Suasana seminar internasional bertajuk "Value-Based Digital Literacy In Millenium Era"
Jogjakarta, TABAYUNA.com - Prodi Pendidika  Guru MI (PGMI) FITK UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta menggelar International Conference The 4th Summit Meeting On Education "Value-Based Digital Literacy In Millenium Era" yang dihadiri ratusan peserta dari unsur dosen, mahasiswa, peneliti dan lainnya, Selasa (12/12/2017) di auditorium UIN SUKA.

Baca juga: Dilantik, PD PGMI Korwil Jateng-DIY 2017-2022 Wajib Setarakan PGMI dengan PGSD 

Hadir Roger (Raj) Miles, Expert Of Value-Based Distance Learning Australia, Gerardette Philips Expert of Interreligious Value-Based Education and Counselling Canada dan Christoper Drake, President of International ALIVE dan Budhy Munawar Rachman perwakilan The Asia Foundation Indonesia.

Raj Miles menyampaikan materi 'Taking Social Media Personally' dengan mengajak para audiens untuk bijak dalam bermedia sosial. "Selama ini, ada masalah besar dalam penggunaan sosial media di Australia. Kami susah menyampaikan pendidikan nilai kepada masyarakat karena negera Australia sangat luas. Seperti di Indonesia yang memiliki banyak pulau. Jadi sangat susah untuk menyampaikan nilai-nilai pendidikan. Sebab, nilai itu hadir dalam jiwa, ia sebuah rasa dan tidak hadir dari dalam kepala seperti yang dominan di media sosial," beber Raj Miles dalam Bahasa Inggris itu.

Kalau berbicara media sosial, lanjut dia, itu kebanyakan hadir dari kepala dan kita kehilangan sesuatu dari dalam hati. "Maka solusi kami di Australia adalah melakukan pendidikan jarak jauh, dengan tujuan memudahkan dan membantu orangtua dan anak untuk menanamkan nilai. Bisa diterapkan dalam sekolah, bahkan dunia bisnis. Lewat situ, kita mengajarkan nilai dan perdamaian, cinta, kerjasama dan toleransi," beber dia.

Tetapi kita masih ada bullying, kata dia, frustasi, ada kemarahan di dalam kelas dan ketakutan. "Jadi kita tak bisa menemukan nilai itu lewat pendidikan tradisional, namun harus dilakukan lewat pendidikan jarak jauh berbasis media sosial," ujar dia.

Ditambahkannya, nilai merupakan energi yang bisa kita transfer ke orang lain. Tapi masalah di sosial media tidak bisa menerjemahkan nilai kehidupan.

"Media sosial hanya kendaraan menyampaikan pesan. Jika pesannya benar, maka akan diinterpretasikan orang dengan benar. Jika pesan itu buruk, maka akan diinterpretasikan buruk bahkan menjadi sumber permusuhan. Maka kita harus berhati-hati bermedia sosial apalagi untuk kepentingan edukasi," lanjut dia.

Dalam pendidikan, kata dia, mengajar adalah menyampaikan tentang cara hidup. "Anda adalah tutor, motivator yang harus menyampaikan pesan dan nilai positif," bebernya.


Gerardette Philips Expert of Interreligious Value-Based Education and Counselling Canada dan Christoper Drake juga menambahkan, ada pergeseran mendasar dalam pola kehidupan. "Jika dulu orang mengambil uang harus ke bank, tapi sekarang cukup gesek lewat mesin atm bahkan aplikasi di gadget," ujar dia.

Ia juga mencontohkan pembelajaran di tahun 1900an dengan era milenial abad 21 sekarang. "Masyarakat selarang lebih takut dan sibuk mengurus pekerjaan daripada mengurus pendidikannya," lanjut dia.

Menurut dia, di tahun 2020 kita akan menggunakan transportasi bersistem robot. Sedangkan di Indonesia sekarang sudah menggunakan kereta super cepat. "Tahun 2020 nanti, hampir semua kegiatan manusia akan digantikan robot. Ini menjadi pekerjaan kita untuk mengatasi hal itu," imbuh dia.

Teknologi sangat penting, kata dia, karena kita bisa mencari segala hal, seperti Facebook itu juga menarik bagi kaum muda. "Kita akan menggunakan platform ini untuk membelajarkan sains, matematika dan Bahasa Inggris di program website ini," beber dia.

Christoper Drake, President of International ALIVE juga menambahkan, bahwa dalam hitungan detik, perubahan begitu cepat digerakkan lewat internet. Banyak muncul berita fake dan hoax. "Tidak hanya pelajar, namun doktor dan politisi juga ikut menyebarkan berita di media sosial entah itu benar atau tidak. Lebih banyak kuantitasnya daripada kualitasnya," ujar dia.

Kita hidup dia dunia nyata, kata dia, tetapi juga hidup di dunia maya, virtual, ada browsing dan gaming. "Sebenarnya media sosial itu benar-benar sosial ataukah justru antisosial," katanya.

Ia mengajak para peserta seminar untuk tidak memburu like dan komen-mengomen dalam bermedia sosial. "Kita harus mengutamakan reliabilitas, kualitas dan mengurangi cyber bullying. Karena penelitian terbaru di New York, cyber bullying memiliki kecenderungan sensirif dibagikan, dibagikan dan dibagikan," beber dia.

Dalam seminar itu, hadir pula Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD Rektor UIN Sunan Kalijaga yang didapuk sebagai keynote speaker. Juga Dekan FITK UIN Sunan Kalijaga dan Kaprodi PGMI UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.  Hadir juga ratusan mahasiswa dan juga dosen termasuk perwakilan dari PGMI STAINU Temanggung, PGMI UM Magelang, PGMI STAI Al Anwar Rembang, PGMI UIN Walisongo, PGMI IAINU Kebumen dan lainnya. (tb10/Ibda).
Bagikan :

Tambahkan Komentar