Ilustrasi foto Tribunnews.com
AMANAT PROF. DR. KH SAID AQIL SIROJ, MA
PADA PERINGATAN HARI SANTRI TANGGAL 22 OKTOBER 2018

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الحمد لله الصلاة والسلام على سيدنا ومولانا وحبيبنا وشفيعنا محمد رسول الله
وعلى اله وصحابته ومن تبع سنته وجماعته من يومنا هذا الى يوم النهضة. أما بعد

Hari ini 4 tahun lalu, Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo menerbitkan keputusan bersejarah. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tanggal 22 Oktober 2015 tentang Hari Santri. Keputusan yang bertepatan dengan tanggal 9 Muharram 1437 Hijriyah itu merupakan bukti pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri dalam perjuangan merebut, mengawal, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Itulah mengapa Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia saat ini mengekspresikan rasa syukur dengan memperingati Hari Santri.

Pengakuan terhadap kiprah ulama dan santri tidak lepas dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan Hadlaratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama, pada 22 Oktober 1945. Di hadapan konsul-konsul Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura, di Kantor Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama, Jl. Boeboetan VI/2 Soerabaja, Fatwa Resolusi Jihad NU digaungkan Hadlaratus Syeikh dengan pidato yang menggetarkan:

“...Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifayah (jang tjoekoep kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…).”   

Tanpa Resolusi Jihad NU dan pidato Hadlaratus Syeikh itu, tidak akan pernah ada peristiwa heroik perlawanan rakyat tanggal 10 November di Surabaya yang kelak dikenal dan diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Kiprah santri teruji dalam mengokohkan pilar-pilar NKRI berdasarkan Pancasila dan bersendikan Bhinneka Tunggal Ika. Santri berdiri di garda depan membentengi NKRI dari berbagai ancaman. Tahun 1936, sebelum Indonesia merdeka, kaum santri menyatakan Nusantara sebagai Dârus Salâm. Pernyataan ini adalah legitimasi fikih berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila. Tahun 1945, demi persatuan dan kesatuan bangsa kaum santri setuju menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tahun 1953, kaum santri memberi gelar Presiden Indonesia Ir. Soekarno sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati dan menyebut para pemberontak  DI/TII sebagai bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/1984, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan bahwa NKRI sudah final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah). Selepas Reformasi, kaum santri menjadi bandul kekuataan moderat sehingga perubahan konstitusi tidak melenceng dari khittah 1945 bahwa NKRI adalah negara-bangsa, —bukan negara agama, bukan negara suku— yang mengakui seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan konstitusi, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan. 

Untuk menginsyafkan semua pihak dan mengingatkan kita sendiri selaku kaum santri, kenyataan itu perlu diungkapkan: betapa besar saham kaum santri dalam proses berdiri dan tegaknya NKRI. Tanpa kiprah kaum santri, dengan sikap sosialnya yang moderat (tawassuth), toleran (tasâmuh), proporsional (tawâzun), lurus (i’tidâl), dan wajar (iqtishâd), NKRI belum tentu eksis hingga hari ini. Negeri-negeri Muslim di Timur Tengah dan Afrika sekarang remuk dan porak poranda karena ekstremisme dan ketiadaan komunitas penyangga aliran Islam wasathiyyah.

Momentum Hari Santri hari ini perlu ditransformasikan menjadi gerakan penguatan paham kebangsaan yang bersintesis dengan keagamaan. Spirit “nasionalisme bagian dari iman” (حب الوطن من الايمان) perlu terus digelorakan di tengah arus ideologi fundamentalisme agama yang mempertentangkan Islam dan nasionalisme. Islam dan ajarannya tidak bisa dilaksanakan tanpa tanah air. Mencintai agama mustahil tanpa berpijak di atas tanah air, karena itu Islam harus bersanding dengan paham kebangsaan. Hari Santri juga harus digunakan sebagai revitalisasi etos moral kesederhaan, asketisme dan spiritualisme yang melekat sebagai karakter kaum santri. Etos ini penting di tengah merebaknya korupsi, narkoba, LGBT dan hoax yang mengancam masa depan bangsa.

