Ilustrasi foto: http://neoterasubermensch.blogspot.co.id
Oleh Ahmad Fauzi
Penulis adalah penulis buku "Agama Skizofrenia, Kegilaan, Wahyu dan Kenabian"

Dunia tersusun bukan oleh balok-balok materi, tapi dibangun oleh ceruk-ceruk partikel yang bersuara seperti hati. Fisika Kuantum telah membuktikan bahwa tidak ada benda yang benar-benar mati. Semuanya hidup, bersifat organis dan selalu bergerak merentang menjauh dari awal mulanya berdiri. Alam raya memiliki jiwa dan kemauan, ia berdenyut, berkontraksi bahkan menari. Ia bernafas dengan bilangan matematika yang imajiner tapi koheren, meski kadang ia batuk dan mengeluarkan dahak dalam bentuk gempa dan letusan gunung berapi.

Alam raya tersenyum dengan melontarkan cahaya panasnya, sehingga manusia bisa memandikan kulit dan pori-porinya dengan radiasi matahari yang penuh dengan tenaga kehidupan. Malam memeluk manusia dengan selimut dinginnya yang menenangkan.

Bintang-gemintang berkejaran, membentuk dinding ruang baru, alam semesta sedang mengembang dan berevolusi menuju suatu tujuan tertentu. Tujuan yang membuat ia bermakna, untuk apa ia harus mengada di hadapan manusia. Sesuatu yang mengherankan, menggelisahkan dan juga mengundang teka-teki bagi kita.

Begitu juga dengan manusia, ia harus menyalibkan diri dalam tindak tanduk merdeka. Kita perlu meresapi jiwa alam raya dengan penuh semangat ceria. Adalah niscaya kalau kita akan meraih kebebasan yang mendalam dan penuh arti, meski lebih sering dikalungi rantai besi. Apabila manusia tidak lagi memiliki makna kebebasan diri, tentu kita sedang membunyikan detak lonceng kematian suri.

Oleh karena itu, untuk menghunjamkan makna hidup pada jasad kita yang kering dan membangkitkan raksasa yang tersembunyi dalam alam bawah sadar kolektif bangsa, maka tindak menyentuhkan roh manusia Indonesia pada badai adalah sarat utama dalam membangun kembali masyarakat dan negara.

Bangsa kita sudah kehilangan keutamaan, karena sedang lari menjauh dari hakikat kebudayaan. Masyarakat sedang sakit, tapi kita tidak menyadarinya sebab kenyataan telah menutupi penglihatan kita atas keadaan yang sebenarnya. Kenyataan telah memalsukan kesadaran manusia. Bukanlah kesadaran yang mempengaruhi kekuatan material, tapi sebaliknya, kekuatan materilah yang menentukan kesadaran kita, demikian dalil Determinisme Marxian.

Kenyataan berhasil mengusir jiwa dari tubuh kita yang mengakibatkan manusia seperti rumah tanpa ada penghuninya. Pikiran tak bersarang, itulah kita. Tubuh menjadi berat dan manusia hanya mesin yang dikendalikan oleh proses kimiawi otak belaka. Sentuhan-sentuhan kemanusiaan berganti dengan transaksi uang, gairah komoditas dan kilau emas permata. Jadilah kita, manusia tanpa rasa, meski telah banyak melahap nikmatnya dunia.

Keutamaan oleh kita hanya nampak pada aribut-atribut yang menempel pada jasad manusia, bukan sesuatu yang bercahaya dari kedalaman batin kita. Manusia dianggap ada apabila ia memiliki harta, jabatan, wanita, rumah mewah dan kuasa. Kita mengada dengan benda-benda, bukan dengan jiwa. Manusia telah tenggelam dalam dunia benda, hal inilah yang mengakibatkan jiwanya berat untuk bergerak dan berdaya cipta.

Pada benda, ada kuasa, semacam lubang hitam yang menelan kedirian dan kepribadian kita. Subyek terkurung oleh jeruji dan kuasa materi, sesuatu yang memandulkan semangat kita dan berakhir dengan anonim, impersonal, tanpa kepribadian. Manusia hampir tidak memiliki identitas.

"Kita kehilangan roh, sesuatu yang dengannya kita bisa mengubah dunia."

Kenyataan hidup sukses membuat manusia bergerak dan merasa berdasarkan stimulus-respon atas dunia luar. Kita setara dengan binatang yang banyak menjadi kelinci percobaan para ahli perilaku dalam laboratorium-laboratorium eksperimental. Yang hidup digerakkan dari dalam, bukan didesak atau dipaksakan dari luar. Yang digerakkan dan muncul dari luar tidaklah alamiah dan tidak memiliki kualitas moral.

Keutamaan yang inhern dalam diri manusia, oleh masyarakat kita dianggap sebagai ilusi fatamorgana. Pengetahuan, kesederhanaan, kerja keras, bela rasa dan sikap ksatria hanya menjadi penghias etalase dalam sinetron-sinetron di televisi saja. Budaya yang ditunjukkan dalam perilaku merefleksikan agama apa yang sebenarnya kita anut. Dalam perbuatan ada cermin yang menggambarkan bagaimana ciri-ciri kita.

Apakah kita betul-betul mengada dengan keutamaan jiwa?
Bagikan :

Tambahkan Komentar