Ilustrasi: Lawang Sewu Semarang. (Foto: Haris/Tabayuna.com).
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Sejak tahun 1830, kata Jan Luiten Van Zanden, kolonialis Belanda telah membuat hukum ketertiban yang mengharuskan pribumi banyak anak. Pertumbuhan penduduk ini penting sebagai sumber tenaga kerja tanam paksa.

Akibatnya, indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan penduduk tertinggi di dunia dan menjadi lumbung tenaga kerja (paksa) dan murah bagi negara-negara lain di dunia.

Indonesia kemudian terjebak dalam lingkaran modal manusia rendah; pernikahan dini; peranakan banyak; kualitas turunan rendah; investasi tenaga kerja rendah. Kini, warisan metoda keren ini disebut “bonus demografi.”

Padahal, seluruh studi-studi postkolonial menyebutkan bahwa makin banyak penduduk, makin cepat rusak infrastruktur, makin sulit sehat, makin sedikit makanan dan makin pendek ingatan. Akibatnya orang berbodong-bondong kerja apa saja (walau murah dan terpaksa) demi makan sebisanya.

Kita sadar bahwa kolonialisme adalah penguasaan oleh suatu negara atas negara lain dengan maksud untuk memperluas negara penjajah. Sedangkan imperialisme adalah sistem politik yang bertujuan untuk menjajah negara lain untuk mendapat kekuasaan dan keuntungan yang berlipat. Tetapi, kolonialisme dan imperialisme punya epistema yang sebangun: nafsu serakah.

Benih kolonialisme adalah keserakahan. Dalam tatanan sosial dan hukum, nafsu serakah diwadahi dalam sistem private property (kepemilikan pribadi). Atas dasar kepemilikan pribadi inilah muncul sistem ekonomi kapitalis. Ibils bagi kemanusiaan. Rosa Luxemburg menggambarkan bagaimana buruknya kapitalisme, di mana hak kepemilikan diubah menjadi perampasan milik orang lain, pertukaran komoditi diubah menjadi eksploitasi dan kesetaraan berubah menjadi kekuasaan kelas.

David Harvey dalam bukunya Imperialisme Baru mengungkap apa yang diprediksi Karl Marx bahwa kapitalisme pada titik nadirnya nanti akan memaksa untuk membuka jalan bagi imperialisme. Dengan semangat produksi yang tiada henti dan penindasan kaum buruh yang membuat rendahnya daya beli, membuat sistem kapitalisme menghadapi apa yang disebut dengan over akumulasi atau surplus produksi.

Kamoditas terlalu melimpah namun tidak ada yang mampu membelinya. Oleh karena itu, jalan yang harus ditempuh untuk melanggengkan kapitalisme adalah membuka pasar-pasar baru di wilayah koloni dan mencari sumber daya bahan mentah yang murah. Inilah yang terjadi pada Inggris terhadap India, Belanda terhadap Indonesia.

Merujuk catatan Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda, Jepang dengan industri dan kapitalismenya memaksa negara tersebut untuk melakukan ekspansi dan invasi ke segala penjuru Asia, termasuk Indonesia.
Kolonialisme purba dan imperialisme lama dikenali sebagai cara merampok dan menternak 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel.

Pola sebaran penjajahan purba itu menduduki lalu merampas geoekonomi sebuah teritori bangsa berpola konvensional via militer dan pecah belah plus adu domba (divide et impera).

Apa hasil dari kolonialisme purba bagi kita? Kemiskinan material, krisis spiritual dan penyakit mental yang begitu menggurita. Rakyat menjadi miskin, bodoh, multifokus dan limbo. Bagi mereka sulit berobat jika tak berduit dan tidak bisa bersekolah kalau tidak berharta. Maka, bunuh diri dianggap sebagai solusi akhir setiap penyakit akut itu hadir di keseharian mereka.

Tentu saja, para penjajah purba ini juga melakukan kampanye keunggulan ras dan budaya mereka sekaligus menyusun seruan berkebalikan untuk terjajah. Mereka membuat mitos terjajah sebagai para pemalas, pemberontak, tukang onar, pemabuk, pemadat, pencuri dll.

Sebagaimana diskursus yang dikaji oleh Edward Said dan Syed Hussein Alatas. Tentu, mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonialisme purba. Dengan mitos dan stereotip yang buruk rupa, para penjajah merasa berhak mengatur, mengontrol, dan menjajah sepuas-puasnya sampai sehancur-hancurnya.

Kita sadar bahwa kehancuran peradaban karena bencana alam memakan satu sampai lima generasi (1-5). Sedang kehancuran peradaban karena konflik internal atau paregreg memakan lima sampai sepuluh (5-10).

Memuncaki dari yang dua, kehancuran peradaban karena penjajahan memakan sepuluh sampai lima belas generasi (10-15).
Kita hancur karena tiga hal sekaligus: bencana alam, konflik internal (paregreg) dan penjajahan.

Ini problem besar yang selalu kita alami. Maha dahsyat kerusakannya. Karena itu, untuk mengembalikan kejayaannya, kita butuh kejeniusan semesta berkelas jagad dewa batara dan tentu restu alam raya.

Kejeniusan ini cirinya lima: 1)Kemampuan menyelamatkan Indonesia dari elite busuk (asong); 2)Kemampuan menyelamatkan Indonesia dari konglomerasi busuk (aseng); 3)Kemampuan menyelamatkan Indonesia dari penjajah busuk (asing);

4)Kemampuan mengembalikan martabat Indonesia di percaturan dunia; 5)Kemampuan memastikan tertradisinya kurikulum Pancasila di semua lini. Inilah lima ciri jenius yang harus kita temukan sekarang juga, demi realisasi janji proklamasi. Inilah mental juara.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar