Oleh: Arini Ulya Tazkiyati
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Keguruan INISNU Temanggung,
Biodata Buku
Judul Buku : MEMBANGUN PARADIGMA KEILMUAN
Integrasi- Kolaborasi,Collaboration
of Science, Takatuful Ulum “KETUPAT ILMU”INISNU-UNISNU TEMANGGUNG
Penulis / Penyusun : Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd.
Penerbit : YAPTINU Temanggung
Tebal Buku
: 14x12cm, xix+ 202 Halaman
Cetakan : I, Januari 2021, II, September 2023
ISBN :
978-623-96062-0-6
Di dalam buku ini ada beberapa Bab. Bab yang
pertama adalah Bab Pendahuluan. Bab Pendahuluan mengkaji beberapa konsep yaitu
tentang paradigma ilmu, urgensi paradigma keilmuan, relasi ilmu, integrasi keilmuan,
dan urgensi konversi perguruan tinggi. Bab yang kedua atau Bab II membahas
model-model paradigma keilmuan PTKI di Indonesia. Bab yang ketiga atau Bab III
membahas tentang konsep paradigma keilmuan Ketupat Ilmu. Bab yang Ke empat atau
Bab IV membahas tentang implementasi paradigma keilmuan Ketupat Ilmu.
Paradigma merupakan salah satu istilah yang
sudah banyak digunakan berbagai ilmuan. Istilah lain dari paradigma adalah
theoretical framework (kerangka teoretris), conceptual framework (kerangka
konsptual), frame of thinking (kerangka pemikiran), theoretical orientation (orientasi
teoritis), perspective (sudut pandang), atau approach (pendekatan). Paradigma merupakan
konstruksi berpikir yang mampu menjadi wacana dalam temuan ilmiah yang dalam
konseptualisasi thomas s khun adalah menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru.
Menurut khun ilmu bergerak melalui
tahapan-tahapan yang berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk”
karena telah digantikan ilmu atau paradigma baru. Selanjutnya paradigma baru
mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga mebjadi paradigma baru. Paradigma
dalam bahasa yunani para deigma, dari pada (disamping, disebelah) dan dekynai
(memperlihatkan: yang berarti model, contoh arketipe, ideal). Paradigma
merupakan cara pandang seseorang tentang suatu pokok permasalahan fundamental untuk memahami suatu ilmu maupun
keyakinan dasar dalam menuntun seorang bertindak dalam kehidupan. Paradigma
dalam displin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya
yang akan mempengaruhinya dalam berfikir (kognitif), bersikap ( afektif), dan
bertingkah laku (konafif). Pendapat khun ini memberikan gambaran paradigma
sendiri memiliki setting sejarah perkembangan antara paradigma lama dan
paradigma baru. Namun substansinya sama-sama mengarah pada kepentingan ilmu
pengetahuan itu sendiri, sehingga paradigma menjadi penting sebagai bagian dari
entitas ilmu pengetahuan.
Dalam bahasa indonesia, istilah “ilmu
pengetahuan” atau “sains” memiliki sejumlah persamaan kata dalam bahasa asing
seperti science (bahasa inggris), wissenschaft (jerman), atau wetenschap
(belanda). Maksud pengertian science, adalah natural sciences (ilmu-ilmu dasar
atau basic sciences), disebut pula sebagai pure sciences (ilmu-ilmu murni)
seperti biologi, fisika, kimia, dan astronomi, dengan segala cabangnya. Ilmu (logos)
merupakan pengetahuan melalui usaha sadar, sistematis, empirik, dan tidak
berdasarkan mitos. Hal ini berarti berdasarkan ilmu pengetahuan, yang dilandasi
penelitian objektif dari bidang kajian ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Paradigma keilmuan pada intinya adalah seperangkat
kepercayaan berdasarkan ilmu pengetahuan untuk melakukan sekaligus
mengembangkan tindakan berdasarkan kebenaran dan validitas. Dalam konteks paradigma
keilmuan, dapat digunakan dalam ilmu sebagai model. Contohnya pola yang dapat dijadikan
dasar untuk menyeleksi berbagai problem-problem serta pola-pola untuk mencari
dan menemukan problem-problem yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk
memecahkan problem problem riset. Paradigma keilmuan memudahkan dalam
merumuskan tentang apa yang harus dikaji, masalah apa yang harus dijawab dan
aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang benar.
