Semarang, TABAYUNA.com – Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang melalui Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PGMI menggelar seminar internasional bertajuk “The Role of Religions and Technology in Growing Character in The Digital Era” pada Selasa (4/4/2023) yang bertempat di Gedung Teater ISDB FITK Kampus 3 UIN Walisongo Semarang. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian dari Dies Natalis PGMI ke-16 yang digelar secara tatap muka dan juga melalui Zoom Meeting yang diikuti ratusan peserta dari sejumlah daerah dan luar negeri.
Dalam sambutannya, Wakil Dekan III FITK UIN Walisongo Prof. Dr. H. Muslih M.A., mengatakan apresiasi terhadap kegiatan tersebut karena Jurusan PGMI rutin menggelar kegiatan dies natalis. “Saya mengapresiasi kegiatan ini, karena Jurusan PGMI tiap tahun konsisten menggelar seminar internasional yang menghadirkan para pakar,” katanya.
Dalam sambutannya, pihaknya juga menukil bahwa peran agama dan teknologi dalam membangun karakter di era digital sangat berkesinambungan dan melengkapi. Prof Muslih juga menukil ungkapan ilmuwan Albert Einstein yang menyebut bahwa “science without religion is lame, religion without science is blind” yang artinya ilmu pengetahuan tanpa agama itu cacat, agama tanpa ilmu pengetahuan itu buta.
Maka dari itu, dalam pendidikan, para dokter selain dibekali ilmu-ilmu kedokteran harus dibekali ilmu agama agar tidak menyalahgunakan pengetahuannya. Hal itu juga perlu diperkuat pada ilmu-ilmu matematika, sains, kimia, dan ilmu-ilmu lain.
Dalam kesempatan itu, hadir dua narasumber yaitu dari Universitas Al-Azhar Kairo Mesir Syech Muhammad Athif Iwadh Ramadhan Al-Mishry yang juga dosen ICP Pendidikan Bahasa Arab UIN Walisongo Semarang, dan Wakil Rektor I Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung Hamidulloh Ibda, M.Pd. Hadir juga penerjemah dosen Pendidikan Bahasa Arab Muhammad Fahrun Nadhif, dan moderator Asifatun Hidayah, S.Pd., yang merupakan Ketua Lembaga Pers Mahasiswa UIN tahun 2020.
Dalam paparannya berbahasa Arab, Syech Muhammad Athif Iwadh Ramadhan Al-Mishry mengatakan pentingnya pendidikan Islam dalam membentuk karakter dan generasi yang berkualitas. Hal itu menurutnya harus dimulai dari memilih jodoh untuk berkeluarga, memilih guru, memilih tempat pendidikan baik madrasah, sekolah, pendidikan tinggi.
Pihaknya juga menceritakan tradisi pernikahan di Arab dengan di Indonesia, dan menyampaikan untuk memilih jodoh baik suami atau istri harusnya tidak sekadar dari fulus (materi) saja, namun yang pokok adalah akhlakul karimah karena nanti orang tua khususnya ibu menjadi guru bagi anak-anaknya.
Sementara itu, narasumber kedua Wakil Rektor I Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung Hamidulloh Ibda, dalam paparannya berjudul “Integration of Religion and Science-Technology in Growing Character with The Unity of Science Paradigm” menegaskan bahwa di era digital saat ini banyak sekali kehancuran dan tanda-tanda kehancuran bagi suatu bangsa. Ia menukil 10 indikator kehancuran suatu bangsa dari Thomas Lickona yaitu pertama meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk. Ketiga, pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan. Keempat, meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, seks bebas dan alkohol. Kelima, kaburnya pedoman moral baik dan buruk. Keenam, penurunan etos kerja. Ketujuh, rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru. Kedelapan, rendahnya rasa tanggungjawab baik sebagai individu dan warganegara. Kesembilan, ketidakjujuran yang telah membudaya. Kesepuluh, adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Kita bangsa ini seakan memilikinya secara lengkap.
Pihaknya menukil idiom kehancuran di dalam Al-Quran yaitu pertama, jahiliyah yang merupakan kerusakan bidang akal/intelektual, seperti zaman Jahiliyah dan sudah ada sejak pra Islam atau pra Rasulullah Saw. “Kedua, adalah fasad, ini merupakan kerusakan di atas jahiliyah, bisa termasuk bidang moral/tindakan manusia. Ketiga adalah zulumat, yaitu kerusakan yang kompleks, kegelapan, kasus akal dan moral. Keempat yang terakhir adalah kiamat, ini merupakan kehancuran segalanya, baik ada yang skala kubro maupun sughro. Jika kita lihat kondisi Indonesia hari ini, kata dia, kira-kira Indonesia pada posisi yang mana?” kata Ibda yang juga International Reviewer di International Journal Ihya' 'Ulum al-Din tersebut.
Ibda yang juga International Reviewer di International Journal of Social Learning menegaskan, era disrupsi dan pandemi Covid-19 menjadikan Indonesia mau tidak mau harus mengoperasikan teknologi. Namun di sisi lain, era digital seperti saat ini, menurut Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise 2017, banyak sekali muncul pakar abal-abal. “Siapa yang membunuh pakar? Kita bisa lihat para Selebgram, Youtuber, Influencer, Buzzer, mereka hanya menguasai teknologi, tapi kebanyakan bukan pakar,” katanya.
Ciri berikunta adalag bisa sedikit, tapi sudah mengaku pakar. “Banyak orang tidak punya basik keilmuwan dan sanad keilmuwan yang jelas, tapi mengaku pakar, dan banyak orang tidak jelas otoritas keilmuan tapi dijadikan rujukan. Inilah tantangan pendidikan khususnya guru MI/SD yang harus bisa menjawabnya. Seperti contoh, hari ini kita mau membuat daftar isi skripsi, saya pastikan hampir 90 persen mahasiswa tidak tanya dosen, namun tanya di Youtube,” kata Ibda yang merupakan International Reviewer Pegem Egitim ve Ogretim Dergisi Turkey tersebut.
Pihaknya menawarkan sejumlah gagasan untuk membentuk generasi yang berkarakter, memegang teguh nilai dan ajaran Islam, perlu merujuk paradigma keilmuwan yang dikembangkan oleh UIN Walisongo Semarang yaitu Unity of Science, Wahdatul Ulum, atau paradigma kesatuan ilmu. “Jika kita merujuk Ian Graeme Barbour dalam bukunya Religion and Science dan Issues in Science and Religion, atau M Amin Abdullah dalam bukunya Islamic Studies di Perguruaan Tinggi, Pendekatan Integratif- Integratif, di sana dijelaskan bahwa potensi agama – sains dan juga teknologi ada empat, yaitu konflik, independent, dialog dan integrasi. “Hampir semua perguruan tinggi keagamaan Islam mengadopsi skema atau model integrasi termasuk UIN Walisongo Semarang,” beber mahasiswa S3 Pendidikan Dasar UNY tersebut.
Ia juga mengaskan, paradigma Unity of Science yang digagas Abdul Muhaya dan Muhyar Fanani tersebut bisa diimplementasikan dengan menyatukan agama, nilai-nilai agama, karakter yang dijadikan ruh dalam pendidikan, yang dibantu sains-teknologi baik sebagai alat, media, dan materi untuk membangun karakter bagi pelajar dan mahasiswa.
Usai pemaparan materi, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab baik dari peserta yang datang di lokasi maupun yang hadir melalui Zoom. Di akhir sesi, kegiatan diakhiri dengan doa dan foto bersama. Dalam kesempatan itu, hadir Kajur PGMI FITK UIN Walisongo Hj. Zulaikha, M.Ag., M.Pd., dan Sekjur Kristi Liani Purwanti, S.Si., M.Pd., sejumlah dosen, panitia, pengurus HMJ PGMI, dan mahasiswa dari PGMI UIN Walisongo dan sejumlah perguruan tinggi dari luar. (*)
Tambahkan Komentar