Ilustrasi steemit.com
Oleh: Nur Kholik Ridwan

Orang-Orang yang Begerak Cepat

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani menyebutkan, bahwa orang yang mudawamah syariat itu, akan mendapatkan warid-warid syariat, yaitu dalam jangka waktu tertentu. Tujuan dari warid-warid syariat ini adalah untuk menyempurnakan hidupnya, dan perjalanannya untuk menempuh jalan pulang ke negeri akhirat. Dan, warid-warid syariat yang diterima ahli mudawamah amal-amal syariat, mengharuskan sang penempuh di jalan Alloh menjadi seorang muttaqin. Bentuk dari seorang muttaqin ini, adalah berbeda-beda jenis amalan tambahan yang dimilikinnya. Ada di antara mereka oleh Al-Qur’an disebut dengan kelompok “was sari`una ila maghfoiratin min robbikum” (QS. Ali Imron [3]: 133), atau kelompok “As-Sariun ila Maghfiratillah”, orang-orang yang berjalan cepat memperoleh ampunan Alloh.

Baca: Tarekat Syaikh Abdul Qodir al-Jilani (Lanjutan)

Kelompok ini memiliki amal-amal yang disebutkan dalam surat Ali Imran dari mulai ayat 133-135, demikian:

Infaq fis Sarro’ wadh Dhorro’

Di antara jenis orang, ada yang berinfaq kalau dia ada dalam keadaan yang lapang saja, dan dalam keadaan yang sempit tidak melakukan, dan dalam keadaan yang terakhir dia melakukan penghitungan-penghitungan keadaan. Akan tetapi juga ada orang yang dalam keadaan lapang pun tidak berinfaq. Keadaan lapang adalah keadaan yang murah rezki, diberi karunia yang mencukupi. Sementara dalam keadaan sempit, adalah keadaan di mana rezkinya tidak berlimpah, biasa-biasa saja, kadang-kadang malah masih belum cukup. Dalam keadaan seperti ini, fis sarro’ wadh dhorro’, dia menyisihkan sebagian rezkinya, untuk diinfaqkan. Maka orang seperti ini mujahid dalam fan infaq di jalan Alloh, dan oleh Alloh dimasukkan bagian dari “as-Sari`un ila Maghfiratillah”.

Kepada mereka itu, Alloh menjanjikan maghfirah dengan cepat. Janji maghfirah yang cepat ini, dapat difahami, bahwa sangat mungkin, seseorang itu awalnya pendosa dan ahlu ma’shiyat tetapi kemudian sadar, tetapi belum menjalankan amal-amal pembuktian seperti infaq fi as-sarro’ wadh dhorro, dan mungkin hanya bergeser sedikit, atau hanya berinfaq kalau pas lapang saja, maka maghfirah Alloh itu tidak dimasukkan ke dalam as-Sari`un, tetapi maghfirah secara umum saja. Bisa jadi, dia harus melewati ujian-ujian kesadarannya itu, bahkan mungkin lebih berat lagi ujiannya. Yang dijanjikan memperoleh maghfirah cepat, kalau dia menambah infaq fis sarro’ wadh dhorro’, dalam lapang dan sempit.

Al-Kazhimunal Ghoidz

Orang yang mampu dan mau menahan amarahnya, manakala amarahnya memerintahkan untuk dilampiaskan kepada orang lain. Orang yang mendapatkan perintah ammaroh nafsnya dengan kencang, tentu ada wasilah-wasilahnya: mungkin karena tidak didengarkan suaranya oleh orang lain; tidak dituruti kemauannya oleh orang lain; atau diberi ucapan yang tidak baik oleh orang lain; atau memberi sesuatu tapi orang lain tidak mengucapkan terimakasih; atau sebab-sebab lain. Orang yang mampu menahan amarahnya, tatkala ammarohnya menggejolak dan mendesak-desak, adalah termasuk “as-Sari`un ila Maghfiratillah” ini. Biasanya para pendawam sholawat dan dzikir, menemukan ijabah Alloh melalui sholawat dan dzikir-fdzikir dalam menahan gejolak ammaroh itu, dan ketika menambah infaq fissarro’ wadh dhorro’, dia akan lebih cepat dalam berjalan.

Hanya saja, tidaklah dinafikan, banyak orang sudah beramal amal syariat, tetapi kadang masih sering marah. Yang seperti ini, adalah manusiawi kebanyakan, dalam artian nafs ammarohnya belum berhasil dikalahkan, meski dia sudah mengisi waktunya dengan ketaatan-ketaatan syariat. Maka belum istimewa hal seperti ini, bahkan bekas ketaatan syariatnya bagi pembersihan jiwanya belum terlihat. Akan tetapi, dia akan segera masuk ke dalam “as-Sari`un ila Maghfiratillah”, kalau sudah mampu menahan ammaroh. Dari situ, dia akan menjadi penyabar, dan ketika penyabar dia akan diberi karunia yang tak terbatas, tetapi dia harus sanggup menahan penderitaan, yaitu derita menahan ammaroh.