Paradigma ilmu memiliki peranan penting dalam
proses keilmuan. Paradigma keilmuan berfungsi untuk memberikan kerangka,
mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Tidak hanya itu,
paradigma ilmu juga berfungsi sebagai lensa para ilmuan dan dapat mengamati memahami
masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban ilmiah terhadap
masalah-masalah tersebut. Maka paradigma merupakan aspek yang begitu penting
dalam proses keilmuan dan dijadikan sebagai seperangkat kepercayaan atau
keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari
hari atau dengan ibarat lain paradigma merupakan merupakan sebuah jendela
tempat orang mengamati dunia luar dan tempat orang bertolak menjelajahi dunia
dengan wawasannya dan sebagai kumpulan tata nilai sebagai pola pikir seseorang sebagai
titik tolak pandangannya sehingga dapat membentuk citra subjektif seseorang mengenai
realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu
sebagai para filosof terdahulu yang mempunyai pendapat berbeda dalam meyakini
sebuah sebuah penemuannya.
Maksud paradigma keilmuan yang dibangun pra
dan pasca KMA INISNU bahkan UNISNU Temanggung memiliki beberapa alasan : agar
tidak bebas nilai, menghilangkan dikkotomi ilmu agama, tidak kehilangan arah
sesuai manhajul fikr (metode berfikir) aswaja annahdliyah, penciri dan pembeda dengan
PT lain, menjadi dasar pelaksanaan Tri Darma PT.
Dari beberapa alasan inilah, STAINU yang kini
berkonversi menjadi INISNU yang ke depan diprioritaskan menjadi UNISNU akan
semakin jelas jika sejak dini ditentukan paradigma keilmuannya. Dari paradigma
keilmuan itu akan lahir berbagai disiplin ilmu, metode, sampai pada tataran
tekhnis. Tanpa paradigma keilmuan yang jelas, akan lahir fenomena tercerabutnya
perguruan tinggi yang melepaskan tradisi keilmuan yang menjadi ruh atau
dasarnya. Hal ini menjadi keresahan bagi ilmuan karena penyelenggaraan
pendidikan tinggi hanya berorientasi pada bisnis semata dan melupakan tugas
pokoknya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang kompatibel dengan keimanan
dan ketakwaan.
Dalam tradisi keilmuan di dunia islam adanya
dikotomi ilmu bukanlah hal baru. Dikotomi ini masih bisa ditolelir, karena para
ilmuan saat itu tetap mangakui validitas dan status ilmiah masing masing, dan
diantara mereka banyak yang menguasai lebih dari satu bidang keilmuan. Misalnya
Jabir Ibnu Hayyan, al khawarizmi, al kindi, abu bakar al razi, ibnu sina, al
biruni. Ibnu nafs, dan ibnu khuldun. Dari karya-karya mereka ini telah
melahirkan berbagai ilmu, yang kemudian diambil dan dikembangkan di dunia
barat, hingga saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami perkembangan
yang luar biasa.
Di indonesia sendiri, pada masa penjajahan terjadi
dikotomi keilmuan, yaitu ilmu pengetahuan agama islam yang diajarkan di pondok
pesantren dan ilmu pengetahuan umum (modern) yang diajarkan sekolah sekolah
yang didirikan belanda. Keadaan ini kemudian melahirkan masalah serius denban
dampak yang besar, yaitu dominasi ilmu pengetahuan modern (sains) dari barat
atas ilmu pengetahuan agama yang berbasis pondok pesantren.
Alquran sangat menegaskan tentang urgensi ilmu
dan keharusan menguasainya. Ilmu dan kehidupan manusia adalah bagaikan kepala
dalam jasad. Allah swt memberikan keistimewaan kepada adam dan memerintahkan
malaikat untuk sujud kepadanya, adalah karena kesiapan adam untuk belajar dan
keberhasilannya untuk mendapatkan ilmu yang diberikan allah swt dan tidak
didapatkan oleh para malaikat. Dengan ilmulah adam menjadi tinggi derajatnya diatas
malaikat. Hal ini mempunyai arti yang sangat tinggi bagi praktisi dan tokoh
pendidikan. Kemudian adanya keutamaan yang diberikan alquran kepada ulama dan
sifat-sifat khusus yang hanya dimiliki ulama, adalah sebagai bukti bahwa ilmu
dalam bidang pendidikan itu mempunyai tempat yang tertinggi dan istimewa. Ilmu
adalah sebagai perantara untuk mengetahui allah swt. Ilmu juva sebagai
perantara untuk mengetahui segala sesuatu dan potensi alam dan mampu
mempergunakannya dalam kemaslahatan manusia.
Antar filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang
sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki
sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Sebab. Akal manusia terbatas, yang tak
mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu
dianggap relatif, nisbi sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya
dianggap mutlak. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih
luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia),
maka filsafat menjangkau wilayah baik fisik maupun yang metafisik ( tuhan, alam
dan manusia ). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya rasional-spekulatif)
membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (agama
wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci tuhan, diyakini
sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara
filsafat dan ilmu dimulai dari keraguan. Ilmu, filsafat dan agama memiliki
keterkaitan dan saling menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu terletak pada
tiga potensi utama yang diberikan oleh tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi
dan rasa serta keyakinan. Melalui ketiga potensi tersebut manusia akan
memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya.
Substansi relasi ilmu, dan agama adalah
sama-sama untuk mencari kebenaran. Ilmu melalui metode ilmiahnya berupaya
mencari kebenaran. Metode ilmiah yang digunakan dengan cara melakukan
penyelidikan atau riset untuk membuktikan atau mencari kebenaran tersebut.
Agama dan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan
alam, manusia, dan tuhan. Relasi ilmu pengetahuan dan agama tidak perlu
dirisaukan dan bahkan menjadi suatu kebutuhan antara keduanya. Dalam kajian
islam, semua “kebenaran” berasal dari tuhan.
Dalam perkembangannya, pengembangan ilmu
pengetahuan empiris (sains) dan ilmu agama oleh masing masing ahlinya ditemukan
hubungan antara keduanya bersifat dikotomis, dialogis, paralel, harmonis,
bahkan konflik atau integrasi. Semuanya itu tergantung sikap dan kedalaman
paradigma yang digunakan. Jika pengembangan suatu ilmu itu rigid dan tak
menoleh ke arah ilmu lain, tidak saling tegur sapa, maka hubungan keduanya
cenderung kaku dan dikotomis. Jika keduanya dapat saling tegur sapa, Saling
memahami, maka akan terjadi bentuk dialog, paralel, dan harmoni, bahkan
integrasi.
Dari semua bentuk itu, jalan yang moderat
adalah dengan melakukan integrasi antara ketiganya. Secara umum, dari penjelasan
itu dapat disimpulkan relasi ilmu pengetahuan, filsafat dan agama atau relasi
ilmu pengetahuan dan agama yang kemudian dijadikan rumusan sebuah bangunan
keilmuan tersendiri.
Para tokoh islam dalam sejarahnya pernah
menyerukan kebangkitan islam. Gerakan kebangkitan islam yang oaling terkenal
misalnya digelorakan oleh Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, melalui
proyek al urwah al wusqo, jalaludin al afghani melalui pan islamisme , serta
ismail razi al faruqi melalui islamisasi ilmu. Dalam segi ilmu pengetahuan,
kecenderungan ini melahirkan proses pengislaman ilmu pengetahuan yang kemudian
dikenal dengan islamisasi ilmu.
Spirit islamisasi ilmu sebenarnya sudah
bergelora sejak lama. Munculnya ilmuan seperti ibnu sina, ibnu rusyd dan
lainnya yang dulu mewarnaj perkembangan ilmu di internal islam, menjadi spirit
untuk menegakkan bahwa islam itu lengkap. Artinya islam mempunyai otoritas
keilmuan lengkap, dari sisi ilmu agama maupun ilmu umum. Secara historis,
muhammad iqbal pada tahun 1930 mengeluarkan gagasan “islamisasi ilmu” yang
dikatakannya sangat penting untuk menyikapi keilmuan barat yang “ateistik”.
Iqbal secara tegas mengemukaman model keilmuan barat yang merasuki dalam
peradaban islam dalam membahayakan akidah islam. Dampak fatal hal itu ditandai
dengan dikotomi atau pemisahan yang jelas antara agama dan ilmu. Maka
dibutuhkan “islamisasi ilmu”. Menurut iqbal, konsep islamisasi ilmu ini
merupakan konversi ide-ide yang mendasari keilmuan barat ke dalam islam.
Gagasan-gagasan ilmuan barat harus dibingkai kembali dalam kerangka islam, yang
muaranya tumbuh dari akar hingga buah tidak mengalami keterpisahan dengan agama
yang menjadi roh sejatinya.
