Oleh M Yudhie Haryono
TANPA disadari, kita kini memproduksi para psikopat di ajang politik dan ekonomi. Ini rangkaian tak terelakan dari persetubuhan haram fundamentalisme pasar dan fasisme agama plus feodalisme ekonometrika (trias warisan kolonial).
Jejak langkah neoliberalisme yang tak dihapus pak presiden dan rumah rahim neofundamentalisme yang tak didelet pak presiden plus bumi neotribalisme yang tak diaborsi pak presiden berakibat chaos yang tak berkesudahan. Tak percaya? Cek semua media di sekitar kita: cetak, web, elektronik dll.
Makna psikopat secara umum adalah sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat, karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang sekitarnya.
Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar penuh atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati. Sedang pengidapnya disebut orang gila tanpa gangguan mental.
Menurut penelitian kami, pasca diberlakukannya demokrasi liberal, sekitar 10% dari total penduduk indonesia mengidap psikopati sosial. Pengidap ini sulit dideteksi karena 95% lebih bebas berkeliaran daripada mendekam di rumah sakit jiwa. Terlebih pengidapnya sukar disembuhkan.
Kalian mau tahu ciri psikopat? Ia selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri, menyalahkan orang lain tanpa data dan berbahagia di atas derita sesama.
Para pengidap psikopat (ekopol) hanya merasakan senang dan bahagia atas kemenangannya sesaat tetapi akan merasakan sampah kalau kalah walau tak menyerah. Mereka tak mungkin bicara mengatasi problema warga negara. Sebab, mereka jadi elite yang silite.
Di tangan elite psikopat, pemerintahnya tidak mampu mengontrol dan menguasai seluruh SDAnya; pemerintahnya sangat lemah dan tidak efektif; tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang memadai; gotong-nyolong; korupsi dan kriminalitas yang meluas; banjir TKI/W; konflik antar lembaga negara; dan penurunan kesejahteraan ekonomi yang tajam.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar