Oleh Ayik Heriansyah
Mantan Ketua HTI Bangka Belitung

Presidium Alumni 212 (PA 212)  yang menjadi kekuatan baru politik non-partai dan non-ormas mainstream merasa di atas angin setelah calon Gubernur DKI Jakarta yang mereka dukung akhirnya dilantik Presiden Jokowi. Mereka tampaknya makin percaya diri dan terus melakukan konsolidasi politik melalui serangkaian pertemuan para tokoh, gelaran tabligh akbar di berbagai daerah dengan tajuk Temu Alumni 212 dan aksi-aksi kecil merespon isu-isu actual yang dianggap merugikan umat Islam.

PA 212 sendiri terbentuk dari aliansi longgar dari berbagai ormas, lembaga dan tokoh Islam yang memiliki sikap yang sama tentang wajibnya  memilih dan memiliki pemimpin /pejabat negara beragama Islam. Menjelang Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, PA 212 aktif melakukan kegiatan untuk mengulang sukses di Pilgub Jakarta.

Infiltrasi Bendera Liwa Rayah
Tiap-tiap elemen di PA 212 boleh membawa bendera masing-masing, termasuk bendera tauhid lebih tegasnya bendera Liwa Rayah. Bendera tauhid Liwa Rayah kerap mucul di acara-acara PA 212. Penyokong utama  PA 212 adalah FPI dan sejumlah tokoh nasional yang terkoneksi dengan FUI. Di antara gejala politik ikutan yang cukup menonjol adalah munculnya bendera tauhid di beberapa aksi demontrasi dan tabligh akbar yang diselenggarakan oleh PA 212.

Sudah jadi rahasia umum, Liwa Rayah merupakan ikon HTI. Bendera hitam putih ini terlihat mencolok di setiap acara dan aksi PA 212. Gejala ini tidak lebih sebagai cara HTI menunjukkan eksistensi dirinya di tengah umat pasca dibubarkan pemerintah.  Di PA 212 sendiri peran serta HTI terbilang minor sebab HTI punya agenda politik sendiri yang berbeda dengan agenda ormas dan tokoh-tokoh Islam yang ada di  PA 212. keberadaan HTI di PA 212 sebenarnya tidak memberi kontribusi politik yang signifikan pada aliansi tersebut. Karena bagi HTI, pemimpin muslim atau kafir, selama dalam sistem demokrasi, haram hukumnya untuk dipilih apalagi diperjuangkan. Aliansi PA 212 yang begitu longgar, celah bagi HTI untuk melakukan infiltrasi opini serta numpang eksis.

Kilas balik ke belakang, tak disangka, bendera tauhid malah jadi jalan bagi berakhirnya eksistensi HTI di ruang publik. Setiap tahun HTI punya agenda nasional  di bulan Rajab tahun hijriyah untuk memperingati hari runtuhnya Khilafah pada tanggal 28 Rajab. Pada Rajab 1438 (Maret-April 2017) HTI mengambil tema Masirah Panji Rasulullah (Mapara) yaitu acara pawai atau aksi damai untuk mensosialisasikan bendera Rasulullah. Kontan rencana Mapara HTI ditentang sejumlah pihak terutama GP Anshor dan Banser karena dibalik Mapara tercium aroma makar yang menyengat. Akhir cerita HTI dibubarkan pemerintah pada tanggal 19 Juli 2017. Tiga bulan setelah Rajab. Setelah rencana sosialisasi Liwa Rayah bertajuk Mashirah Panji Rasulullah (Mapara) awal tahun 2017 gagal total, eks-HTI menjadikan acara-acara PA 212 sebagai tempat memajang bendera hitam putih itu.