Konsen islamisasi ilmu pengetahuan memiliki
banyak kajian karena banyak tokoh mengemukakan hal itu. Banyak beberapa filsuf
dan pemikir berpendapat atas model ini. Seperti Syeh muhammad naquib al attas,
taha jabir al alwani, dan lain lain. Menurut Taha jabir al alwani islamisasi ilmu
pengetahuan merupakan usaha mengenalkan kembali keagungan alquran, memiliki
konsepsi universal, alternatif, epistemologis dan sistematis. Tujuan islamisasi
ilmu ada empat : membangun pokok pokok sistem epistemologi muslim kontemporer
dari alquran, membangun metode sesuai alquran dan assunnah sebagai sumber ilmu
pengetahuan, pemikiran dan peradaban, membangun metode metode sesuai
peninggalan peninggalan muslim klasik yang dapat meningkatkan peniruan
pelajaran dari kekacauan di zaman zamannya, membangun metode metode berdasarkan
legalitas modern, yang dapat memunculkan interaksi dengan pemikiran dan
peradaban modern global dan memcahkan masalahnya.
Taha jabir al alwani memberi beberapa syarat
epistemologis tentang paradigma islamisasi ilmu. Pertama, pengetahuan apa saja
yang dapat dibuktikan menjadi fakta fakta hang bersifat sains harus legal
diterima Sebagai sesuatu islami. Kedua, semua pengetahuan harus dituntaskan
pada kerangka menyeluruh dari rencana banyak hal. Ketiga, penemuan apapun yang
bertentangan dengan prinsip universal dalam islam harus ditolak.
Ismail raji al faruqi memiliki pendapat
berbeda. Menurutnya, proses islamisasi ilmu dimulai dengan dikenakannya secara
langsung terhadap bidang ilmu yang bersangkutan. Ia memperinci 12 langkah untuk
melakukan islamisasi ilmu : penguasaan disiplin modern ( prinsip, mtodologi, masalah,
tema, perkembangannya), peninjauan disiplin ilmu, penguasaan ilmu warisan islam
(ontologi), penguasaan ilmu warisan islam dari sisi angologis, penentuan relevansi
islam yang tertentu kepada suatu disiplin ilmu, penilaian kritis disiplin
modern untuk memperjelas kedudukan disiplin terhadap langkah yang harus diambil
untuk menjadikannya bersifat islami, penilaian kritis ilmu warisan ilmu islam, seperti
pemahaman atas alquran dan sunnah, kajian dan penelitian masalah utama umat
islam, kajian tentang masalah pokok yang membelit manusia sedunia, melahirkan analisis
dan sintesis yang kreatif, pengacuan kembali disiplin dalam kerangka islam
(kitab-kitab utama teks dalam universalitas), memasarkan dan menyosialisasikan
ilmu-ilmu yang sudah diislamkan.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa islamisasi ilmu (pengislaman ilmu) menjadi bagian penting yang harus
dilakukan perguruan tinggi, khususnya PTKIS dibawah kemenag. Islamisasi ilmu
tidak sekedar mengenalkan kembali keagungan alquran kepada seluruh dunia, namun
juga membuktikan bahwa agama (khususnya islam) bukan sekedar urusan ideologi,
doktrin, namun alquran atau agama sendiri sangat erat kaitannya dengan realitas
sosial, perkembangan IPTEK yang tentu harus dibungkus dengan IMTAK. Hal itu
semakin mempertegas bahwa alquran merupakan tasawwur universal, ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dan selalu relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini masih jarang
dipahami secara radikal dan universal oleh sebagian ilmuan di indonesia.
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan pertama
kali dicetuskan ismail razi al faruqi, seorang pemikir islam dari lembaga
pemikiran islam internasioanl di amerika serikat. Sedangkan gagasan “ilmunisasi
islam”, tokoh tokohnya yaitu muhammed arkoun, fazlur rahman, dan di indonesia
sendiri, konsep pengilmuan islam mencapai gaungnya ketika dicanangkan oleh
pemikir islam indonesia, kuntojiwo. Pengilmuan islam atau ilmuisasi islam ini
sebenarnya mengambil momentum, sekaligus mengkritik, gagasan islamisasi ilmu
yang moncer pada abad ke 19.
Islamisasi pengetahuan pada intinya membawa
sesuai ke dalam islam atau membuatnya dan menjadikannya islam. Islamisasi
secara terminologis merupakan usaha memberi dasar dasar atau tujuan islam yang
diterapkan dengan cara, metode, dan tujuan islam yang diturunkan oleh islam.
