Ilustrasi foto: Tabayuna.com
Oleh Ahmad Fauzi
Penulis adalah alumnus IAIN Walisongo (sekarang UIN Walisongo) Semarang. Menulis buku  "Agama Skizofrenia, Kegilaan, Wahyu dan Kenabian"

Nusantara memanggil. Negeri kita sedang meradang dan menggigil. Ada hantu yang terus menggentayangi bangsa ini. Hantu itu bernama benci.

Ia tak henti-henti menebar rasa takut mencekam, meneror perdamaian dan memisahkan persaudaraan. Perbedaan dan keragaman pun terancam. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sedang diuji keampuhannya. Apakah ia sebenar-benar keyakinan dan kepribadian luhur bangsa, ataukah sekedar slogan kosong dari indahnya kata-kata?
Abad besar telah melahirkan negara ini.

Tapi, ia hanya menemukan generasi manusia kerdil tanpa jiwa di hati. Kemiskinan, kekerasan dan kebencian menjelma menjadi kutukan yang menyertai kekayaan khasanah dan sumber daya alam negeri, (Richard Auty; Resource Curse, 1993). Bangsa ini susah dan enggan menapaki masa depan, terkurung dan dirantai mental malas penuh kesenangan. Kita betul-betul sedang sakit, kehilangan kedirian dan semangat api perjuangan untuk melejit bersama bintang-bintang bersinar di langit.

Kita sudah memiliki banyak gedung-gedung menjulang tinggi bersama dengan segala fasilitas lengkap memadai. Pabrik-pabrik universitas telah memproduksi banyak manusia cerdas dan mumpuni. Mobil dan teknologi canggih bukan barang langka lagi. Bertebaran tempat-tempat ibadah suci nan anggun yang mempesonakan setiap mata memandang. Ilmu pengetahuan pun ramai didiskusikan dalam suasana terang benderang.

Dentuman suara moral juga tak ketinggalan dirayakan di mana-mana. Tapi, kenapa korupsi dan kebencian sesama anak negeri makin menjadi-jadi? Kejujuran, disiplin waktu dan tepat janji, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya dan rajin bekerja masih terasa remeh dan asing bagi kita? Memperturutkan kesenangan lebih digemari dari pada tekun dalam pekerjaan. Ada apa dengan Indonesia? Apakah ini pantulan dari gagalnya pendidikan yang lebih mengutamakan penguasaan alat-alat canggih dari pada pembangunan jiwa dan kepribadian?

Menurut Erich Fromm (1900-1980), manusia lebih tertarik untuk memiliki dari pada menjadi. Manusia lebih suka menguasai benda-benda dari pada tindak pencapaian demi penyempurnaan kepribadiannya. Kaya harta dan penuh kuasa dianggap lebih mulia dari pada menjadi manusia utama. Cahaya batin dalam diri tidak terlalu penting dibandingkan atribut-atribut penampakan luar yang menempel pada jasad kita.

Manusia cenderung membenda (George Lukacs; 1968) dari pada menjiwa. Kita pun membeku, tanpa roh, tanpa semangat, dan berubah menjadi makhluk impersonal tanpa kepribadian, karena manusia tenggelam oleh gelapnya benda. Kalau di abad ke-19 Friedrich Nietzsche (1844-1900) mengumandangkan keyakinan tuhan telah mati, maka di abad ini yang menggema adalah manusia telah mati, karena benda-benda berada di atas pelana dan mengendalikan kita, (Ralph Waldo Emerson; 1803-1882).

Hal inilah yang membuat kita tidak mampu memperluas wawasan kreatif dan mengaktualisasikan potensi-potensi alamiah dalam diri. Bagaikan kuncup bunga yang tak kunjung mekar berwarna, tertahan dan layu sebelum mengembang mempesona. Ya, kita sudah mengasingkan diri, penuh beban dan terhisap gaya tarik gravitasi. Kita mengada tanpa jiwa, seperti hantu dalam mesin baja. Kedirian dan hilangnya keutamaan menjadi persoalan terbesar bangsa ini.

Materialisme-Historis Karl Marx (1818-1883) memperingatkan kita bahwa manusia bukan lagi subyek sejarah. Kesadaran (consciousness) hanyalah refleksi atau keadaan samping dari proses-proses ekonomi-politik yang massif dan struktural.

Kesadaran yang selama ini diagungkan oleh Rene Descartes (1596-1650) sebagai ciri khas manusia rasional dalam “mengada,” sebenarnya merupakan tenaga lemah yang mudah dikeroposi oleh serbuan naluri kesenangan dari alam ketidaksadaran (Sigmund Freud; 1900). Kita hanya sekrup-sekrup kecil dalam bangunan mesin besar yang dapat bergerak sendiri.

Ya, lahirnya subyek pinggiran ini dimulai dari kedirian kita yang mudah tenggelam oleh benda-benda yang dimantrai naluri kesenangan sehingga manusia lebih ditentukan oleh kekuatan dari luar dari pada impuls yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Kita berpikir, merasa dan bertindak berdasarkan paksaan dari luar dari pada didorong oleh sesuatu yang inhern dalam diri kita sendiri. Sesuatu yang digerakkan dari luar itu tidak alamiah, tidak hidup dan tidak memiliki kualitas moral, begitu kira-kira menurut Etika Kantian.

Manusia pun enggan menjadi otonom dan mandiri. Kekuatan struktur yang ada di luar yang sering menentukan eksistensi keberadaan kita mengakibatkan manusia kehilangan kendali atas sejarah, dan terlempar sebagai budaknya.
Pasar ekonomi yang hiruk pikuk dan dinamika politik recehan telah melalaikan kita untuk berefleksi dan berkontemplasi. Ruang-ruang perenungan pun terasa makin sempit dan membasi. Kita miskin imajinasi.

Daya cipta mengendur dan inovasi berhenti. Kedirian kita yang manusiawi tertelan struktur ekonomi-politik yang bertaring dan bercakar merah. Mental kita tercerabut dari wataknya yang alamiah. Akal-budi pun melemah, termanipulasi oleh gairah kuasa benda yang menyala-nyalakan selera. Menjadi manusia utama dalam arti yang sebenarnya dianggap sebagai proses mustahil yang tidak berarti dan tidak penting bagi kehidupan modern, kalau tidak mau dikatakan sebagai primitif dan sia-sia. Semua serba pasar.

Manusia dianggap bernilai apabila bisa diperjual belikan dan dimamah oleh naluri kesenangan. Manusia diturunkan nilainya setara dengan benda-benda. Uang adalah berhala yang selalu dipuja, dan kita bukan tidak menyadarinya, tapi kita tidak bisa lepas dan selalu terikat olehnya. Kita setiap hari menelannya, dengan iringan doa; bahwa semua itu telah menjadi kenyataan yang lumrah adanya.

Keberadaan manusia ditentukan oleh kenyataan di luar dirinya, bukan kesadaran yang mempengaruhi kekuatan material, justeru kekuatan materiallah yang mempengaruhi dan menentukan kesadaran kita. Inilah yang menjadikan kita tidak lagi bebas dan otentik. Kepribadian kita pecah, karena tindakan dan pikiran tidak lagi muncul dari dalam, tapi digerakkan oleh paksaan dari luar yang bersifat eksternal. Azimat dari segala zaman ini telah meluluh lantakkan hampir semua sendi-sendi keutamaan, tidak terkecuali wilayah pendidikan, yang dengannya kita berusaha membentuk diri dan membangun kebudayaan. Asas paling fundamental yang menentukan kemanusiaan dan peradaban masa depan.

Melawan Ideologi Kematian
Selain menghadapi ideologi pasar yang membuat kita hampir pasrah tak berdaya, pendidikan juga sedang menghadapi tantangan besar lainnya yang tak kalah berbahaya. Yaitu, ideologi kematian.
Kejadian-kejadian akhir ini sering memperlihatkan bagaimana keyakinan seseorang bisa begitu mengerikannya dengan melakukan kekerasan bahkan tidak jarang dengan membunuh nyawa banyak orang. Atas nama kesucian dan ketuhanan ada sekelompok manusia dengan bangga merayakan perusakan dan penganiayaan terhadap kelompok yang berbeda dengan mereka.

Bahkan paham radikal ini sudah merasuk tidak hanya dalam kawasan perguruan tinggi dan sekolah-sekolah saja, tetapi juga anak-anak kecil yang masih ingusan dan suka bermain. Benih-benih kebencian telah ditanamkan pada anak-anak usia dini oleh kelompok yang menginginkan untuk mengganti dasar negara kita, Pancasila. Pendidikan sekolah sudah lama tersusupi paham keyakinan yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara yang ramah dan toleran. Kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara sedang terancam.

Paham keyakinan radikal tidak bisa dihadapi hanya dengan kekuatan senjata Polri dan TNI. Keduanya memang bisa menangkap dan membasmi gerakan teror secara fisik, tapi kalau ideologi, itu sangat tidak mencukupi. Ideologi yang menebarkan kebencian dan kekerasan atas nama agama hanya bisa ditanggulangi dengan ideologi serupa.

Tafsir kebencian yang selama ini mewabah dalam jiwa kelompok fundamentalis agama layak diganti dengan tafsir kemanusiaan yang diliputi cinta dan kasih sayang. Agama yang transformatif berusaha menyatukan sesama anak bangsa sebagai satu saudara dalam kemanusiaan. Tafsir agama yang bersifat membangun kembali masyarakat dan membebaskan kesadaran anak bangsa dari manipulasi dogma kekerasan atas nama agama harus diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan negara. Ini menjadi tugas kita bersama terutama kaum agamawan untuk memformulasikan kembali ajaran-ajaran agamanya dalam konteks kemanusiaan dan semangat zaman.

Ideologi kematian yang selalu memaksakan klaim kebenarannya sendiri pada pihak lain, bahkan sering disertai dengan kebencian dan kekerasan, perlu dilembutkan oleh semangat keberagamaan yang bersifat menghidupi kehidupan. Keutamaan tertinggi dalam keberagamaan adalah kemanusiaan itu sendiri. Agama yang benar dilandasi oleh perasaan mencintai, bukan membenci. Manusia disebut sebagai manusia karena ia memiliki kehendak untuk menghidupi, bukan memusuhi.

Dalam kemanusiaan, Tuhan hadir menyapa sejarah dan dunia. Meresapi kemanusiaan adalah tindak marifat yang paling utama. Penyatuan dengan Tuhan hanya bisa dicapai apabila kita mau menyetubuhkan diri dengan kemanusiaan. Oleh karena itu, hadirnya agama sebenarnya bertujuan untuk menghidupi kehidupan, bukannya merayakan kematian dan penghancuran.

Pendidikan sejak dini berkepentingan untuk menanamkan tindak penghidupan demi manusia dan makhluk lainnya. Anak-anak harus diberi contoh untuk meresapi semangat menghidupi kehidupan. Guru terbaik adalah perbuatan. Jangan anggap enteng ketika seorang guru mengajak anak didiknya memberi makan hewan-hewan yang sedang kelaparan, atau mengulurkan bantuan bagi seorang teman yang sedang kesusahan. Sekecil apapun penghargaan atas kehidupan akan membekas dalam benak kita sepanjang masa.

Tindakan mengasihi dan menyayangi akan mengundang partikel-partikel kebajikan menaungi semesta kita. Naluri menghidupi jauh lebih mulia dari pada naluri memusuhi meskipun atas nama iman dan ketuhanan. Peradaban dan kebudayaan ditopang oleh sikap saling mengasihi dan menyayangi, karena apabila keduanya menghilang, maka yang terjadi adalah perseteruan dan penghancuran. Kita lahir di Indonesia bukan sekedar menjadi warga negara, tapi terikat secara batin untuk menjaga dan menghidupinya.

Demi Pancasila, lambang persaudaraan dan ikatan batin bersama. Kita bukan Islam, bukan Kristen, bukan Katolik, bukan Hindu, bukan Budha, atau pun Konghucu. Kita adalah Indonesia. Nusantara bukan hanya Jawa. Ada Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Ambon dan Papua. Tanggalkan atribut sempitmu jika ingin bersaudara. Kita disatukan untuk mencinta sesama, bukan membenci karena beda ras dan agama.

Rahayu Nusantara!
Bagikan :

Tambahkan Komentar