Variasi Bendera Tauhid
Tauhid merupakan inti ajaran Islam berupa pengakuan atas keesaan Allah Swt secara radikal dan menyeluruh. Dengan pengakuan tersebut seseorang bisa disebut muslim. Tanpa itu sebaik apapun anak manusia, ia tetap dianggap non-Islam (kafir). Seluruh ajaran Islam merupakan manifestasi dari tauhid yang ditulis dengan satu kalimat singkat la ilaha illallah. Dengan kalimat ini setiap muslim menolak, membantah dan menegasikan ada tuhan lalu menetapkan, memastikan dan meyakini Allah itu Tuhan. Tuhan itu Allah saja. Inilah doktrin pokok, utama, sentral dan sakral dari keseluruhan ajaran Islam.

Kalimat tauhid adalah kalimat universal milik semua kaum muslimin di manapun mereka berada dari generasi ke generasi. Setiap Nabi yang diutus  oleh Allah Swt mengajarkan tauhid sebagai basis kehidupan yang wajib diyakini sebelum membangun peradaban dengan syariah. Membangun peradaban berdasarkan tauhid misi utama para Nabi dari Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad Saw. Ajaran tauhid yang dibawa para Nabi, sama, tidak berubah. Adapun cabang-cabang syariahnya berbeda  sesuai kebudayaan manusia tempat seorang Nabi diutus.(QS, 5: 48).

Tauhid adalah doktrin tentang keesaan Allah Swt yang diyakini  dalam hati, diaktualisasikan dengan perbuatan  dan termanifestasi menjadi kebudayaan dan peradaban. Jadi tauhid bukanlah bendera tapi aqidah. Bendera tauhid  akhir-akhir ini ramai dibicarakan setelah di beberapa acara publik ormas Islam seperti tabligh akbar dan demonstrasi acapkali tampak  massa yang membawanya. Memang belum ada definisi baku tentang bendera tauhid, namun dari persepsi umum belakangan ini yang dimaksud dengan bendera tauhid yaitu sepotong kain bersegi yang bertuliskan kalimat dua kalimat syahadat. Pada bendera itu juga tertulis kalimat Muhammad Rasulullah).

Bendera tauhid memiliki beberapa variasi antara lain bendera tauhid yang digunakan oleh Kerajaan Arab Saudi. Pada bendera Kerajaan Arab Saudi ditambah gambar pedang di bawah kalimat dua kalimat syahadat berlatar kain warna  hijau. Adapun bendera Persyarikatan Muhammadiyah menambah kata muhammadiyah di tengah apitan tulisan dua kalimat syahadat yang berbentuk setengah lingkaran yang pagari oleh garis-garis sinar matahari di atas kain warna hijau. Sedangkan kelompok ISIS  mempunyai bendera warna hitam dengan tulisan Muhammad Rasulullah  berbentuk bulat yang mereka yakini seperti stempel yang pernah digunakan Rasulullah Saw pada surat-surat Beliau Saw. Ormas Islam yang juga menggunakan dua kalimat syahadat pada benderanya antara lain: FPI, FUI, Jama’ah Ansharusy Syariah dan HTI tentunya.

Pada kasus HTI, agak unik. Lambang/logo Hizbut Tahrir internasional  berupa bola dunia yang di tengahnya ada tulisan Hizbut Tahrir bendera warna hitam bertulis dua kalimat syahadatnya. Sedangkan Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) menggunakan tiang bendera tauhid berwarna hitam dan putih di posisi huruf I kata tahrir dan Indonesia pada nama Hizbut Tahrir Indonesia.  Jadi gambar lambang Hizbut Tahrir internasional (pusat) dengan Hiizbut Tahrir di wilayah Indonesia, berbeda.  HT dan HTI lebih menonjolkan bendera tauhid yang mereka sebut bendera Rasulullah yang bernama Liwa dan Rayah, dibandingkan lambang/logo kelompok mereka sendiri.  Di antara ormas-ormas Islam yang menjadikan dua kalimat syahadat sebagai lambang, hanya HTI dan ISIS yang begitu “memuja-mujanya”.

