Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre Indonesia

Jika di belahan dunia lain, para perampok itu diternakkan oleh MNC (Multi National Corporate), di republik ini dikerjakan oleh negara.

Ini aneh. Negara Indonesia, walau bersepakat dalam arsitektur republik, bekerja secara sistematis menjadi perampok bagi warganya sendiri. Karenanya, aspek-aspek terpenting dari hadirnya republik postkolonial (ada dalam pembukaan UUD45) diabsenkan dengan seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Apa buktinya? Pemalsuan di mana-mana. Pemerkosaan di mana saja. Pemerasan menjadi menunya. Sogok-menyogok jadi sunnahnya. Dan, penguasaan asing via investasi asing, utang dan obral SDA-SDM berlangsung sistematis, masif dan terstruktur di siang bolong.

Republik ini secara cepat bertransformasi dari milik publik menjadi milik pemodal. Investasi menjadi invasi. Elitenya bekerja untuk pemodal, membela yang bayar, indexnya untuk diri dan keluarganya.

Karena niatnya mengkhianati konstitusi, tugas nasionalisasi dan revolusi tanah dibiarkan. Lalu, republik sibuk urus olahraga. Yang hebatnya hanya juara lima dengan anggaran super mewah dan upacara megah.

Nasionalismenya berubah secara drastis dari subtansi ke prosedur. Blusukan, pesta nikahan, berbaju militer dan selfi buat media dikerjakan dengan bangga dan dibayari pakai uang warga negara. Inilah epistema pemimpin survey dan dibesarkan hantu media.

Republik neoliberal menemukan penyempurnaannya setelah dicat oleh SBY, dibuat rumahnya oleh Mega, dicanangkan pondasinya oleh Gusdur, diseminarkan Habibi dan diimpikan Harto. Lalu, apa peran dik Kowi? Doi memastikan kesenjangan menjadi realitas yang tak terbantahkan.

Dalam republik neoliberal ciri utamanya adalah paria warga di zaman merdeka. Kita sadar bahwa derita orang merdeka adalah tidak diakui kemerdekaannya. Dan, derita penguasa adalah tidak diakui kekuasaannya.

Dalam republik neoliberal, kiyamat hanya mitos para keparat; agama hanya ilusi para durja dan jualan elitenya; hukum hanya igauan para alim; pancasila tinggal di diktat-diktat berdebu; moral dan etik terselip di saku-saku.

Dalam negara neoliberal yang culas, terdapat elit begundal yang ganas. Dalam begundal yang ganas, terselip keserakahan yang melampau batas. Dalam keserakahan ini, puja-puji pada angka pertumbuhan diwiridkan dari istana secara serempak via media. Maka, tiap waktu adalah sinetron bisnis peng-peng (pengusaha-penguasa).

Maka, sungguh waktu tinggal sampahnya. Berlakulah takdir orang benar di tempat salah dan orang salah di tempat benar. Sempurna sudah kita hidup di zaman penjajah modern.

Dalam penjajahan modern, kita datangkan semilyar serdadu untuk membunuh mereka/Bidikkan sejuta senapan tepat ke uluh hati mereka/Alam semesta kan menjadi saksi bahwa mereka di sini untuk merampok kita semua/Dan, biarkan kita mati dalam perlawanan pada mereka.

Tuan Jokowi, terimakasih telah berjasa memastikan republik neoliberal menjadi nyata. Dan, kenyataan ultimanya adalah negara menjadi swasta.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar