Ilustrasi tirto.id
Oleh: Nur Kholik Ridwan

Membuka Ensiklopedi Muhammadiyah, yang dua jilid itu, pada, jilid 2, pandangan saya langsung mengarah ke foto-foto kuno. Foto aktivis-aktivis Muhammadiyah dari kalangan wanita.

Ada beberapa foto sekitar tahun 1930-an. Tampak para aktivis perempuan memakai dua model penutup kepala: satu yang rapat, seperti jilbab pada saat ini; dan yang memakai kerudung, sebagaimana yang ada di kalangan masyarakat santri NU, tempo dulu. Dalam kerudung, kain penutup diselempangkan agak longgar ke leher, sehingga sebagian rambut sedikit terlihat.

Lalu ada seruan dari sejenis poster dari Aisyiyah yang memberikan foto-foto dan contoh penggunaan kerudung yang tepat, sehingga rambut tidak kelihatan. Akan tetapi foto-foto yang lain tetap, ada aktivis-aktivis Muhammadiyah bagian perempuan, yang tetap memakai kerudung, dengan agak longgar.

Saya bandingkan dengan tetangga saya, seorang aktivis Aisyiyah di kampung, tempat saya tinggal, yang tetap memakai kerudung kalau ngisi pengajian ibu-ibu. Bahkan itu pada tahun 2000-an, dengan selempang yang agak longgar.

Hal ini memberi arti bahwa tetap ada di kalangan Muhammadiyah, yang berfikir dan menerapkan cara mewadahi kebutuhan lokal, untuk menutup aurat, dan dalam hal ini adalah kerudung. Tanpa menyebut ini adalah bagian dari pakaian di kalangan Islam Nusantara, cara seperti itu memberi arti dan filosofi yang lebih luas lagi. Yaitu ada tempat mengakomodasi cara dan kebutuhan lokal dalam mengekspresikan Islam.

Lalu, kalau bacaan atas Ensiklopedi Muhammadiyah diarahkan pada tulisan Jabrohim, yang menilai dengan keras soal stagnasi keputusan Tanwir Muhammadiyah soal kebudayaan, maka akan menjadi jelas, arus kuat Muhammadiyah yang tidak ramah dengan kebudayaan, sebenarnya tidak menggambarkan secara keseluruhan tentang orang-orang Muhammadiyah sendiri.

Dalam bagian yang terakhir ini, saya menyaksikan, sahabat-sahabat Muhammadiyah yang bergumul di Ifada, adalah mereka tetap Muhammadiyah dalam organisasinya, tetapi mereka mau mengkaji serat-serat dan tradisi lama Islam Jawa.

Kembali kepada kerudung, pada dasarnya, di kalangan Muhammadiyah, semakin tidak populer, semenjak tsunami Islam Tarbiyah, salafi, dan HTI di dalam wacana Islam perkotaan, yang memperkenalkan jilbab-jilbab kombor, yang memanjang ke bawah. Anak-anak mudi pun, yang sudah belajar ilmu ilmu sosial, bahkan lebih memilih jilbab daripada kerudung. Bahkan ini juga terjadi bahkan di kalangan Nahdliyyin sekalipun. Hanya beberapa orang yang tetap konsisten dengan kerudung, seperti Hj. Alissa WAHID dan Ning Rika Iffati, sekedar contoh di Jogja.

Selintas, seperti tidak ada persoalan, soal perubahan orientasi itu. Sama-sama untuk menutup aurat. Akan tetapi sejatinya itu juga bermakna, seberapa kuat dan seberapa al-ijad-nya mereka dalam menerima kebutuhan-kebutuhan lokal dalam memahami Islam, dan bagaimana arus perubahan selalu menggerus orang. Wallohu a'lam.
Bagikan :

Tambahkan Komentar