Oleh : Indah Kurnia Sari

Mendaki gunung kini menjadi salah satu aktivitas yang semakin populer di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Namun, di balik tren yang berkembang pesat ini, muncul stigma bahwa mendaki hanyalah bentuk FOMO (Fear of Missing Out) atau ketakutan ketinggalan tren. Padahal, mendaki sejatinya adalah hak setiap orang untuk menyatu dengan alam dan menikmati keindahan serta ketenangan yang ditawarkan oleh pegunungan. Menyematkan label FOMO pada aktivitas mendaki justru mengurangi makna mendalam yang terkandung di dalamnya dan mengabaikan nilai-nilai pribadi serta spiritual yang dapat diperoleh dari pengalaman tersebut.


Mendaki bukanlah sekadar mengikuti tren atau ajang pamer di media sosial. Aktivitas ini merupakan perjalanan pribadi yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi langsung dengan alam, menjauh sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan kota, dan menemukan kedamaian batin. Setiap orang berhak merasakan kebebasan tersebut tanpa harus merasa tertekan oleh ekspektasi sosial atau anggapan bahwa mereka hanya ikut-ikutan. Hak untuk mendaki adalah hak untuk mengakses ruang alam, menghirup udara segar, dan mengagumi keindahan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi atau media digital.


Selain itu, mendaki juga mengajarkan banyak nilai penting seperti kesabaran, ketekunan, dan rasa hormat terhadap alam. Medan yang menantang dan perubahan cuaca yang tak terduga menjadi ujian fisik dan mental yang memperkuat karakter seseorang. Proses ini bukan hanya soal mencapai puncak, tetapi juga tentang bagaimana kita menghargai setiap langkah dan belajar dari perjalanan itu sendiri. Dengan memahami hal ini, kita bisa melihat bahwa mendaki adalah aktivitas yang jauh lebih bermakna daripada sekadar tren sesaat yang dilabeli FOMO.


Penting juga untuk diingat bahwa setiap orang memiliki ritme dan tujuan yang berbeda dalam mendaki. Tidak ada standar baku tentang bagaimana seseorang harus mendaki atau seberapa cepat mereka harus sampai di puncak. Menghargai perbedaan ini adalah bagian dari menghormati hak setiap individu untuk menikmati alam dengan caranya sendiri. Label FOMO sering kali muncul dari perbandingan yang tidak sehat dan tekanan sosial, yang sebenarnya bisa dihindari dengan sikap saling mendukung dan memahami dalam komunitas pendaki.


Pada akhirnya, mendaki adalah hak setiap orang untuk menyatu dengan alam, menemukan ketenangan, dan memperkaya jiwa. Menghilangkan stigma FOMO dari aktivitas ini berarti memberikan ruang bagi setiap individu untuk menikmati pengalaman mendaki secara tulus dan penuh makna. Mari kita rayakan kebebasan ini dengan menghargai alam dan diri sendiri, serta menjadikan mendaki sebagai sarana untuk tumbuh dan belajar, bukan sekadar tren atau ajang pamer. Dengan begitu, mendaki akan selalu menjadi pengalaman yang membahagiakan dan bermakna bagi siapa saja yang menjalaninya.

Bagikan :

Tambahkan Komentar