Ilustrasi foto ZoCara!
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Perbedaan paling fundamental antara negara merdeka dan jajahan adalah konstitusi. Dus, bernegara adalah berkonstitusi, juga sebaliknya. Apa itu konstitusi kita? Undang-undang Dasar 1945. Dus, konstitusi kita adalah perjanjian, konsensus, atau kesepakatan tertinggi dalam kegiatan bernegara yang didokumenkan dalam kata: UUD-1945.

Menurut Daoed Joesoef (2018:52), "konstitusi yang jenius harus punya dua aspek, yaitu denunsiasi dan anunsiasi. Denunsiasi berarti mengkritik keadaan yang berlaku sejauh mengenai hubungan sosial antarmanusia masa lalu. Anunsiasi berarti penggambaran suatu masyarakat yang ideal, sebagaimana didambakan oleh bangsa Indonesia." Dan, konstitusi kita telah memiliki dua hal tersebut.

Selanjutnya, ia menjadi rumah kaca. Terbuka dan siapa saja bisa membaca. Sedang bagi pemerintah, ia harus dijalankan. Tentu, tidak mudah. Cenderung sangat sulit. Itulah lukisan bagi upaya merealisasikan ekonomi-politik yang berbasis konstitusi.

Padahal, di negara manapun, konstitusi merupakan perangkat peraturan tertinggi yang menjadi dasar setiap kebijakan negara. Konstitusi mengatur ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan, keamana, pendidikan, HAM, agama, kebudayaan dan ekonomi.

Dalam ekonomi diatur sejak soal penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam, hak milik perorangan, hingga peran negara dan perusahaan negara (BUMN) dalam kegiatan usaha yang berujung pada "kemakmuran bersama."

Karena itu, selain menjadi konstitusi politik, UUD 1945 sesungguhnya merupakan konstitusi ekonomi. Ia merupakan rujukan utama dalam setiap kegiatan kenegaraan, kemasyarakatan, serta kegiatan usaha. Semua kebijakan ekonomi Indonesia yang dituangkan dalam bentuk undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Dengan demikian, dalam negara pancasila, ketergantungan (utang), ketimpangan dan kemiskinan berbanding lurus dengan konstitusi. Jika konstitusional kita dahsyat karena direalitaskan dalam kebijakan publik, maka kemiskinan dan turunannya akan habis. Juga sebaliknya.

Pertanyaannya, bagaimana aksiologi kolonial dalam usaha stabilisasi perampokan SDA negara postkolonial? Dengan melakukan tiga hal penting. Pertama, mendesain mental kolonial. Kedua, mendesain nalar kolonial. Ketiga, tafsirkan konstitusinya secara kolonial.

Kita tahu bahwa konstitusi suatu negara ditegakkan dalam rangka membentuk tatanan negara yang berlandaskan hukum keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan untuk semua warganegara (tanpa pandang bulu). Konstitusi memuat sendi-sendi pokok hukum dan juga aturan yang memiliki sifat fundamental-mengikat bagi terselenggara dan terjaminnya cita-cita bersama.

Jika kita belajar konstitusi maka itu berarti kita belajar tentang hukum, cita-cita, target, roadmap dan tatanan suatu negara yang harus dikerjakan oleh semua warganegara. Karena itu, bernegara adalah berkonstitusi. Tanpa konstitusi, tak ada negara.

Kita tahu, istilah konstitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu “constitution” atau bahasa Belanda “constitue.” Latinnya contitutio dan constituere. Bahasa Prancisnya “constiture," dan Jermannya “vertassung." Kita bisa menyebutnya undang-undang dasar negara republik indonesia (UUD 1945) dan tafsiran terhadapnya.

Dus, konstitusi adalah keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara suatu pemerintahan diselenggarakan dalam negara kita. Jika rusak suatu konstitusi, rusaklah semua unsur-unsur negara dan hancurlah kehidupan sebuah bangsa.

Dari tesis inilah lahir diktum: jika tuan ingin melanggengkan tanah jajahan, tak usah kirim semilyar pasukan dan jutaan bom nuklir. Cukup kirim draft perubahan konstitusi negara tersebut sesuai keinginan tuan sebagai penjajah.

Kini, sudah beberapa dekade proses itu dikerjakan para penjajah: internasional dengan bantuan pengkhianat lokal. Karena itu pertempuran legalisasi sebagai lanjutan dari revolusi mental dan revolusi nalar, kita harus fokuskan pada revolusi konstitusi. Reclaim the constitution adalah reclaiming the state.

Program ini dikerjakan agar kehidupan kenegaraan dan kewargaan kita sesuai cita-cita negara dan sesuai janji proklamasi serta menjamin kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh warganegara.

Fokus revolusi konstitusi ini dapat dimulai dengan amandemen thd 11 UU produk neoliberalis. Yaitu: UU Devisa Bebas, UU Perbangkan, UU BI, UU Pasar Modal, UU PMA, UU Migas, UU Minerba, UU BUMN, UU UMKM, UU Ketenagakerjaan dan UU Jaminan Sosial. Yang lain menyusul sesegera mungkin.

Jika kita kalah dalam revolusi 11 UU ini maka di perang akbar kedaulatan dan kemandirian akan hancur binasa. Ingatlah bahwa dari dulu, kaum bejat kolonial menternakkan 3 medan pertempuran guna stabilisasi penjajahan: battle of mind, battle of legalization and battle of sovereignty.

Dus, pada 11 UU itulah arsitektur ekopol kolonial dipastikan kehadirannya, teori kurs direalisasikan, kesenjangan dilegalkan, kebodohan disyukuri, kejahiliyahan disembah, krisis dimetodakan, utang dipraktekkan, shadow economy dilanggengkan dan ketergantungan diilmiahkan.

Singkatnya, kita harus menyadari bahwa perang hari ini tidak lagi menggunakan senjata, melainkan cukup dengan kertas (uang) dan pena (UU). Pada rumah kaca konstitusi kita, nasib semua warganegara ditentukan. Semoga kita semua segera siuman dan melawan. (*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar