Ilustrasi
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia

Extra exlesiam nulla mercatusa. Itulah ujungnya. Tetapi, apakah kini yang terjadi dalam ekonomi-politik kita? Adalah bekerjanya ekonomi tanpa sistem. Dalam bahasa yang salah kaprah dinamakan sistem ekonomi pasar.

Apa itu makhluk bin madzab fundamentalisme pasar? Adalah sistem ekonomi di mana seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Mekanisme ini mengunggulkan konglomerat dan begundal finansial plus korporat-keparat-oligark. Inilah sistem paling brutal sepanjang sejarah peradaban manusia di dunia.

Madzab pikiran dan pekerjaan ini dikerjakan via filsafat “membela yang bayar” dan larangan sakit bagi si miskin dan tuna kuasa (sebab keduanya tak sanggup bayar). Ditradisikan via genosida minus pembunuhan: sebab yang terjadi adalah perbudakan massal.

Ini adalah matra modern yang kini sedang duduk manis menikmati babunya memperkosa Indonesia. Para babu yang diternak di sekolah-sekolah terbaik dan dari pusat-pusat studi terkeren. Karenanya, neoliberalisme adalah penyakit keserakahan bin keculasan yang ditularkan via bank dan utang. Madzab ini hadir karena diundang elite berwatak silit dan meminum duit.

Dalam sistem ini, faktor-faktor produksi dimiliki oleh swasta dan mereka mempunyai kebebasan untuk menggunakan semau-maunya. Sektor perusahaan akan berusaha untuk menggunakan cara paling koruptif sambil mencari keuntungan yang paling maksimum.

Sistem perekonomian pasar bebas mencapai tujuan tersebut melalui interaksi di antara pengusaha dan pembeli di dalam pasaran tanpa campur tangan negara dan pihak-pihak lain yang tak dianggap penting.

Adam Smith dalam bukunya, “An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776)," menulis bahwa ciri dari sistem ekonomi pasar adalah: 1)Setiap orang bebas memiliki barang, termasuk barang modal; 2)Setiap orang bebas menggunakan barang dan jasa yang dimilikinya; 3)Aktivitas ekonomi ditujukan untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya; 4)Semua aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh swasta;

5)Pemerintah haram melakukan intervensi pasar; 6)Persaingan dilakukan secara bebas; 7)Peranan modal adalah utama; 8)Kesenjangan makin lebar; 9)Kuasa modal menentukan kuasa dalam segala hal.

Dus, sistem ini tidak mengurus hal-hal yang jadi problem negara postkolonial: keterjajahan, kemiskinan, kebodohan, kesakitan, kesenjangan, ketakmandirian, ketergantungan, kebingungan, kegelapan.

Jadi, tanpa sistem atau sistem pasar adalah “kebenaran” yang di luarnya salah. Tak ada kebenaran kecuali pasar dan pasarlah pusat kebenaran. Lalu, di mana agama dan ideologi? Kini, keduanya dipasarkan secara murah dan tak laku lagi. Itulah mengapa orang tanpa gagasan dan ide jenius yang dipasarkan agar menjadi penjaga pasar. Sulit untuk tidak mengatakan elite kita sebagai budak korporasi (anak haram dari perselingkuhan singa, naga dan banteng).

Kini untuk ke seribu kali, hadir dan hidup kabinet korporasi dan elite korporat yang bersikap keparat. Akhirnya, yang idealis, konstitusional dan waras akan menolak atau disingkirkan. Jika sedia, ia akan kalah dan binasa.

Karena itu, hidup di sekitar kejahiliyahan yang sistemik, massif dan destruktif harus hati-hati. Hadapi dengan setrilyun cara dan metoda. Tanpa itu, kita hanya menjejer luka-luka; menumpuk pilu dan mengeringkan air mata tanpa jeda.

Cara dan metoda itu adalah menajamkan konsep “wawasan nusantara.” Ini merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografisnya berdasarkan sejarah dirinya, Pancasila dan UUD 1945.

Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan keadilan dan kesejahteraan serta kebahagiaan dalam kesatuan wilayah dengan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.

Wawasan ini mengutuk dan menikam mati tepat di jantungnya mantra neoliberalis yang menyebut, “jika tak bisa menang dengan angka, gunakan bunga (utang). Jika tak bisa menang dengan bunga, pakailah penjara. Jika tak bisa menang dengan penjara, mainkan senjata.”

Itulah otak begundal. Itulah nalar kolonial. Jauh dari otak pemimpin yang bangsawan-negarawan. Jauh dari Indonesia Raya. Inilah pengkhianat Pancasila. Merekalah yang berfilsafat, “bayar semuanya, atur semaunya; beli semurahnya, gilas seenaknya.”(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar