Ilustrasi Konsep Islami
Oleh: Nur Kholik Ridwan

Dalam menjelaskan Al-Marotib al-`Ubudiyah, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani menyebutkan bahwa itu adalah sebagai bagian dari jalan untuk mengenal al-Marotib ar-Rububiyah. Yang pertama, dalam al-Marotib al-Ubudiyah itu, dalam level ibadah, bagi para penempuh di jalan tarekat dan peniti di jalan Alloh, adalah pertama mengenal Alloh di dalam level al-Marotib ar-Rububiyah, kedua mengakui (al-iqror) adanya Dzat Yang Maha Mengatur dengan kepengaturan-Nya dan penghambaan nafs untuk-Nya; dan ketiga adalah mengenal an-nafs dan pengosongannya.

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, menyebutkan level nafs pertama adalah Ammaroh, sebagaimana disebutkan dalam kitab Risalatun fil Asma’ al-Azhimah. Penamaan jenis nafs ini merujuk pada surat Yusuf [12]: 53, yang menyebutkan: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”

Ayat ini menggambarkan jenis Nafsu Ammaroh, dan menggambarkan pengkhususan di antara insan (manusia sebagai makhluk spiritual) itu ada yang nafsnya dirahmati Alloh, dikasihi disayangi, sehingga selamat dari tipudaya Nafsu Ammaroh. Syaikh Abdul Qodir menyebutkan, dalam menafsirkan ayat 53 itu, dalam kata “Ammaroh bissu’” dimana nafsu itu: “Condong kepada tabiat keburukan dan kerusakan; mengarahkan ke arah semisalnya.”
Ketika membicarakan kata “ubarri’u nafsi”, disebut terlepas dari “al-farothot (hal-hal yang sia-sia, yang ini bisa dalam hal mubah tapi tidak banyak memberi faedah bila dilakukan terus menerus), al-ghoflah (hal-hal yang melupakan terhadap ketaatan dan kecintaan kepada Alloh dan Kanjeng Nabi Muhammad), dan al-khowathir al-qobihah (bisikan-bikan batin yang jelek), dan hal-hal yang menutut kekejian yang mendorong kekuatan syahwat dan kelezatan hewani” (Tafsir al-Jilani, II: 360).

Nafsu itu sendiri, hakikatnya adalah sangat dibutuhkan bagi manusia, karena dia yang akan mengantarkan manusia pada kesadaran Qolbu dan Ruh, tetapi dia sendiri diciptakan oleh Alloh untuk dibekali berbagai selubung, dan selubung pertama adalah Ammaroh. Ammaroh merupakan Hawa Nafsu, yang menurut Syaikh Abdul Qodir cara menghadapinya, adalah dengan kalimah tahlil “Lailaha Illalloh”, dalam jumlah 100.000 x.

Jumlah 100.000 x ini bermakna, bahwa bila sudah sampai pada jumlah itu, diulang terus sampai pada batas tertentu memperoleh warid dan penglihatan batin, dan terus menerus dimudawamahkan. Penglihatan yang terlihat dari melawan Nafsu Ammaroh ini adalah cahayanya terlihat azroq (kebiruan). Penglihatan ini dapat terlihat manakala sang pengamal tarekat, berdzikir dan memejamkan kedua mata, sambil berkonsentrasi, dengan robithoh kepada guru sampai oleh Alloh memperlihatkan pada cahaya ini.

Titik Nasfu Ammaroh, menurut Syaikh Abdul Qodir ada di bagian ash-shodr, yaitu di bagian dada, sehingga dia dipukuli dengan gerakan kepala dalam dzikir, supaya bangun untuk melakukan perjalanan dengan dibersihkan. Dalam tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah dan Syathoriyah, yang kami terima, gerakan kepala ini: dimulai dari pucuk kaki kanan ditarik ke belakang mengikuti kaki terus ke atas, ke geger sampai ke kepala belakang (mengucap La), lalu ditarik dan dipukulkan di dada kanan (mengucap Ilaha), dilanjutkan dipukulkan ke dada kiri (Illalloh), lalu ditarik lagi ke dada kanan, dari dada kanan ke dada kiri diturunkan ke kaki sampai ke pucuk kaki kiri (mengucap Sayyiduna Muhammad Rosululloh, dan pada ucapan yang terakhir ditambah Syaikh Abdul Qodir al-Jilani Waliyulloh). Gerakan ini diulang tiga kali. Setelah itu, mengucapkan dzikir tahlil jahr dengan gerak kepala tertentu minimal dalam jumlah yang diajarkan guru, dan lebih banyak lebih bagus.

Mereka yang melazimkan dzikir tahlil ini, akan masuk ke dalam Alam Syahadah, sebuah Alam di mana sang pengamal akan mendengarkan berbagai kalam dari berbagai fenomena batin yang bisa ditangkap oleh hati, melalui kesaksian hati, berupa alam batin; atau dia melihat melalui penglihatan batin terhadap apa-apa yang oleh Alloh diidzinkan untuk itu.