Mengingat Alloh dan Beristighfar Ketika Jatuh Fakhsya dan Zholimu Linafsih

Jalan faksya’ adalah kekejian, kekotoran akhlak dan perbuatan, adalah sebanyak fenomena yang bisa diserap oleh indera manusia: mata, telinga, mulut, bau, kaki, tangan, dan khoyyalnya. Fakhsya’ bisa berakibat kepada orang lain dan dia sendiri, seperti mengganggu tetangga, mencaci orang lain, dan sebagiannya. Sedangkan zholimu linafsih hanya berdampak kepada dirinya sendiri, seperti meninggalkan sholat lima waktu, tidak bersyukur, tidak ikhlas dalam beramal, dan sejenisnya. Orang lain tidak dirugikan dalam zholimu linafsih, tetapi amal-amal itu akan membuatnya rugi. Meninggalkan sholat, bagi orang lain tidak merugikannya, tetapi dia sendirilah yang rugi. Orang yang terjatuh dan mau terjatuh ke dalam faksya’ dan zholimu linafsihi, lalu terus ingat kepada Alloh dan cepat beristighfar, kemudian segera kembali, adalah orang-orang yang masuk “as-Sari`un ila Maghfiratillah”.

Kalau orang itu terjatuh dalam ma`ashi, tidak segera ingat Alloh, atau dzolimu linafsih, dan tidak segera ingat dan istighfar, maka panjang ma`ashinya semakin jadi. Ketika kesemptan dan saran-sarana ma`ashi tersedia dan ada di depan mata, lalu dia segera ingat dan beristighfar, maka dia menjadi istimewa, sebagai “as-Sari`un ila Maghfiratillah”.

Amal Pemaaf/Al-afina `anin Nas

Orang yang membalas perbuatan orang lain yang jelek kepadanya, dengan balasan yang sepadan, masih dibolehkan di dalam Al-Qur’an, dengan diberi diktum “fa`aqibu bimitsli ma uqibtum bihi”. Di atasnya orang yang membalas dengan balasan yang setimpal itu, adalah orang yang membiarkan tidak membalas, tetapi hatinya belum legowo, belum menerima. Lebih meningkat lagi, mereka yang mau memberi maaf kepada orang-orang yang bersalah, kepada manusia semua; apalagi kalau sampai meminta maaf kepadanya. Mereka, para pemberi maaf, diminta atau tidak, dia meningkat derajatnya menjadi “as-Sari`un ila Maghfiratillah”.

Demikian pula, orang yang tidak suka memberi maaf kepada manusia, dan maunya hanya meminta maaf Alloh untuk dirinya sendiri, dia belum menyadari bahwa kalau Alloh itu Pemaaf, menghendaki makhluknya juga menjadi pemaaf kepada sesama manusia. Maka, orang yang hanya beristighfar kepada Alloh, tetapi tidak mau dan tidak suka member maaf orang lain, orang itu hanya masuk beristighfar, tetapi belum dikategorikan sebagai orang “as-Sari`un ila Maghfiratillah”. Konsekuensinya, maka dia memperoleh maghfirah bisa jadi dalam waktu yang lama.

Amal “as-Sari`un ila Maghfiratillah” dari warid-warid syariat ini, akan mengantarkan sang penempuh di jalan Alloh, mencapai jalan tarekat, dimana syarat utamanya adalah menyadari kelemahan, kesalahan, kebodohan, dan dosa-dosa yang begitu banyak dalam diri. Kesadaran itu menjadikan ia mulai mengerti arti pentingnya istiqomah berbuat amal syartiat dan kebajikan-kebajikan; dan mulai mengerti perlunya sabar dalam melihat proses dirinya menjadi baik, sebab dia masih harus menentang amarohnya, harus mau berbuat baik kepada orang lain, dan begitu seterusnya.

Maka, para penempuh di jalan Alloh, yang mengerti ilmunya dalam melakukan perjalanan pulang ke negeri akhirat, dia tidak alpa dalam amal-amal “as-Sari`un ila Maghfiratillah ini” di dalam permulaan setelah mudawamah aspek-aspek elementer syariat. Dia tidak hanya berdzikir di rumah atau di masjid. Kedua-duanya dijalani, yaitu menjalankan aspek syariat-berdzikir di rumah dan di mana saja, dan sekaligusjuga juga menjalankan amal-amal “as-Sari`un ila Maghfiratillah”. Maka menjadi jelas pula, bahwa bagi para penjempuh di jalan Alloh, para pejalan cepat perjalanan, bukan yang berpindah pindah perjalanan melalui pesawat atau kereta api cepat. Wallohu a’lam.
Bagikan :

Tambahkan Komentar