Cak Nun. Hehe, ternyata masih pada asyik meributkan ucapan Cak Nun ya. Lama banget sih untuk move on? Padahal kalau melihat secara utuh seluruh sepak terjang Cak Nun dari A sampai C (tidak perlu sampai Z lah), maka ndak butuh waktu lama untuk sedikit memahami, mengapa Cak Nun mengucapkan kata-kata sakti itu.

Siapa sih sesungguhnya yang paling mencintai Nahdiyin luar dalam, sehingga selama berpuluh tahun ia rela mengorbankan waktu serta dirinya untuk pergi ke desa-desa, menyambangi orang-orang pinggiran, menemani orang-orang "ndeso" untuk bersama-sama bangkit memikirkan dirinya, sekaligus memikirkan orang lain dalam kehidupan beragama dan berbangsa?

Cak Nun lah orangnya. Dia lah yang paling setia, menghibur sekaligus menemani, mengajak berpikir orang-orang kampung, berpayah-payah membangun komunitas, pergi dari satu tempat ke tempat lainnya, tanpa mengenal capek.

Siang ini boleh jadi ia ada di Rembang, sorenya sudah dinanti oleh jamaah di Pati, malam sudah di Semarang, dan besok paginya ada di Surabaya! Nek dudu Cak Nun, saya yakin sudah bablas teler kecapean. Tenaga serta semangatnya membangun komunikasi lewat Jamaah Maiyah (yang mayoritas santrinya adalah para Nahdiyin di kampung-kampung), memang belum ada bandingannya hingga sekarang.

Siapa sih yang mau berpayah-payah ke sana ke mari, mlayu rono mlayu rene, untuk ngurusi hal-hal mbruwet yang menyangkut persoalan masyarakat, yang jelas-jelas bukan urusan pribadi dirinya? Untuk duwit? Ah, yang bener aja, belio itu sudah kaya, Bro, dan sudah tak butuh lagi ngoyo ndremimil tingkat dewa untuk ngejar-ngejar duwit sampai dibelain satu hari kadang harus ada di dua daerah yang berjauhan. Apakah Cak Nun ingin populer? Ya tobil-tobilun-jiddan, belio itu sudah populer dan sudah tidak butuh lagi iklan untuk memopulerkan dirinya. Apakah (mungkin) belio sedang melakukan pencitraan, kampanye biar besok bisa nyalon lurah, bupati, gubernur, atau presiden? Halah, saya tahu persis (karena saya pernah ngikuti beliau ke mana-mana selama bertahun-tahun), ---Cak Nun itu sama sekali tidak tertarik menjadi bupati, gubernur, apalagi presiden.
Lha, lalu ngapain dia bersusah-payah membuat pengajian Padhang Mbulan (yang kini disebut Maiyah), di berbagai pelosok daerah, pelosok desa, hingga harus mengorbankan seluruh waktu dan dirinya?

Saya sangat tahu jawabannya. Cak Nun melakukan itu lantaran cinta. Ia melakukan semua itu, karena itulah bentuk ibadah yang ia bisa lakukan, dan ia bahagia dengan jalan yang ia tempuh.
Karena mayoritas jamaahnya adalah Nahdiyin, maka bisa dipastikan ia mencintai rumah yang menaungi para nahdiyin, yakni NU. Bayangkanlah, jika suatu hari, terhembus sebuah kabar yang entah dari setan mana asalnya, yang mengatakan bahwa NU menerima dana 1.5 trilyun, dan kabar itu terus berkasak-kusuk, bergentayangan mirip hoax-hoax yang bergerilya di media sosial.
Bagaimanakah sikap rata-rata para pecinta NU? Kebanyakan mungkin akan diam, berusaha menutupi berita itu dengan jalan tutup mulut, sebagian lainnya mungkin hanya akan menganggap angin lalu dan mengatakan dalam pikirannya bahwa itu pasti hoax, sambil menunggu berita itu lenyap dengan sendirinya.

Tapi Cak Nun? Ketahuilah Bro, mahluk ini lain. Sudah saya katakan bahwa kalau saja Anda mau melihat sepak terjang dan cara berpikir Cak Nun dari A sampai C saja (tidak perlu sampai Z), Anda akan paham kenapa Cak Nun langsung meledakkannya.

Sekarang semua sudah clear kan? Bahwa tak ada dana "suapan" itu, lantaran hampir semua petinggi NU dan orang-orang yang terkait dengan isyu panas itu, ramai-ramai mengklarifikasinya.

Nah, lalu bagaimana sikap Cak Nun setelah ini, bahkan setelah ramai-ramai orang-orang mendesak beliau untuk memberikan klarifikasi dan meminta maaf. Tentu saja beliau tidak peduli. Beliau tetap kembali pada rutinitasnya, pada ibadahnya, yakni menyambangi dan menemani para Nahdiyin di pelosok-pelosok pedesaan. Menemani mereka berpikir, bersikap dalam beragama, serta bersama-sama memaknai cara hidup dalam berbangsa dan bertanah air. (*)

Sumber: Joni Ariadinata
Bagikan :

Tambahkan Komentar