Akan tetapi, jalan yang dikemukakan Syaikh Abdul Qodir ini tentu bukan satu-satunya jalan untuk menembus Alam Syahadah, yaitu hanya dengan berdzikir tahlil. Jalan yang diajarkan itu mesti difahami, jalan dalam tarekat yang diajarkan Syaikh Abdul Qodir. Sementara jalan yang lain, melalui dzikir-dzikir lain tidaklah tertutup untuk sampai ke arah itu. Semisal, orang yang bertahun-tahun memudawamahkan Rotib al-Haddad, kalau Alloh menghendaki, bisa saja dia menembus ke Alam Syahadah; atau melalui tarekatnya masing-masing.

Kecenderungan Nafsu Ammaroh adalah kecenderungan nafs agar bisa nyaman dan melampiaskan kenikmatan hewani, sehingga nafs ini akan marah ketika seseorang melakukan tirakat secara gentur dengan menolak kecenderungan itu; nafs akan menolak untuk melakukan amal-amal nawafil, dan bersikap lurus dengan mengekang hawa nafs. Sifat dasar dari hawa nafsu adalah menuruti hal-hal yang disebut Syaikh Abdul Qodir adalah “perbuatan-perbuatan yang sia-sia”, “perbuatan ghoflah” ( yang melupakan pada ingat kepada Alloh): “perbutaan-perbutan keji”, dan perbutan-perbutan yang menjurus pada kerusakan. Maka ketika seorang penempuh di jalan Alloh menolak untuk menuruti hawa nafs ini, sabar, dan teguh berada di jalan Alloh, maka Ammaroh menolak tunduk dan melampiaskan kemarahannya.

Penolakan Nafsu Ammaroh, dalam batas terentu, ketika seorang penempuh tarekat dan yang meniti di jalan Alloh telah melewati masa-masa khalwat dan tirakat awalnya, dan diberkahi Alloh masuk ke dalam Alam Syahadah, dia akan mendengar kalam-kalam batin nafs; bersama pula dia akan mendengar berbagai jenis kalam yang dikehendaki oleh Alloh dari berbagai jenis suara batin yang beraneka ragam; atau dia diberi keberkahan mampu melihat, bukan hanya mendengar hal-hal batin. Maka sang penempuh di jalan Alloh dan pengamal tarekat yang demikian, akan dibimbing Alloh melalui rahmat-Nya, baik melalui suara-suara yang baik, untuk selalu melanggengkan dzikir.

Warid yang datang, menurut Syaikh Abdul Qodir, akibat menentang dan bertarung melawan Ammaroh ini, adalah perintah “menjalankan syariat”, yang berarti juga agar tahu halal haram dalam hidupnya, dan waspada terhadap musuh utama manusia yaitu setan. Setelah terjadi pertarungan yang dahsyat, seringkali sang pengamal tarekat dan mereka yang meniti di jalan Alloh, diberkahi dengan basyarat bilmanam, dan di antara mereka, Ammaroh itu ada yang melihat dalam bentuk ular besar, dan sejenisnya. Makanya, sang pengamal tarekat tidak boleh takut dan jirih, karena dia harus melihat hal-hal seperti ini dan mengalaminya.

Nafsu Ammaroh, akan terus menguji niat sang pengamal tarekat dan peniti di jalan Alloh: diuji dengan keinginan kesaktian, diuji dengan keinginan kaya melalui bantuan-bantuan setan, dan sejenisnya. Manakala kalam-kalam nafs dituruti dan kalam-kalam Ammaroh memperoleh tempat mengisi dadanya, maka sang pengamal tarekat akan menjadi rusak dan masuk dalam jebakan setan-jin, dia akan dibimbing jin dan setan. Dalam situasi seperti ini, para pengamal tarekat dan peniti di jalan Alloh, harus memiliki ilmu-ilmu penjagaan.

Yang paling berat menghadapi kondisi seperti ini, adalah di kalangan para majdzub, yang sebelumnya tidak memiliki dzikir, tetapi memiliki amalan-amalan yang bisa menyebabkan Alloh menyayangi-Nya; dan mereka yang sebelumnya tidak mengerti ilmu masuk ke dalam Alam Syahadah; atau tidak pernah mendengar itu dari guru atau tidak pernah membaca kitab tasawuf. Bagi mereka, adanya warid-warid syariat itu, akan membawanya untuk membaca Al-Qur’an, berdisiplin sholat, bersholawat, dan membaca petunjuk-petunjuk dalam menghadapi setan-jin, lalu semampunya diwiridkan; akan tetapi juga tidak menutup kemungkinan tidak sedikit yang terjebak; atau datang kepada guru tertentu, dan ini lebih maslahat; dan dia mulai tekun menekuni perintah syariat dan mencegah yang dilarang menjalani disiplin ketaqwaan.

