Ilustrasi Foto Kompas
Oleh M Yudhie Haryono

Aku sering berkunjung ke jiwamu. Tetapi, jiwamu sering ke luar rumah. Juga ke luar kota. Jadi kita tak bertemu. Engkau laksana KRL yang sigap mondar mandir. Terus menerus setiap jam yang kurus. Tak sempat tengok-tengok. Tak bisa bersin-bersin. Bahkan saat sakit dan matikupun, engkau pasti akan tetap menatap dan melaju ke depan menuju titik bolak-balik. Dan, aku yang tak sempat beli karcis, hanya tersenyum tipis. Berharap agar tuan masinis tak seganteng Marx Luwis.

Aku sering mudik ke hatimu, menteriku. Di antara subuh dan duha yang gaduh. Tetapi engkau sering mengurus akhirat dan kaum melarat. Hingga kita tak pernah lagi berjumpa. Tak ada lara. Tak ada dupa. Tak ada selera. Tak sudi sedikit bahagia. Tak ada nafsu. Tak ada belenggu. Di bulan ramadan, kita seperti sore dan pagi. Ada tetapi tak tersambungkan dalam kesejatian. Sitiku, lebaran ini mudik ke mana?

Lebaran nanti kuharap khutbah-khutbah di rumah ibadah isinya yang berdentum. Seperti fatwa dan ajakan bertindak raksasa, "atlantik: they part of us. Nusantara: we live together. Indonesia: we part of them. And, the best revenge for the people who have insulted you is the success that you can show them later." Bukan ribut hal ecek-ecek waktu sekolah dan kapan halal bihalal. Begitukah pikiranmu juga menteriku?

Sitiku. Sebagai pelaku bisnis, caraku menilai kalian sangat clear. Makin hari bisnis seret dan tagihan macet. Ini prestasi besar 2 tahun dik juki dan pasukannya: termasuk dirimu. Harga-harga bukan naik, tapi berganti. So, daya beli rakyat menurun. Tetapi ini rirual sirkular terutama ramadan yang selalu jadi hantu, rezim siapapun.

Saat kutahu hatimu bukan untukku dan hari-hariku tanpamu, sesungguhnya kita semua tahu bahwa, "jika pemerintah sudah tak mampu melaksanakan tugas konstitusional dengan memberikan subsidi, itu artinya negara bangkrut! Kini, kita bangkrut. Sulit. Tetapi rakyat baru meratap. Dan, ulama menipunya dengan ayat. Memang, elite dan ulama kita model keparat. So, kita hanya bisa melukis ketupat.

Sungguh Sitiku. Rasanya aku perlu berhipotesa soal orang-orang Indonesia. Mereka bagiku terbagi lima: 1)Orang purba: ngomong tuhan; 2)Orang putus asa: ngomong agama; 3)Orang nganggur: ngomong pancasila; 4)Orang waras: ngomong solusi; 5)Orang modern: ngomong kolonisasi. Di mana posisi orang-orang Indonesia? Tidak naik-naik kelihatannya. Baru di arena nomor 1-3. IQnya masih eskatologis. Bagaimana menurutmu? Ruwet dan memprihatinkan bukan?

Selebihnya, Sitiku. Jika ingin tahu kwalitas kawan-kawan kita? Lihatlah saat mereka mendapat kekuasaan. Banyak orang akan berubah ketika sudah mulai duduk dan mendapat fasilitas plus kemashuran. Mereka seakan-akan tak pernah mengenalmu dan tak ingat masa-masa berjuang di masa lalu. Itulah salah satu makna pepatah, "revolusi memakan anak kandungnya sendiri."

Ingin tahu kwalitas mental kawan-kawan kita? Lihatlah saat adzan maghrib tiba ketika puasa. Apa saja di piringnya dan bagaimana ia mendapatkannya.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar