Oleh M.S Fitriansyah
Mahasiswa di Yogyakarta

Sejalan dengan pergerakan awal partai komunis di Indonesia, muncul beberapa tokoh berpengaruh dalam awal pergerakan revolusioner. Diantara nama tersebut adalah Aliarcham. Sosok penting dalam tubuh Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa awal pergerakan tersebut.
Aliarcham kerap kali ikut dalam pemogokan buruh. Salah satunya adalah pemogokan pegawai pabrik gula Tanggulangin, 27 November 1925. Khawatir pemogokan yang sama menjalar di Jawa Timur, oleh Pemerintah Hindia Belanda Aliarcham dibuang ke Papua. Sebelumnya, ia kerap kali memobilisasi massa dan melakukan propaganda. Hal tersebut berimbas pada penangkapan—yang berujung pembuangan.

Melihat latarbelakang Aliarcham, tak heran kalau Pemerintah Belanda sangat mewasapadainya. Aliarcham lahir dari keluarga berada. Ayahnya seorang pemuka agama di Pati, Jawa Tengah. Dari sanalah ia bisa masuk Hollandsche Inlandsch School  (HIS)—sekolah  dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak pribumi. Lulus dari HIS Aliarcham kemudian melanjutkan ke Kweekschool voor Inlands—sekolah guru bimuputera di Ungaran.

Pada 1920, setelah lulus dari Kweekschool, Aliarcham melanjutkan studinya ke Hogere Kweekschool—sekolah guru atas di Purworejo. Dari bacaan-bacaanya yang kiri, Aliarcham menjadi pemuda radikal. Ia juga tak segan-segan melawan, atau tak mau tunduk kepada gurunya—yang notabene orang Belanda. Akibat dari tindakanya yang susah diatur, akhirnya Aliarcham di drop out pada tahun 1922.

“Tuan takkan dapat mematikan semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawan penjajahan Belanda.”

Watak Aliarcham yang keras terhadap pemerintah Belanda tak hanya muncul ketika ia mengenyam pendidikan—dengan bacaan kirinya. Selain penganut Marxisme, Aliarcham juga penganut ajaran-ajaran Samin Surosentiko. Dari ajaran-ajaran tersebutlah terbentuk pribadi Aliarcham. Termasuk menentang segala bentuk penindasan dari pemerintah Belanda.

Sebelum dikeluarkan dari Hogere Kweekschool, Aliarcham memang sudah tercatat sebagai anggota PKI. Tepatnya tahun 1921. Dari aktivitas politiknya di PKI, Aliarcham beberapa kali dapat peringatan dari pihak sekolah. Namun wataknya yang keras kepala, tak ada yang mampu menghentikannya—termasuk kawan-kawannya.

Berbekal pengalaman yang ia dapatkan di sekolah-sekolah Belanda, Aliarcham menjadi sosok yang berpengaruh di PKI. Ia dipercaya sebagai intelektual dalam tubuh partai. Belakangan, ia dipercaya sebagai eksekutif PKI Semarang. Bagi Aliarcham, PKI adalah tempat belajar kaum tertindas dan terhisap. Jumlah bukanalah segalanya, namun harus mempercayakan dan berdasarkan  pada pengetahuan.

Tahun 1923 terjadi gejolak ditandai dengan pemogokan-pemogokan, pemboikotan di Indonesia. Alhasil banyak penangkapan terjadi—termasuk K.H. Misbach. Dari peristiwa tersebutlah muncul kecurigaan dari pihak Hindia Belanda. Termasuk dengan sepak terjang Aliarcham. Ia akhirnya ditahan dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap alat-alat negara pamongraja.

Dalam kongres ke-III, Desember 1924 , Aliarcham mengobarkan semangat “pemberontakan untuk merebut kekuasan politik”.  Ia menekankan bahwa pemberontakan jangan dipermainkan. Pemimpin dari kelas buruh harus kuat, berdikari, dan disiplin yang tinggi. Semuanya bertujuan untuk memperkuat gerakan kaum buruh.