Dalam konteks sejarah, konferensi pendidikan islam sedunia pertama pada 31
maret sampai 8 april 1977 di jeddah, saudi arabia, istilah “islamisasi sains” atau
“islamisasi ilmu” juga berkemuka kembali.
Pengilmuan islam merupakan pengembangan lebih
lanjut dari upaya menempatkan alquran sebagai sumber utama rujukan umat islam.
Alquran ditempatkan dalam posisi simetris dengan alam dan juga manusia, yakni
sebagai sumber ilmu. Sebagai sumber ilmu, alquran berpotensi dikembangkan menjadi
berbagai macam teori, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu lain. Pandangan ini
muncul karena alquran memuat konsep yang dapat dianalisis sehingga melahirkan
teori ilmu.
Ada dua metodologi yang dipakai dalam proses
pengilmuan islam, yaitu integralisasi dan objektivitas. Pertama, integralisasi
adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (pegunjuk allah
dalam alquran beserta pelaksanaannya dalam sunnah nabi). Kedua, objektivitas
ialah menjadikan pengilmuan islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatal
lillalamin) gagasan integralisasi
berangkat dari perbedaan pandangan antara ilmu-ilmu sekuler yang merupakan
produk dari peradaban dari barat dengan semngat ilmu-ilmu integralistik yang
diidealkan oleh islam. Perbedaan paradigmatik antara ilmu-ilmu sekuler dengan
ilmu-ilmu integralistik tersebut meliputi berbagai aspek yang dapat diruntut
mulai dari proses lahirnya sebuah ilmu, yakni pada tempat berangkat, rangkaian
proses, produk keilmuan dan tujuan-tujuan ilmu, yang secara umum meliputi aspek
aspek ontologis, epistemologi dan aksiologis.
Sedangkan objektivitas adalah suatu tindakan
yang didasarkan nilai-nilai agama, akan tetapi disublimasikan dalam suatu
tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Tujuannya adalah untuk semua
orang, melintasi batas batas agama, budaya, suku, dan lainnya. Dalam istilah
kuntojiwo, objektivitasi adalah penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam
kategori-kategori objektif. Ada empat hal yang akan dibicarakan yaitu :
mengenai tujuan akhir paradigma islam, keterlibatan umat (paradigma islam)
dalam sejarah, methodoloical objectivism dan sikap paradigma islam terhadap
ilmu-ilmu sekuler.
Dapat disimpulkan ilmunisasi islam atau
pengilmuan islam pada intinya “menjadikan islam sebagai ilmu”. Dalam perspektif
kuntojiwo, perumusan wacana tentang islam itu dilatarbelakangi dari dua aspek.
Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang
masih dibelnggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat
ideologi. Kedua, respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi
agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah.
Pengilmuan islam tidak sekedar berbicara
mengenai islam sebagai sumber ilmu, atau etika islam sebagai panduan penerapan
ilmu. Namun islam itu sendiri yang merupakan upaya “demistifikasi islam” atau
pengilmuan islam. Hal ini adalah gerakan dari teks ke konteks. Objektivitas
ilmu yang dituntut lewat pengilmuan islamnya membuat baju dan atribut islam yang
melekat pada sistem, siyasah, dan objek lain harus dilepaskan nilai islam
menjadi baik bukan karena atribut islamnya, akan tetapi karena karena kebaikan
nilai itu sendiri. Ilmu pun dilepaskan dari label islam, namun islamlah yang
ditarik dalam lingkaran keilmuan, sehingga kebaikan yang ditimbulkan oleh ilmu
bukan karena label islamnya, namun karena disesuaikannya ilmu dengan
nilai-nilai keislaman, pengilmuan islam mempunyai dua metodologi yaitu
integralisasi dan objektifikasi yang bertujuan mengakrabkan antara islam dan
ilmu untuk mencegah ilmu sekuler masuk dan menyebar di tengah masyarakat
muslim.
Selain islamisasi ilmu dan pengilmuan islam,
ada metode atau mazhab dalam paradigma keilmuan yang dikembangkan kampus-kampus
bertile PTKIN. Secara umum, terdapat tiga kelompok besar dalam mendiskusikan
paradigma ilmu, yakni “paradigma sekuler, paradigma islamisasi dan paradigma
integratif”. Ternyata dari metode “islamisasi ilmu” dan “ilmunisasi islam”
banyak berbeda dengan pendapat yang berpola mengintegrasikannya. Artinya dua
hal ini menjadi terpadu ketika diintegrasikan yang tentu dapat dikembangkan
perguruan tinggi di indonesia. Hal itu sudah dilakukan sejumlah universitas di
indonesia yang berbentuk PTKI, mereka berhasil mengintegrasikan yang secara
otomatis melakukan proses perumusan paradigma keilmuan tanpa mendikotomi antara
agama dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Menurut Ian G. Barbour, ada 4 pola hubungan
antara agama dan ilmu, yaitu konflik (bertentangan), independensi (masing
masing berdiri sendiri), dialog (berkomunikasi) atau integrasi (menyatu dan
bersinergi). Pendapat Jhon f. Haught berbeda, ia menampilkan empat tipologi
yaitu: konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.
Mikael stenmark memiliki pendapat lain.
Menurutnya, tipologi barbour dalam merealisasikan agama-sains terlalu statis,
universal, historis, namun kurang dinamis dan melibatkan. Menurut stenmark sendiri,
isu-isu relasi agama dan sains itu tersusun atas lima klasifikasi tingkatan,
yaitu tingkat 1, pandangan monist (agama-agama monoteis), pandangan kontak,
pandangan independensi, pandangan pengembangan keilmuan progresif, pandangan
pengembangan keagamaan progresif, tingkat 2 yaitu, pandangan kontak antar
keilmuan, pandangan kontak antar metode.
Paradigma keilmuan pada dasarnya adalah sudut
pandang perguruan tinggi dalam menentukan beragam kegiatan akademik maupun
non-akademik.Paradigma keilmuan membantu memberikan kerangka, mengarahkan,
bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan.Ini bertujuan untuk memastikan
bahwa penyelidikan ilmiah dilakukan dengan cara yang teratur dan terarah.
Paradigma juga berfungsi sebagai lensa para keilmuan dan mampu mengobservasi,
memahami masalah ilmiah dalam bidang mereka masing-masing, serta solusi ilmiah
terhadap permasalahan-permasalahan tersebut.
Makna dari Ketupat Ilmu tidak hanya berfokus
pada bentuk fisik ketupat aslinya, tetapi juga menekankan pada filosofi yang
didasarkan pada kerangka ontologis, epistemologis, dan akseologis yang telah
dijelaskan secara mendetail dalam buku ini. Setelah dijabarkan secara ilmiah,
Paradigma Ketupat Ilmu menjadi landasan dalam melaksanakan kegiatan Tri Dharma
Perguruan Tinggi di INISNU Temanggung. Mulai dari implementasi dalam visi,
misi, tujuan, kurikulum, budaya akademik, budaya kerja, dan lainnya. Ketupat
Ilmu mengacu pada model paradigma keilmuan.Integrasi-kolaborasi dengan skema
anyaman ilmu, collaboration of science, takatuful ulum, yang intinya
menggerakkan bersamaan, atau bergerak ganda (double movement) antara agama
dengan ilmu pengetahuan.Proses ini hasil riset, FGD, uji pakar, dan diseminasi
di berbagai forum. Dari hasil kerja ilmiah yang dilakukan dengan proses
pengendapan dan pendalaman itulah, paradigma keilmuan Ketupat Ilmu menjadi
bagian dari ikhtiar memajukan INISNU Temanggung. Distingsi Paradigma keilmuan
ini dapat dilihat dari cara menganyamnya, mengkolaborasikan, menggerakkan
secara bersamaan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Kelebihan buku menurut saya, kelebihan dari
buku “MEMBANGUN PARADIGMA KEILMUAN Integrasi-Kolaborasi, Collaboration of
Science, Takatuful Ulum ‘KETUPAT ILMU’ INISNU-UNISNU TEMANGGUNG” ini adalah
kemampuannya untuk memberikan banyak pengetahuan tentang paradigma keilmuan dan
ketupat ilmu, terutama dalam menghadirkan keselarasan antara agama dan ilmu
pengetahuan dalam dunia pendidikan. Buku ini memberikan banyak manfaat untuk
pembacanya, seperti menambah ilmu, pengetahuan dan wawasan.
Kekurangan buku menurut saya, buku yang
berjudul MEMBANGUN PARADIGMA KEILMUAN Integrasi-Kolaborasi, Collaboration of
science, Takatuful Ulum “KETUPAT ILMU” INISNU-UNISNU TEMANGGUNG banyak kata-kata
ilmiah yang susah dipahami.
Tambahkan Komentar