Dr Samidi Khalim MSI (kanan peci hitam) saat memberikan buku pada Ketua STAINU Temanggung.
Temanggung, TABAYUNA.com - Banyak sekali peran ulama Nusantara dalam melawan penjajah Belanda. Salah satunya adalah menerapkan tulisan arab jawa pegon untuk tulis-menulis pada kitab, buku atau manuskrib yang digunakan untuk mengaji dan berkomunikasi kala itu. 

Pada abad sekitar 16-17 masehi, banyak sekali peraturan Belanda yang mendominasi sistem politik dan sosial masyarakat Indonesia. Belanda sewenang-wenang membuat aturan agar masyarakat dan kaum santri tidak melawan.

Baca juga: Ulama Yang Mengafirkan Umat Islam Itu Ulama Bathuk Ireng

Belanda takut jika Islam besar. Maka dari itu, banyak naskah-naskah Arab Pegon dibawa ke Leiden Belanda agar tidak dipelajari santri. Kemudian banyak sekali orang yang pergi haji didata agar bisa dideteksi.

Arab pegon secara historis dari dari huruf arab hijaiyah, kemudian disesuaikan dengan aksara atau abjad Jawa atau Indonesia untuk menulis kitab, manuskrip dan beberapa surat-surat.

"Karena orang yang haji zaman itu Islamnya kuat, pakai semua didata dan diberi gelar H di depan namanya. Nah, kalau sekarang ada orang Islam yang bangga dengan gelar haji itu produk kolonial," ujar Dr. Samidi Khalim, MSI peneliti Balitbang Kemenag Kota Semarang dalam Stadium General di aula STAINU Temanggung, Sabtu siang (9/9/2017).

Dijelaskan Samidi, bahwa banyak sekali perlawanan ulama Nusantara dalam segi kultural terhadap Belanda. Salah satunya adalah melalui gerakan literasi penulisan arab dan jawa yang dijadikan satu dengan nama jawa pegon atau arab pegon.

Saat itu, kata Samidi, melawan Belanda memang tidak harus memakai senjara, namun pembangkangan dengan penulisan bahasa jawa pegon yang digunakan untuk alat komunikasi, karena Belanda menggunakan bahasa latin. "Peran literasi ulama-ulama saat itulah yang memberi sumbangsih besar terhadap kemerdekaan sampai sekarang," tegas Ketua LTN NU Kota Semarang itu.


Doktor jebolan UIN Walisongo itu juga menandaskan, bahwa karya arab pegon menjadi bentuk perlawanan terhadap Belanda kala itu. “Siapa pencetus karya pegon sampai sekarang yang pertama kali memang belum ada yang menemukan. Ada yang yang meriwayatkan itu sudah diterapkan pada zaman Sunan Bonang. Namun hal itu masih spekulatif,” beber Samidi dalam studium general yang dimoderatori Sigit Tri Utomo, M.Pd.I Sekretaris Jurusan PAI STAINU Temanggung tersebut.

Meski saat itu banyak arab pegon, namun menurut Samidi, aksara jawa dan melayu zaman itu berbeda. “Kalau aksara jawa yang dilestarikan snatri itu aksara pegon yang tulisannya arab namun pegon. Tapi kalau Melayu itu aksaranya pegon tapi nama aksaranya itu Jawi,” lanjut dia.

Aksara jawa pegon itu, menurut dia, dihadirkan sebagai perlawanan terhadap Belanda pada abad 16-17. “Sebab, saat itu Belanda itu menggunakan Bahasa Latin, Bahasa Melayu dan Eropa untuk komunikasi dan surat-menyurat. Sedangkan ulama-ulama Nusantara tidak mau karena itu produk Belanda. Makanya mereka menggunakan jawa atau arab pegon sebagai bentuk perlawanan,” lanjut dia di hadapan ratusan peserta stadium general. (Tb9/Ibda).

Bagikan :

Tambahkan Komentar