Umumnya ormas-ormas Islam yang menjadikan tulisan dua kalimat syahadat di bendera mereka tidak lebih untuk menunjukkan aqidah yang dianut oleh ormas  sekaligus identitas, landasan dan hakikat dari tujuan akhir dari semua aktivitas yang dilakukan ormas tersebut. Barangkali hanya HTI dan ISIS yang mempersepsikan bendera tauhid sebagai bendera negara yang wajib ditegakkan.

Hadits tentang Liwa Rayah
Memang ada beberapa hadits Nabi Muhammad Saw terkait bendera tauhid.  Bendera tauhid adalah bendera Rasulullah Saw  berdasarkan hadits-hadits berikut ini: Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai di Sunan al-Kubra telah mengeluarkan dari Yunus bin Ubaid mawla Muhammad bin al-Qasim, ia berkata: Muhammad bin al-Qasim mengutusku kepada al-Bara’ bin ‘Azib bertanya tentang rayah Rasulullah Saw seperti apa? Al-Bara’ bin ‘Azib berkata: “Rayah Rasulullah Saw berwarna hitam persegi panjang terbuat dari Namirah.”

Dalam Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu Abbas meriwayatkan: “Rasulullah Saw telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yang ukurannya sehasta kali sehasta. Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat tulisan ‘Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’. Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih.”.

Berikut ini beberapa hadits lainnya terkait al-Liwa dan ar-Rayah.

Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibn Majah telah mengeluarkan dari Ibn Abbas, ia berkata: “Rayah Rasulullah Saw berwarna hitam dan Liwa beliau berwarna putih.”

Imam An-Nasai di Sunan al-Kubra, dan at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Jabir:

“Bahwa Nabi Saw masuk ke Mekah dan Liwa’ beliau berwarna putih.”

Ibn Abiy Syaibah di Mushannaf-nya mengeluarkan dari ‘Amrah ia berkata: “Liwa Rasulullah Saw berwarna putih.”

Saat Rasulullah Saw menjadi panglima militer di Khaibar, beliau bersabda:

“‘Sungguh besok aku akan menyerahkan ar-râyah atau ar-râyah itu akan diterima oleh seorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya atau seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan mengalahkan (musuh) dengan dia.’. Tiba-tiba kami melihat Ali, sementara kami semua mengharapkan dia. Mereka berkata, ‘Ini Ali.’. Lalu Rasulullah Saw memberikan ar-rayah itu kepada Ali. Kemudian Allah mengalahkan (musuh) dengan dia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw. menyampaikan berita duka atas gugurnya Zaid, Ja‘far, dan Abdullah bin Rawahah, sebelum berita itu sampai kepada beliau, dengan bersabda:

“Ar-Râyah dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur; kemudian diambil oleh Ja‘far, lalu ia pun gugur; kemudian diambil oleh Ibn Rawahah, dan ia pun gugur.” (HR. Bukhari).

Hadits-hadits tadi berbentuk informasi (repotase) yang disampaikan  oleh sahabat Nabi Saw. Tidak ditemukan indikasi (qarinah) dan konotasi yang menunjukkan perintah dari Nabi Muhammad Saw untuk menggunakan Liwa Rayah. Hadit-hadits itu mendeskripsikan bentuk dan warna bendera Rasulullah Saw sekaligus menunjukkan perbedaan kegunaan Liwa dan Rayah tanpa ada ‘amr (perintah) kepada umatnya nanti agar berbendera seperti Beliau Saw.  Teks-nya (manthuq) tidak mengandung pujian bagi orang yang menggunakan ataupun celaan bagi yang meninggalkan. Tidak ada kata dan frase yang bermakna thalab (tuntutan) bagi umat untuk berbendera Liwa dan Rayah sehingga dapat disimpulkan bahwa menggunakan Liwa dan Rayah serta bendera tauhid pada umumnya, mubah, bukan fardhu.

