Ilustrasi: metallrente.de
Cerpen Rindu
Oleh M Yudhie Haryono

Untuk perempuan yang memilih sunyi dan pengabdian; memilih tuhan sebagai kekasihnya; mengganti dupa dengan hapalan; membuang rindu di bawah kolong langit. Kini, kenyataan seolah-olah mimpi. Dan, mimpi seolah-olah kenyataan.

Taukah engkau? Aku merindukanmu saat terjadi kejahiliyahan nasional? Yaitu saat pemikir sejati, musuhnya bukan hanya kemiskinan dan kecuekan sekitarnya, tetapi juga rezim yang bebal dan predatorik. Tetapi, pemikir sejati tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang memeluk dan mencabut ajalnya.

Sambil menunggu ajal, kutulis buku baru berjudul "Demi Pancasila Demi Indonesia." Ini hasil rangkaian riset panjang bejerjasama dengan 11 Universitas dan kolom-kolom pendek ribuan hari lalu, jauh sebelum UKP PIP diresmikan.

Dalam musibah nasional ini ada kisah yang bisa kau baca. Dulu. Ya dulu. Dari dulu itu kami tahu bahwa keinginan terus berbiak dan beranak-pinak. Tak ada yang mampu menghentikannya. Itu nafsu jahat dalam diri kita. Dus, tak ada keinginan puncak yang mampu menghentikan langkahnya untuk terus melaju.

Sebagai misal, "baru jadi presiden 3 tahun saja sudah ingin dua periode." Itulah keinginan sebagai anak haram kejahiliyahan. Sedang aku, hanya ingin mengetik dan mengetik lagi. Lahirlah buku berjudul "Mental Kolonial."

Dari musibah jahiliyah, kita terperangkap dalam proklamasi yang dikhianati. Tak percaya? Lihatlah aku di sini. Pandanglah jiwaku di tempat itu. Aku yang memendam rindu. Aku yang memintal cinta. Maka, setiap kuberseru, yang kusebut hanya namamu. Setiap kuber'adzan, yang kulafalkan hanya surat cintamu. Surat cinta untuk Indonesia kuketik dengan sepenuh jiwa. Terbitlah kumpulannya yang berjudul "Membumikan Revolusi Mental dan Nawacita."

Kasih. Di kitab-kitab kuno terpahat kalimat keren: "Menjadi presiden itu mudah. Menghapus hutang piutang itu yang super susah." Itulah mengapa ketika kucoba tanya pada kawanku yang sedang berkuasa: Apa praktekmu untuk Indonesia? "Menumpuk utang," jawabnya lugu.

Lalu saat kutanya: Apa idemu untuk Indonesia? "Tipu-menipu," katanya jujur. Apa warisanmu untuk Indonesia? "Blusukan," jawabnya tegas. Apa cita-citamu untuk Indonesia? "Infrastruktur," jawabnya cerdas.

Para penguasa model beginian nalarnya pendek. Dalam kependekan nalar, kesialan hari ini selalu mudah menghadirkan dan menyalahkan masa lalu. Padahal, itulah sejahil-jahil suatu kaum. Kini kita sedang di titik nadir.

Kekasih tercantik yang pernah singgah di hatiku. Semoga kau tahu. Mengaduh membuat hidup kita termaniskan. Sedang bersenda gurau membuat hidup kita pada jalan kerinduan.

Guru awal-awal kehidupanku (Abah Zaenal Mahirin) menulis kebijakan yang dahsyat: "Bukankah kita telah lama mati? Tak bisa berkata-kata atau sekedar bersuara? Negara telah menjadi begal yang sempurna. Dan, agama sekedar kita bermain halma."

Beliau tulis setelah mendengar sahabat kami (Mas Prasojo) meninggal semalam. Subhanallah. Jika aku mengingat kematian kekasih tersayang dan mendengar kematian kawan-kawan, rinduku pada Tuhan makin menggebu. Kok mereka duluan? Kan aku yang sudah lama meminta dan menunggu.

Abah, "jika orang secerdas mas Prasojo meninggal sebelum indonesia membaik, kita bisa apa yah?" Begitu tanyaku pada beliau. Dan, syair di atas adalah jawabannya.

Buatmu yang tak merindu. Kutulis ini dengan dentang kegagahan semu. Kekasihku. Rabiahku. Mariaku. Di potongan waktu. Hanya serpih hati yang terpendam. Rindu yang beku. Terpisah karena pilihan dan kedunguan. Cinta yang seperti tak hendak diperjuangkan. Sebab ada jarak tanpa hitungan. Ada masa lalu bagimu yang magis. Sampai menjadi suratan dan pilihan hingga hari ini.

Kau memilih rindu yang terbagi; cinta yang terbelah; waktu yang terpotong-potong; pedih dan senyum yang dibagikan. Antara entah siapa dan ketakutan pada bayang-bayang yang kau sebut restu. Duhai bidadari dari segala bidadari. Aku mencintaimu tanpa nalar. Seperti cinta si Majnun kepada si Laila. Walau di kepala aku bingung dengan tindakanmu.

Dalam tawa panjang malaikat Jibril, kau memilih menangis daripada berbuat dan mencari solusi. Kau memilih marah-marah dan menuduh. Kau tak tahu hidupku sunyi. Seperti sunyinya harapan si Romeo kepada si Juliet yang legendaris itu.

Maka inginku hanya diam. Seperti diamnya Ali untuk Fatimah. Seperti sunyinya angin utara pada kutub selatan. Sambil berwirid dalam iman dipertemukan. Dalam kasih yang disatukan. Dalam cinta suci yang diikatkan. Walau kutahu engkau sudah tak punya nafsu; sebab kau hanya rindu syorga dan restu Tuhan. Lelaki dan dunia hanya masa purba bagimu.

Karena itu, kau takkan hirau undangan buka puasa senin-kamis bersamaku di sunyi pantai yang syahdu. Kemarin. Di pasir pantai Ancol kutulis namamu. Sambil buka puasa dan menangis rindu.

Pasti. Kau tak mengerti. Aku datang dari masa depan. Dengan kejujuran. Merasuki jantungmu. Mendiktekkan kejuangan dan perlawanan. Kemiskinan memisahkan dan menghancurkan kehidupan kita. Tetapi, ingatkanku pada dirimu tak pernah pupus. Kasihku yang bergelora menghantui dan mengingatkanku agar semua pilihan hidup tak jatuh menjadi abu. Bahwa kasihmu berkarat merasuki hatiku. Setiap waktu. Setiap saat.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar