Ilustrasi gambar says.com
Oleh Ahmad Fauzi

Aku adalah dukun penyair, yang bersekutu dengan para penyihir. Pekerjaanku merapal mantra dan menjadi juru bicara makhluk sia-sia. Lidahku tombak tajam beracun yang mampu meluncur di tengah malam, siap menghunjamkan ketakutan pada ulu hati lawan. Mulutku meremah-remah, mengangkat inspirasi gelap dan remang-remang yang terjerembab dalam alam bawah sadar kata-kata. 

Bintang-bintang di langit menjadi penanda suciku, mengabarkan masa depan banyak orang yang percaya sambil termangu. Menunjukkan jalan bagi mereka-mereka yang tersesat di tengah samudera roh tak menentu. Aku kekayaan terbesar bagi kaumku. Mereka datang untuk mengadukan nasib padaku. Banyak yang tak mengira bahwa aku pernah membuka jalan dan menjadi pintu pengantar sejarah para nabi palsu.

Ketika Nabi Langit belum memusuhi dan memojokkanku, aku begitu dipuja. Masyarakat primitif menempatkanku layaknya pusat sejarah, karena ucapanku begitu merajah. Mereka mengitariku dengan penuh penghormatan, sebagai tanda tunduk kesetiaan. Tidak ada aku, maka tiada penanda bagi sang waktu. Aku mengada untuk semesta kaumku. Upacara ritual membuktikan pengaruhku pada mereka sangatlah kental. Falsafah hidup kami dimulai dari realitas kematian. 

Ketika jiwa terpisah dari tubuhnya, ia berubah menjadi roh yang mengapung-apung di atas jasad yang merana. Bukan masjid, gereja atau pun pura tempat manusia pertama memuja, tetapi kuburanlah tempat pertama kali manusia beribadah dan berdoa, memanggil-manggil roh yang mengenakan atribut kepribadian seperti kita. Mengajaknya berpartisipasi dalam urusan dunia, merasuki pori-pori jasad hidup yang kemudian membuat kami lalai dari terjaga. Pada masa itu, alam gaib merupakan realitas utama, meskipun kelak zaman mesin menamainya takhayul belaka.

Akulah Nabi Kesurupan yang sebenarnya. Filsuf kuno yang ahli menafsirkan mimpi, dan dari kegiatan tersebut lahirlah ide dualisme tubuh suci, cikal bakal roh imajiner yang melayang-layang di udara setelah manusia mati. Salah satu tugasku yang pertama yaitu, memancing roh dengan mantra agar keluar dari tubuh manusia. Aku, dukun purba yang sudah menggarami banyak ritual selama ribuan tahun tanpa tanya. Hingga suatu saat muncullah mereka, para Nabi Oportunis yang mendongak ke atas langit sambil komat-kamit melafalkan doa yang sudah dimanipulasi. 

Doa adalah mantra magi yang telah berevolusi. Keduanya sama-sama berusaha memengaruhi. Tidak ada makhluk yang sehebat dan seberani para Nabi dalam mengabarkan tentang nasib manusia sesudah mati, meski kelak manusia masa depan menyebutnya sebagai delusi, atau semacam ideologi yang membuat nalar manusia mati. Mereka menggunakan kata-kata purba yang dipinjam dari warisan pusaka nenek moyang kami dan diberi interpretasi baru, yang sering disebut dengan nama “wahyu.” Sebuah kata sederhana yang suatu saat menjadi senjata maut pencabut nyawa, juga pemasung nasib bagi manusia durhaka.

Sebelum para Nabi Langit memperoleh wahyu, aku lebih dulu mendapatkannya. Wahyu para nabi hanyalah terusan risalah syairku, karena keduanya memiliki irama emosi yang sama. Saat wahyu datang, jiwa kami pun sangat tertekan, muka menghitam legam, meneteskan keringat dingin sebesar biji ketan. Kami juga menggelepar dan kelojotan di tanah, seolah ditindih oleh bongkahan batu-batu gunung yang sedang marah. 

Pikiran terasa dikendalikan oleh kekuatan tak nampak, tak diketahui asal-usul dan sumbernya, tapi sangat jelas pengaruhnya. Ada bisikan yang menggema di telinga kami, memberi perintah untuk menyalakan api suci. Api yang menyentuhkan diri pada perasaan bahwa kami makhluk terbesar dalam lintasan sejarah. Bagaikan dikepung oleh gelombang lautan, tidak ada jalan keluar, selain maju ke depan dengan keyakinan selalu ditemani oleh kemahakuasaan pikiran.

Wahyu dan syair merupakan istilah yang tidak berbeda untuk membungkus kata-kata sehingga terasa menggetarkan dan mempesona bagi yang mendengarkannya. Mukjizat seorang Dukun Penyair dan para Nabi Langit sebenarnya serupa. Sama-sama melemahkan, membuat orang terdiam miskin kata-kata. Kaya bukan karena harta tapi menimbun permainan bahasa. Wahyuku berupa ungkapan magi, sejenis bentuknya dengan wahyu para Nabi Langit, hanya saja mereka telah menggubahnya menjadi puisi ilahi. Sumber inspirasiku tidak berbeda dengan sumber wahyu para Nabi Langit itu, yaitu roh gentayangan. 

Namun, Nabi Langit berhasil memperhalus namanya menjadi tuhan. Baik roh gentayangan atau pun tuhan hanya masalah nama sebutan, tidak berbeda secara substansial. Keduanya merupakan ekspresi jiwa cenayang, penyakit pikiran yang diberi atribut personal di dunia luar. Penanda dari yang tiada. Baik diriku maupun para nabi sama-sama mengidap epilepsi, selalu keheranan oleh misteri. Orang-orang sekitar menjuluki kami makhluk kesurupan, seolah ada jin yang menunggangi dan membebani kepala kami. Suatu keadaan yang sangat berat, mencekam, nyawa kami serasa mau diseret keluar. Saat-saat itulah, terukir huruf-huruf gunung, terangkai secara magis menyembul dari palung alam bawah sadar kami yang terdalam. Oleh karena itu, gaya psikis dukun penyair berkerabat dekat dengan jiwa para Nabi Langit yang kesurupan.

Kami memang memiliki jenis wahyu yang sama yang berasal dari keadaan psikis berapi-api, yaitu syair magi. Bedanya, aku tidak berdusta, kuakui asal-usulnya benar-benar muncul dari kedalaman jiwaku sendiri, sedangkan para Nabi Langit mengaku mendapatkannya dari atap semesta tertinggi. Betul, para Nabi sering tidak jujur, karena merasa asing dengan pikirannya sendiri, mereka mencantelkannya pada wujud gaib yang bernama Maha Tinggi. Sang Maha pun menjadi tempat mengasingkan diri para Nabi, yang kemudian dengan kejeniusannya justeru Sang Maha terkesan mengabdi dan melegitimasi segala keinginan Nabi mulia ini. Maha Tinggi pun menjadi budak Sang Nabi, sejarah yang mendahului abad palu bahwa tuhan telah mati. Mereka mereka-reka mimpi, mengubah ilusi menjadi ilahi. Sang Nabi pun gemar menjelajah mimpi, mengambil delusi lalu digubahlah puisi. 

Hal tersebut terjadi, karena para Nabi masih percaya dengan mitologi, yaitu kisah tentang tuhan yang berbicara pada manusia melalui mimpi. Tidak ada “ilah,” ramalan masa depan atau juga kedewaan dalam mimpi. Justeru, apa yang disebut mimpi itu mengandung anomali dan patologi. Ajang pertempuran antara dorongan kehidupan dan naluri kematian. Mimpi juga bisa disebut sebagai kegilaan singkat yang dialami manusia saat inderawinya bekerja minimal dan kesadaran belum terjaga. Sedangkan kegilaan adalah mimpi panjang yang menerobos keluar dari tapal batasnya, di mana saat itu kesadaran telah termanipulasi oleh delusi dan halusinasi. 

Maka, jika kita mendasarkan pondasi agama pada wahyu yang memiliki asal-usul kekacauan psikologis ini, sebenarnya kita sedang menempa penyakit kata-kata yang ditahbiskan oleh yang suci, itulah makna sebetulnya dari wahyu ilahi. Singkat kata, risalah para Nabi Langit sebenarnya merupakan produk keterasingan dari jiwa yang sakit, karena delusi pewahyuan melalui mimpi dianggap sebagai kebenaran tertinggi.

Ya, karena kami bersaing mereka memfitnahku sebagai makhluk terkutuk sepanjang waktu. Namun, apabila api magi kami mati, tentu agama mereka pun ikut sunyi. Aku dan para Nabi Langit, saudara satu ibu, meski nasib mereka selama ini jauh lebih baik dariku. Diam-diam mereka merinding ketika namaku disebut. Para Nabi pun takut, kalau kuasa mereka direbut. Aku sudah lama menunggu-nunggu, suatu saat akan ada kegilaan dan kejeniusan berpadu, angin dan api menderu, membongkar muslihat yang berselingkuh rapi dengan sang waktu.

Dulu aku sangat terhormat, memimpin kelompok suku dengan syair tombak. Amarahnya menjelajahi malam, siap menikam pikiran lawan. Kini, aku makhluk pesakitan, tersudut di pojok-pojok kumuh peradaban. Sebenarnya, genealogi syair magiku sama secara bentuk dengan pewahyuan, yaitu semacam manifesto alam bawah sadar. Aku menamainya, ayat-ayat kesurupan. “Aku yang sadar telah tenggelam karena rasio sudah kurajam. Aku bukanlah aku, ada aku-aku yang lain dalam jiwaku.” Dan kubiarkan diriku menjadi jalan pengungkapan bagi aku-aku yang lain untuk memuntahkan kata-kata dan perasaan.
Bagikan :

Tambahkan Komentar