Ilustrasi |
Kemarin di media sosial beredar poster 8 ulama NU yang menjadi pahlawan nasional. Mereka adalah KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Chasballah, KH. As'ad Syamsul Arifin, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, KH. Zainal Mustofa, KH. Idham Cholid dan Brigjen KH. Syam'un. Sambil bercanda saya beri komentar, pahlawan nasional dari FPI dan HTI ada gak nih?! Ada yang balas komentar, ...masak aki-aki dibandingkan dengan sama cucu n cicit...
Memang tidak sepadan membandingkan NU dengan FPI dan HTI. Kalau dihitung dari waktu pendaftaran organisasi NU ke pemerintah Hindia Belanda, NU sudah berusia 92 tahun. Sedangkan FPI dideklarasikan pada tahun 1998, 20 tahun yang lalu. Adapun HTI baru terdaftar di Kesbangpol Kemendagri tahun 2006, 12 tahun yang lalu. Secara formalitas keorganisasian NU jauh lebih senior dari dua ormas baru tersebut. Apalagi kalau mau dihitung dari sejak dari NU belum punya nama dan tanpa nama.
Candaan saya ini sebenarnya untuk mengingatkan, menyentil dan menyinggung rasa superioritas yang mengendap dalam jiwa sebagian aktivis FPI dan HTI. Endapan perasaan superior menjadi sedimen sikap keras, campuran dari semangat keagamaan yang meluap-luap namun tidak diiringi dengan semangat pencari ilmu yang menggebu-gebu dan disiplin adab yang longgar. Realita ini akan membawa "agama" menjadi bencana daripada solusi.
Umur bukan saja soal akumulasi waktu yang sudah dilalui tetapi ia memuat pengalaman, ilmu dan hikmah yang terpendam dalam diri dan tak tertulis. Pengalaman, ilmu dan hikmah yang tak tertulis jauh lebih banyak dari yang tertulis. Ia termanifestasi dalam laku sikap orang tua yang arif dan bijaksana. Sikap arif dan bijaksana merupakan saripati dari akumulasi pengalaman, ilmu dan hikmah. Ungkapan pengalaman adalah guru yang terbaik. Guru yang terbaik ada seseorang yang arif dan bijaksana. Normalnya semakin tua usia, semakin arif dan bijaksana.
Harus diakui salah satu residu modernisme yang masih berpengaruh pada era post modernisme adalah individualisme materialistis yang memandang realita kosmis dan metafisis sebagai atom yang otonom dan bersifat materi belaka. Dalam pandangan ini tidak ada hirarki realitas dan tidak ada realitas di balik materi baik materi yang bisa terindera maupun yang bisa dipikirkan.
Dengan pandangan begini, seseorang menganggap sama semua manusia. Tua-muda, berilmu-jahil, taat-maksiat, beradab-biadab, dsb; Sama saja. Kata Syed Muhammad Naquib Al Attas: Mengenai sebab dalaman dilema yang kita hadapi sekarang bagi saya, masalah dasar dapat disimpulkan pada suatu krisis yang jelas yang saya sebut sebagai kehilangan adab (the loss of adab).
Di sini saya merujuk pada hilangnya disiplin-disiplin raga, disiplin fikiran dan disiplin jiwa; disiplin menuntut pengenalan dan pengakuan atas tempat yang tepat bagi seseorang dalam hubungannya dengan diri, masyarakat dan umatnya; pengenalan dan pengakuan atas tempat seseorang yang semestinya dalam hubungannya dengan kemampuan dan kekuatan jasmani, intelektual dan spiritual seseorang itu; pengenalan dan pengakuan atas hakikat bahwa ilmu dan wujud itu tersusun secara hirarki.
Oleh karena adab merujuk pada pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan dan keadaan yang tepat dan benar dalam kehidupan, dan untuk disiplin pribadi agar ikut serta secara positif dan rela memainkan peranan seseorang sesuai dengan pengenalan dan pengakuan itu, terjadinya adab pada diri seseorang dan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang mencerminkan kondisi keadilan. Hilangnya adab menyiratkan hilangnya keadilan, yang pada gilirannya menampakkan kebingungan atau kekeliruan dalam ilmu.
Dalam hubungannya dengan masyarakat dan umat, kebingungan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan alam (worldview) Islam menciptakan keadaan yang memungkinkan pemimpin-pemimpin palsu muncul dan berkembang serta menimbulkan ketidakadilan. Mereka melestarikan keadaan ini karena hal itu menjamin keberlanjutan munculnya pemimpin seperti mereka untuk menggantikan mereka setelah mereka pergi, dan mengekalkan pengaruh mereka atas urusan umat. (Islam dan Sekulerisme, 2010: 131-132).
Menyamakan NU dengan FPI dan HTI tentu saja tidak adil. Akan tetapi menganggap NU sebagai ormas baru lalu seenaknya bersikap "kurang ajar" kepada NU adalah perbuatan biadab. NU ormas sepuh. Menyimpan segudang pengalaman, ilmu dan hikmah. Mengakui semua ini membutuhkan keikhlasan dan kejujuran tingkat "dewa". Ikhlas dan jujur merupakan adab batiniah paling asasi bagi pembela Islam. Adab ini juga menjadi wadah bagi ilmu. Tanpa keikhlasan dan kejujuran untuk mengakui hirarki keormasan, keilmuan dan senioritas, maka selautan ilmu agama para pembela Islam akan berubah seketika menjadi tsunami yang meluluhlantakkan kehidupan bangsa dan negara dengan sekali hentak gempa politik yang dahsyat.
Bandung, 11 November 2018
Tambahkan Komentar