Sifat Nafsu Ammaroh adalah memerintah dengan kalam batinnya, bertubi-tubi dan dengan kemarahan-kemarahan, kata-kata kotor keluar darinya, dan sejenisnya, sepanjang waktu, sampai orang itu bisa tidur, sehingga ia harus punya ilmu tentang tidur dan bangunnya.

Oleh karena itu, orang yang mengalami ini, akan mengalami kesedihan-menangis di batin, karena ditentang Ammaroh yang terperangkap dalam kesenangan materi, tetapi sudah merasakan mulai dipukul-pukul dengan ketaatan dan dzikir; atau mulai dibukakan oleh Alloh kepada Alam Syahadah. Kesedihan itu semakin membara, bagi yang belum ada ilmunya soal itu dan tidak memiliki senjata, dan semuanya berefek pada kondisi jasmani dan perubahan-perubahan diri. Sedangkan yang sebelumnya memiliki dzikir dan punya ilmunya soal ini, tinggal melanjutkan pertarungan dan waspada terjadap nafs dan setan-jin, sebagai pasukan hawa nafs.

Kalau pelaku tarekat dan penempuh di jalan Alloh, mengalami hal ini, dan hanya diam saja ketika dihajar kalam Nafsu Ammaroh yang bertubi-tubi, apalagi kebingungan masuk Alam Syahadah, dan tidak berbicara juga tidak berdzikir, artinya dia akan masuk terus ke dalam Alam Syahadah dengan tanpa jalan dan tanpa batas, maka ini membahayakan dirinya, karena dia tidak menggunakan perangkat pedang dan senjata untuk bertarung melawan rintangan. Ibaratnya, dadanya akan menjadi segala tempat kalam yang beraneka ragam dan pertarungan, sehingga itu akan menyebabkan sirkulasi peredaran darah dan keseimbangan tubuh tidak terjadi, dan ini akan mengarah pada sakit; pikirannya akan menjadi bimbang, kacau dan imannya bisa hancur.

Pada tahap tertentu, orang yang diam itu akan dirahmati Alloh, melalui adanya suara-suara baik yang menghendaki untuk berbuat sesuatu, melalui Warid Malaki atau Warid Ilahi sekalipun; tetapi setelah warid yang demikian pergi, akan terus didesak oleh suara-surat jahat setan, dan suara kalam-kalam Nafs Ammaroh yang menghancurkan suara baik, mengelabui dan menipu. Alloh dalam surat Yusuf di atas, menyebutkan, “kecuali yang dirahmati Tuhanku”, artinya ada mereka yang kemudian dirahmati Alloh dalam melawan Nafsu Ammaroh; tetapi tentu tidak semua; sehingga yang tidak dirahmati ini akan tetap menurut Ammaroh dan pasukannya. Dan hal semacam itu, bila sudah masuk Alam Syahadah, akan membahayakan dirinya, dan semakin memperlama mentas dari pertarungan melawan Nafsu Ammaroh, menuju Nafsu Lawwamah (yang mencela diri).

Karenanya, Dzikir, bersholawat, beristighfar, membaca Al-Qur’an, dan amal kebaikan lain, manakala dia masih kuat, merupakan jalan terbaiknya. Warid-warid syariah, semisal Imamunal Al-Qur’an, ingat ajaran Kanjeng Nabi, dan kalam-kalam lain yang baik, akan memenangkan dada mereka yang mengalami itu, dan hatinya akan diisi iman. Pengisian ini prosesnya pelan-pelan seiring dengan bertahapnya pengosongan nafs yang masih belum bersih.

Dalam tarekat yang diajarkan oleh guru Qodiriyah Naqsyabadniyah Syahtoriyah, senjata dengan dzikir tahlil di atas, diikuti dengan dzikir batin, sehingga bersama melafazkan dzikir tahlil, nafs tersu menerus diajari dan diajak berdzikir batin berbahas Jawa, dengan 17 tingkatan, yang dipilah menjadi: 4 dzikir batin yang dasar, dan 2 bagian dzikir kawelasan dan dzikir pengapuro, serta 1 dzikir pembiji laku amaliah keseharian (Gusti Alloh Kang Ngudaneni), dan 1 dzikir Kholiqiyah (Gusti Alloh Kang Ndamel bumi langit seisine). Dzikir batin dan dzikir zhahir ini, untuk membawa Nasfu Ammaroh meningkat ke Nafsu Lawwamah (Nafsu yang mencela diri). Wallohu a’lam.

Al-Fatihah, lisy Syaikh Abdil Qodir wasy Syaikh Junaid al-Baghdadi.

Bagikan :

Tambahkan Komentar