Ilustrasi: Kerusuhan Mei 1998 (dok- Kompas.com).
Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre


Mengenang yang Mendahului

Di hari-hari jatuhnya firaun Soeharto, aku berharap mahasiswa melakukan kudeta dan teriak baca puisi:

"Aku adalah binatang jalang/Yang kokoh melawan neoliberalisme/Yang kuat menghadang feodalisme/Yang tegar membunuh fasisme/Yang berani menghadapi fundamentalisme/Yang menang melawan oligarki, kartelik, kleptokrasi dan predatorianik/
Aku tak cengeng seperti kalian para pengusa/Sundal asing dan aseng!"

Heyyyy kok cuma mimpi! Sompret. Jahanam.

Ini. Napas yang terakhir. Malam penghabisan. Zikir tertua. Lafal-lafal jelang kesunyian. Dalam gelegar doa ingat sunyi kematian.

Apakah yang hendak kukatakan tentang ide-ide dalam jiwaku? Setrilyun ide-ide yang menjengkelkan bagimu. Saat aku mencari perkawanan setelah makin bosan terhadap perilaku manusia, terhadap ladang-ladang suburnya yang justru menyakitkan hati dan hutan-hutannya yang terlalu merimba. Penuh culas dan citra pupur.

Aku menarik diri ke dalam kesunyian jiwaku saat aku tidak menemukan tempat lain guna membaringkan kepala letihku. Hal ini karena engkau yang kucintai memilih buta tuli dan bisu. Engkau tidak menjumpai sesuatu kecuali seorang manusia yang bersujud mengucapkan doanya minta mati setiap hari sepanjang waktu. Berharap tak ada lagi hari dan kisah dunia yang gelisah di sepanjang fajar gemilang yang tak dihirau datang; membaui bunga segala bunga yang pesonanya cukup di taruh dalam gunung jiwa; perkakas para dewa.

Aku kini. Pengumpul suka penjumput duka; deposito minus gula dan kopi yang beku di kulkas-kulkas terakhir sebelum bayar listrik pulsa. Kini aku sudah mati sebelum ajal tiba.(tb4)
Bagikan :

Tambahkan Komentar