Kiai Shaleh Darat (w. 1903 M), bisa dikatakan sebagai representasi kiai yang memiliki kontribusi intelektual yang hidup pada zaman sebelum lahirnya organisasi NU resmi dideklarasikan oleh sejumlah ulama yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asyari (baca: Berdirinya NU). Namun alur pemikirannya NU banget.
Sebagaimana yang kita ketahui jika di dalam tubuh NU terangkum sejumlah amalan islami baik yang berkaitan dengan fikih maupun teologi atau kalam, yang oleh sejumlah kalangan bernalar selain NU menganggap bahwa organisasi ini gudangnya takhayyul, bidah, dan khurafat. Tudingan semacam itu padahal hanya melihat perbedaan furu’iyah atau cabang-cabang amalan fikih yang sangat memungkinkan adanya perbedaan. Bukan pada syariah yang sudah paten sebagaimana yang telah muhkam di dalam Nash.
Jika demikian mari kita tengok lagi bangunan yang dijadikan sebagai landasan pemikiran NU. Merujuk pada garis-garis perjuangannya (khitthah), yang resmi dibentuk pada tahun 1926 M, organisasi ini didirikan untuk mengimbangi gerakan purifikasi yang tidak menghargai nilai-nilai tradisional yang sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Dan untuk membuat demarkasi agar para ulama NU tidak tergerus pada sekte lain, maka pada tahun 2006 dibentuklah Fikrah Nahdliyah. Di antaranya menyikapi tentang manhaj pemikiran dalam bidang Teologi, Fikih dan Tasawuf. Khusus dalam bidang Fikih, Nahdlatul Ulama mengakui adanya mazhab Qauli dan Manhaji kepada empat mazhab yang populer, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali.
Baik. Kali ini saya akan memperkuat pemikiran fikih sebagai refleksi dari kearifan lokal yang dari dulu memang dibina oleh para ulama nusantara kita. Salah satunya Kiai Shaleh Darat. Beliau salah satu ulama yang tumbuh dari genealogi mazhab Syafii. Hal ini bisa dibuktikan karena sejak kecil dalam perjalanan ilmiahnya, Kiai Shaleh banyak bersentuhan dengan kitab-kitab bermazhab Syafiiyah baik dalam bidang Fikih seperti Fath al-Wahab, Fath al-Mu’in, dan Fath al-Qarib. Atau pun dalam bidang ilmu kalam seperti Jauhar at-Tauhid dan Minhaj al-‘Abidin. Dalam bidang Tasawuf, beliau bersentuhan dengan kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din dan al-Hikam karya Ibnu Athailah, (Munir, 2008).
Pada wilayah ini, pemikiran yang dikembangkan oleh Kiai Shaleh tampak tidak bisa lepas dari embrio pemikiran, tetapi pada saat aplikasi untuk menghadapi kondisi sosial yang berbeda, Kiai Shaleh lebih arif memberikan formulasi hukum. Bukti ini juga bisa dirujuk dengan melihat konteks masyarakat sosial sekitar Kiai Shaleh Darat mengembangkan kontribusi ilmiahnya. Pada saat itu, memang berada di tengah masyarakat yang minim amalan islaminya. Di antara faktor yang menjadi penyakit, karena telah tergerus dengan budaya asing yang dibawakan oleh para penjajah.
Meskipun demikian, nalar kultural Kiai Shaleh untuk menjaga psikologis masyarakat Jawa tidak bisa lepas. Yaitu menjaga perasaan masyarakat yang menjunjung tinggi terhadap “penghormatan.” Seperti yang dicerminkan di dalam bahasa unggah-ungguh. Lebih jauh, Kiai Shaleh lebih menekankan pada pembangunan umat yang sedang bercerai berai akibat diterjang badai kebobrokan moral, dan berada pada kehidupan yang memprihatinkan di bawah penindasan di dalam negeri sendiri. Namun dengan kunci demikian, Kiai Shaleh berhasil mencetak generasi yang menjadi para pemimpin komunitas santri pada awal abad ke 20, (Burhanuddin, 2017).
Dan melalui karya-karyanya, Kiai Shaleh diakui telah berkontribusi dalam memperkuat diskursus Islam berbasis pesantren, Islam berorientasi Syariah dalam konteks masyarakat Jawa, yang kemudian menjadi sebuah transformasi pada bingkai memperkenalkan Islam dalam bentuk institusi yang berakar dalam budaya Jawa, dan dalam ungkapan bahasa keseharian masyarakat Jawa.
            Hal itu juga diakui sebagai proses vernakularisasi Islam yang dikemas dengan arif tanpa meninggalkan esensi yang berkontradiksi dengan elan vital Islam itu sendiri. Melalui tindakan yang tepat, para ulama seperti Kiai Shaleh dan Kiai Khalil Bangkalan mengelaborasi sumber-sumber pemikiran, yang bermanfaat untuk ditransformasikan dan menjadi jantung diskursus intelektual Islam dan akhirnya pembentukan kehidupan keagamaan Muslim yang relevan dengan konteks Indonesia, khususnya Jawa.
            Gerakan itu juga berhasil memadukan antara madrasah Mekkah dengan madrasah pesantren dalam berbagai hal. Karena bagi ulama Jawa, Mekkah tidak hanya menjadi rujukan keilmuan saja, melainkan juga sebagai rujukan reformatif dalam berpolitik, (Burhanuddin, 2017). Namun pada saat yang sama, yaitu mulai abad ke 18, dan 19, Mekkah mulai menekankan pentingnya Islam berorientasi syariah. Hal ini dilakukan karena untuk mengimbangi gerakan purifikasi yang dilakukan oleh kontrol Wahabi.
            Dari pijakan demikian yang menjadi latar belakang gerakan Islam berbasis pesantren yang hendak menyemarakkan gerakan syariah untuk mengatur perilaku sosial yang arif terhadap lokalitas. Karena melalui transformasi santri, yang tergolong sebagai masyarakat yang memiliki karakter unggul bisa membantu untuk mengembangkan ajaran yang telah disampaikan di pesantren. Maka muncullah formulasi yuriprudensi yang bijak tanpa meninggalkan teks-teks asal.
            Demikian, di antara rumusah fikih yang ditawarkan oleh Kiai Shaleh tentang selametan hari kematian. Pada dasarnya selametan kematian, tiga hari ataupun tujuh hari, dan sedekah untuk mayit, menurut Kiai Sholeh Darat hukumnya sunah. Akan tetapi, ia memberikan catatan bahwa selametan dan sedekah tersebut tidak boleh diselenggarakan dengan harta si mayit (tirkah). Selametan dan Sedekah juga tidak harus dilaksanakan pada saat tiga hari atau tujuh hari saja, tetapi bisa dilakukan kapan saja tanpa ada batas waktu. Jika Selametan dan Sedekah tersebut diselenggarakan dengan harta tirkah, Kiai Shaleh menyebutnya sebagai bid'ah yang munkar.
Karena ketika seseorang meninggal dunia, maka segala yang ditinggalkan bukan lagi miliknya, tetapi menjadi hak ahli waris. Maka, bersedekah untuk mayit dengan harta tirkah tidak diperbolehkan. Sampai saat ini masalah harta tirkah untuk selametan dan sedekah memang belum dipahami oleh kebanyakan orang awam, meskipun ritual tersebut hampir menjadi aktifitas sehari-hari muslim Indonesia. Oleh karenanya, dalam kitab Majmu' Kiai Shaleh mewanti-wanti agar selametan tidak perlu melibatkan harta tirkah, karena si mayit tidak lagi punya hak atas harta itu. Maka, ia menganjurkan agar ahli waris saja yang bersedekah untuk si mayit, meski semampunya. Terutama pada tiap malam Jum'at dianjurkan memperbanyak sedekah untuk orang tua yang sudah meninggal atau jika tidak mampu, maka cukup dengan membacakan al-Qur'an meskipun sekedar al-Fâtihah atau al-Ikhlâsh, (Shaleh, Majmu’at:89).
Pada praktek seperti itu dalam tradisi NU, baik selametan hari kematian ataupun tahlilan yang menjadi salah satu ritual identitas warga Nahdliyin memiliki dasar yang kuat. Bahkan menetang keras terhadap sekte-sekte luar yang menuduh hal itu sebagai bentuk amalan bid’ah maupun khurafat. Dan tidak tanggung-tanggung jika dalil yang digunakan untuk membela amalan itu diriwayatkan oleh imam Ahmad bin Hambal, yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, oleh karena itu, mereka menganjurkan bersedekah makanan untuk keluarga orang yang meninggal selama tujuh hari tersebut. Dan imam Ahmad bin Hambal juga menegaskan jika itu adalah amalan sunnah.
 Jadi, berbicara tentang lanskap pemikiran nusantara memang tidak bisa lepas dari tradisi berpikir pesantren. Namun, untuk saat ini perlu catatan untuk memberikan gambaran terhadap wajah pesantren tertentu. Sebab belakang marak pesantren yang ditunggangi oleh kelompok Wahabi yang berkedok nusantara. Jika demikian, akankah kita tinggalkan akar-akar turats yang menjadi pedoman prinsip dalam pesantren selama ini? Dan tentunya tidak kaku pada prinsip lama serta tidak terlalu lentur terhadap gaya baru. 

Oleh: Khoirul Anwar Afa
Bagikan :

Tambahkan Komentar