Ilustrasi
Oleh Ayik Heriansyah 

Pemilu dan Pilkada merupakan metode bai'at Imam di zaman sekarang. Metode untuk memilih dan mengangkat pemimpin (Imam). Ketika mencoblos, umat secara sadar memilih dan meng-ijab pemimpin yang akan jadi pemenang sesuai peraturan Pilkada yang telah diketahui dan diterimanya yaitu peraih suara terbanyak adalah pemenang dan pemimpin yang terpilih.

Calon pemimpin yang meraih suara terbanyak meng-qabul-kan ijab umat ketika dilantik. Dengan demikian sempurnalah akad bai'at (ijab qabul) antara umat dan Imam. Selanjutnya Imam (Gubernur, Walikota dan Bupati) dapat menunaikan tugasnya melakukan tasharuf melayani umat.

Bagaimana dengan kelompok yang golput karena mengharamkan demokrasi? Ya, mereka tidak melakukan akad bai'at dengan Imam. Mereka tidak mencoblos otomatis tidak melakukan ijab. Apalagi mereka tidak mengakui keabsahan pemimpin terpilih.

Karena tidak ada tasharuf antara Imam dengan mereka. Mereka bukan objek tasharuf dari Imam. Mereka tidak berhak atas semua pelayanan (sekolah negeri, rumah sakit negeri, listrik, PDAM, dll) dan fasilitas publik (jalan, bandara, kereta api, pelabuhan, dll) yang diberikan Imam. Walaupun mereka "terpaksa" membayar pajak dan retribusi.

Namun demikian mereka masih bisa memanfaatkan pelayan dan fasilitas publik hasil tasharuf Imam asal mendapat izin dari semua umat. Jika tidak berarti mereka mencuri dan ghasab.

Mengingat tidak akad bai'at (ijab qabul) antara kaum radikal yang mengharamkan demokrasi dengan penguasa maka tidak terjalin tasharuf yang syar'i. Akibat terjadilah hubungan "kumpul kebo" mereka dengan penguasa.
Bagikan :

Tambahkan Komentar