Jepara, TABAYUNA.com - Nahdlatul Ulama (NU) sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang memiliki sejarah panjang mampu bertahan dalam mengarungi pelbagai situasi dan kondisi perjalanan bangsa ini, serta setia mengawal dan menjaga keutuhan bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesa (NKRI).

Penetapan nama NU merupakan usulan K.H. Mas Ali bin Abdul Aziz kemudian pada forum para kiai disepakati dan diresmikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H.

Sekarang tanggal tersebut dikenal sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama serta diperingati oleh seluruh kaum nahdliyyin setiap tahunnya.

Berdirinya NU merupakan penegasan terhadap aktivitas perjuangan dakwah para kiai di mana selama ini dilakukan secara non formal dalam sekup lokal.

Melalui organisasi NU para kiai yang sepaham memiliki cita-cita yang sejalan dan sama-sama pemegang tradisi mempunyai wadah formal sehingga pengembangan Islam yang berwawasan ahlus sunnah wal jamaah dapat berjalan optimal serta mampu menyentuh sekup lebih luas dan global.


Mengenai pemilihan nama NU K.H. Agus Rojih Ubab Maimoen Zubair (Gus Rojih) memberi penjelasan pada suatu kesempatan di acara Pengajian Umum dalam rangka Pelantikan Pengurus Ranting NU desa Sowan Lor kecamatan Kedung kabupaten Jepara, Kamis (28/12/2017).

Gus Rojih menuturkan bahwa di awal berdirinya NU banyak protes ditujukan kepada Hadlrotusy Syaikh K.H. Hasyim As'ari yang menjabat sebagai Rais Akbar.

Para kiai mempertanyakan pemilihan kata "nahdlah" yang secara gramatikal mengandung faedah marroh yaitu aktifitas yang dilakukan sekali.

Sehingga kata nahdlah terkesan bermakna gerakan yang dilakukan sekali saja. Kemudian para kiai mengusulkan kata "nuhudlah" yang lebih luas pemaknaannya yakni gerakan yang dilakukan berulang kali.

Namun sang Rais Akbar, K.H. Hasyim Asyari mempunyai pemahaman yang berbeda dengan para kiai. Dia memaknai "nahdlah" dengan satu gerak bukan sekali gerak.

Artinya, NU pengertiannya adalah gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan dan komando sehingga gerakan ulama dilakukan secara bersama-sama dan terorganisir.

Kiai Hasyim juga menambahkan bahwa NU adalah gerakan ulama yang dari awal berdirinya sampai kapan pun adalah satu gerakan yang sama.

"Sejatinya gerakan organisasi NU pada saat ini adalah gerak dari organisasi pada masa awal berdirinya NU," tegas Gus Rojih.


Gus Rojih menuturkan bahwa di awal berdirinya NU banyak protes ditujukan kepada Hadlrotusy Syaikh K.H. Hasyim As'ari yang menjabat sebagai Rais Akbar. 

Para kiai mempertanyakan pemilihan kata "nahdlah" yang secara gramatikal mengandung faedah marroh yaitu aktifitas yang dilakukan sekali. 

Sehingga kata nahdlah terkesan bermakna gerakan yang dilakukan sekali saja. Kemudian para kiai mengusulkan kata "nuhudlah" yang lebih luas pemaknaannya yakni gerakan yang dilakukan berulang kali.

Namun sang Rais Akbar, K.H. Hasyim Asyari mempunyai pemahaman yang berbeda dengan para kiai. Dia memaknai "nahdlah" dengan satu gerak bukan sekali gerak. 

Artinya, NU pengertiannya adalah gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan dan komando sehingga gerakan ulama dilakukan secara bersama-sama dan terorganisir.

Kiai Hasyim juga menambahkan bahwa NU adalah gerakan ulama yang dari awal berdirinya sampai kapan pun adalah satu gerakan yang sama. 

"Sejatinya gerakan organisasi NU pada saat ini adalah gerak dari organisasi pada masa awal berdirinya NU," tegas Gus Rojih.

Maka seyogyanya semangat organisasi NU zaman now harus sama dengan semangat K.H. Wahab Hasbullah pada awal pembentukan organisasi. Kiai Wahab terkenal dengan semangat menggelora ketika mendirikan NU cabang Blora yang notabene masa itu sebagai daerah basis PKI. 

Saat ditanya kenapa Kiai Wahab begitu semangatnya, dia menjawab "Saya hanya mempunyai cita-cita seluruh masyarakat di Indonesia menjalankan sembahyang atau shalat".

Oleh sebab itu, para pengurus ranting NU yang dilantik harus memiliki gerakan yang sama dengan K.H. Hasyim Asyari yakni selalu berpegang teguh pada Qonun Asasi dan I'tiqod Ahlussunnah wal jama'ah (khittah NU). 

Serta memiliki semangat dan tujuan yang sama dengan K.H. Wahab Hasbullah yakni mengedepankan upaya persuasif dan merangkul masyarakat sehingga mereka sadar untuk menjalankan syariat Islam terutama shalat atau sembahyang. (tb33/Misbahul Ulum).

Bagikan :

Tambahkan Komentar