Pasca kongres tersebut Aliarcham memimpin Serikat Buruh Gula di Surabaya. Pada tahun 1925 tersebut banyak sekali pemogokan yang berdampak buruk bagi pemerintah kolonial.

Aliarcham menjadi incaran dan sering mendapat panggilan  oleh polisi kolonial. Tak ada rasa gentar sedikitpun. Ia justru tetap berdiri tegak dan menunjuk hidung pemerintah Belanda sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Dalam masa penahan itu Aliarcham justru enggan menjawab sepatah katapun pertanyaan yang diajukan kepadanya. Oleh sebab itu, 24 Desember 1925 ia pun dibuang ke Irian dengan kapal van der Wijck.

Surat kabar Api di Semarang menuliskan tentang pembuangan Aliarcham, “...kawan Ali tetap pada pendiriannya, lebih baik hancur bersama-sama dengan rakyat tertimbang menjadi manusia togog yang hanya mengikuti pihak yang menang saja.”

Berlatarbelakang keluarga mampu tak pelak membuat Aliarcham gelap mata. Alih-alih tunduk, Aliarcham lebih menonjolkan sikap sebaliknya. Ia menunjukkan sikap anti-kolonialisme. Keputusannya memilih untuk terjun bersama rakyat—berbekal pendidikan yang mumpuni, membuat Aliarcham selalu dimata-matai pihak Belanda. Di mata rekan sejawatnya, Aliarcham adalah tipikal pemimpin yang ngayomi. Dalam buku ini dijelaskan saat Aliarcham mendapat kiriman dari Jawa, ia tak segan membaginya. Kehilangan pun terasa saat Aliarcham menghembuskan nafas terakhir. Aliarcham meninggal dunia saat perjalanan dari Tanah Tinggi ke Tanah Merah.

Aliarcham dikebumikan di Tanah Merah. Di tanag peristirahatannya itu tertulis sajak, “Obor yang dinyalakan dimalam helap-gulita ini, kami serahkan kepada angkatan kami”.

Dari Aliarcham kita belajar bahwa pendidikan yang tinggi pada hakikatnya menuntun kita kembali kepada rakyat. Aliarcham adalah pemimpin yang dikagumi oleh kawan-kawannya. Ia telah mengintegrasikan dirinya untuk menentang segala penindasan oleh kolonial.

Walau ia harus beberapa kali ditahan, disiksa, hingga diasingkan. Aliarcham tetap berkeras hati. Saat harus melawan penyakitnya ketika dibuang ke Tanah Tinggi—tempat orang yang dianggap paling berbahaya oleh Pemerintah Belanda. Kendati demikian, Aliarcham tak serta merta menyerah dan tunduk.

Buku terbitan ulang  ini cukup andil dalam membuka lembar perjuangan Aliarcham dan kawan-kawannya. Betapa saat itu pemberontakan dan pembuangan sangat dekat dengan dirinya. Walau pada akhirnya ia dibuang di hutan belantara—Tanah Tinggi tak menyurutkan semangat perjuangan Aliarcham. Ia tetap melawan. Dibawah payung penderitaan saat pembuangan di Digoel, Aliarcham tetap memegang tekat: melawan hingga akhir hayat.

Buku ini hadir sebagai bahan bacaan penting. Sayangnya, masih banyak ditemukan typo, repitisi, dan inkonsistensi dalam penulisan. Hal tersebut tentu saja sedikit mengganggu saat membaca. Hal yang paling kentara adalah penulisan “Digoel” dan atau “Digul”. Kendati demikian, buku ini layak menjadi teman nongkrong. Peristiwa “dari dan sampai” dijelaskan secara runtut. Sebuah riwayat hidup sosok penting di tubuh PKI pada masa itu—yang dibumbui dengan peristiwa-peristiwa penting. Tabik!

Bagikan :

Tambahkan Komentar