Hari ini santri juga hidup di tengah era digital. Internet adalah bingkisan kecil dari kemajuan nalar yang menghubungkan manusia sejagat dalam dunia maya. Ia punya aspek manfaat dan mudharat yang sama besar. Internet dapat digunakan untuk menebarkan pesan-pesan kebaikan dan dakwah Islam, tetapi juga bisa dipakai untuk merusak harga diri dan martabat kemanusiaan dengan ujaran kebencian, fitnah dan hoax. Santri perlu ‘memperalat’ teknologi informasi sebagai media dakwah dan sarana menyebarkan kebaikan dan kemaslahatan serta mereduksi penggunaannya yang tidak sejalan dengan upaya untuk menjaga agama (حفظ الدين والعقل), jiwa (حفظ النفس), nalar (حفظ العقل), harta (حفظ المال), keluarga (حفظ النسل), dan martabat (حفظ العرض) seseorang. Kaedah fikih: al-muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah senantiasa relevan sebagai bekal kaum santri menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

Singkatnya, santri harus siap mengemban amanat yang sangat berat, namun mulia: yaitu amanah agama dan tanah air. Juga amanah kalimatul haq. Berani mengatakan “iya” terhadap kebenaran walaupun semua orang mengatakan “tidak” dan sanggup menyatakan “tidak” pada kebatilan walaupun semua orang mengatakan “iya”. Itulah karakter dasar santri sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzaab ayat 72 yang bumi, langit dan gunung tidak berani memikulnya.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah amanatkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”

Alhamdulillah, selama ini santri sanggup mengemban amanat ini. Terbukti, walaupun Mbah Hasyim Asy’ari disiksa Jepang untuk hormat ke arah matahari terbit (seikerei), beliau tegas menolak. Kyai Wahid Hasyim hingga Gus Dur juga demikian, selalu menyatakan kalimatul haq, tidak pernah tergiur dengan godaan duniawi apapun.

Untuk itu kaum santri jangan pernah sekali-kali tertipu godaan dunia dan terperdaya syaitan. Berterik lantang seakan-akan berjuang demi agama, demi Allah SWT, demi bangsa, demi negara, untuk menegakkan kalimatul haq. Padahal sejatinya yang dilakukan merupakan bentuk tipu daya kehidupan dunia dan sedang manari di atas gendang syaitan.

Allah berfirman dalam Q.S. Al-Fathiir ayat 5:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۖ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.”

Khusus untuk anak-anakku para Santri yang saat ini turut larut dalam kegembiraan perayaan Hari Santri, kalian adalah bagian penting sejarah perubahan bangsa Indonesia mendatang. Nikmati kesederhanaan hidup di Pesantren, meskipun makan dengan lauk seadanya dan sehari-hari mengenakan sarung dan sandal jepit. Sebab, tempaan yang kalian terima di pesantren akan menjadi bagian penting sejarah hidup kalian untuk menjadi pribadi yang mandiri, berempati dan berkarakter. Suatu pribadi yang dibutuhkan dalam penegakan agama, pengelolaan bangsa dan negara

Akhirnya, mewakili santri se-nusantara, saya Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan terima kasih kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo yang sudah menetapkan hari santri sebagai hari nasional. Saya tegaskan, penetapan hari santri bukan intervensi pemerintah terhadap pesantren. Tetapi merupakan bentuk penghargaan kepada santri dan kaum pesantren yang terus menanamkan keluhuran akhlak dan kemandirian sebagai jati dirinya, sehingga membentuk karakter bangsa.

Peringatan Hari Santri tahun 2018 ini juga terasa begitu istimewa. Karena seiring peringatan hari santri tahun ke-empat ini ditetapkan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai RUU usul inisiatif DPR. Penetapan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini kita nilai sebagai berkah dan karunia agung dari Allah SWT. Nahdlatul Ulama bersyukur dan menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berjuang melahirkan rancangan undang-undang ini di DPR.

Akhirnya, mari kita berjuang bersama. Agar santri tidak hanya menjadi shoutul haq, melainkan sekaligus menjadi qororul haq (pemegang kebijakan). Selamat Hari Santri 2018. Terima kasih Presiden Jokowi.

شكرا ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله الموفق إلى أقوم الطريق

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum
Bagikan :

Tambahkan Komentar