yang didampingi moderator M Ulfi Fadli. (tb44/agw)
Kegiatan ini selain menjadi perayaan Hari Pahlawan juga diperuntukkan merayakan Bulan Bahasa tahun 2018.
Dalam kesempatan itu, Hamidulloh Ibda mengatakan literasi era Revolusi Industri 4.0 tidak cukup literasi lama, namun harus diperkuat dengan literasi baru. "Pemerintah telah merumuskan tiga solusi kemajuan bangsa. Mulai dari kompetensi, karakter dan literasi," beber dia dalam seminar yang dihadiri ratusan pelajar SMA/SMK/MA dan guru se eks Karesidenan Kedu tersebut.
Untuk literasi lama, kata dia, hanya pada literasi membaca, menulis dan berhitung. "Tapi literasi baru menuntut kita untuk menguasai literasi data, teknologi dan literasi manusia," papar penulis buku Media Literasi Sekolah tersebut.
Ia juga menjelaskan posisi pelajar, mahasiswa, guru dan dosen dalam menjalankan Bahasa Indonesia. Selain di dunia jurnalistik, karya tulis ilmiah, bahasa harus dikuatkan melalui karya sastra. "Jika dulu sastrawan itu harus menulis dan dimuat dikirim ke media massa, penerbit, maka sekarang banyak potensi untuk menjadi sastrawan," beber dia.
Pertama adalah cybersastra. "Ini adalah komunitas yang menggerakkan sastra di dunia siber. Anda bisa menirunya sesuai karya sastra yang dipilih. Mau puisi, cerpen, gurindam, fabel, seloka, hikayat, dongeng dan lainnya," papar penulis buku Senandung Keluarga Sastra tersebut.
Kedua adalah sastrawan virtual. "Jadi ini model sastrawan instan. Nulis puisi sebanyaknya, terus diupload di media sosial, terus ngaku sastrawan. Ini yang banyak dipilih anak-anak muda era 21 ini. Tapi saya tidak menyarankan untuk seperti ini," papar penulis buku Stop Pacaran Ayo Nikah tersebut.
Ketiga, sastrawan momentum. "Ini model sastrawan dadakan. Misal presiden, gubernur, bupati yang membaca puisi di momen tertentu. Tapi ya ini bukan jenis sastrawan beneran," ujar dia.
Keempat adalah sastrawan lomba. "Nah ia menjadi sastrawan ketika ada lomba. Baik itu jenis karya sastra lisan atau tulisan," beber peraih Juara I Lomba Artikel tingkat Nasional Kemdikbud tahun 2018 tersebut.
Dari keempat itu, kata dia, silakan mau pilih mana. "Tapi saya menganjurkan ya tetap menulis karya sastra lalu dikirim ke media massa atau penerbit. Atau Anda bisa jadi kritikus, apresiator atau peneliti sastra," papar Ibda yang didampingi moderator M Ulfi Fadli. (tb44/agw)
Tambahkan Komentar