Jika ditinjau konteks hadits-hadits di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah Saw menggunakan liwa dan rayah dalam konteks politik identitas suatu negara di tengah pergaulan antar negara saat itu. Konvensi internasional mengatakan bahwa eksistensi negara dilambangkan dengan sebuah bendera.  Inilah fungsi dari Liwa. Adapun Rayah  berfungsi adminstrasi (idariyah) di dalam negeri khususnya di angkatan perang (jihad). Di kancah peperangan bendera jadi penanda pasukan dan pemegang bendera yang jadi pemimpin pasukan . Fungsi politik kenegaraan liwa dan fungsi administrasi rayah merupakan fungsi yang dimiliki setiap bendera negara. Bendera Liwa Rayah di masa Nabi Saw tidak memiliki konotasi keagamaan secara khusus.

Negara Romawi dan Persia juga memiliki bendera yang fungsinya sama dengan Liwa Rayah. Dengan demikian liwa dan rayah bersifat profan, tidak unik, bukan khas kenabian dan keislaman karena fungsi bendera yang melekat di Liwa Rayah ternyata sudah dimiliki umat manusia sebelum Nabi Muhammad Saw memilikinya di Madinah.  Perbuatan Muhammad Saw terkait bendera Liwa Rayah termasuk perbuatan jibiliyah wa thabi’iyah sebagai seorang manusia yang jadi kepala negara. Tidak berhubungan dengan tugas tasyri’i-nya sebagai Nabi dan Rasul.

Dari aspek unsur-unsur materi pembentuk Liwa Rayah, bendera tauhid ini terbuat dari kain berwarna hitam dan putih bertuliskan dua kalimat syahadat. Jenis khath yang digunakan HTI dan ISIS pada bendera tauhid mereka faktanya berbeda. Khath yang manakah yang sama persis dengan khath pada bendera Rasulullah Saw dulu? Khath versi HTI tulisan berbentuk langsing dan runcing ditambah dengan tanda baca (syakl). Kalau kita lihat khath pada dokumen surat-surat Rasulullah Saw, tulisan huruf-hurufnya agak gemuk dan gundul. Karena itu tulisan dua kalimat syahadat pada bendera Liwa Rayah versi HTI diduga kuat hasil modifikasi.  Justru bendera tauhid versi ISIS lebih mirip dengan khath yang ada didokumen surat-surat Nabi Saw dan stempel Rasulullah Saw.

Secara umum bendera termasuk kategori benda-benda (al-asyya’) yang memuat nilai tertentu. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutnya dengan istilah madaniyah yang khas yaitu bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia. Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadlarah (sekumpulan mafahim [ide] yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan.) seperti patung, bendera, masjid, dll termasuk madaniyah yang bersifat khas. (an-Nabhani: 2001, 63). Adapun hukum asal benda (al-asyya’) adalah mubah sampai ditemukan dalil yang mengharamkannya merujuk pada kaidah fiqih:

Hukum asal/pokok segala sesuatu (benda) adalah  mubah (boleh) sehingga terdapat dalil yang mengharamnya. (Abdul Mudjib, 2008: 25; an-Nabhani, 2001: 92; Muhammad Ismail, 1958: 20).

Jadi berdasarkan bukti-bukti:

1. Umat Islam sejak dari Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah kemudian berjihad dan punya Liwa Rayah, telah bertauhid tanpa bendera;

2. Redaksi hadits-hadits tentang Liwa Rayah bersifat informasi deskriptif (khabariyah) bukan tuntutan yang mewajibkan umat agar berbendera Liwa Rayah. Ditambah konteks Muhammad Saw dalam hadits-hadits itu sebagai pemimpin politik suatu negara bukan sebagai Nabi dan Rasul yang mengemban misi spiritual keagamaan.

3. Fakta kebendaan bendera tauhid Liwa Rayah termasuk madaniyah Islamiyah;

4. Bervariasinya bentuk bendera tauhid yang dimiliki ormas-ormas Islam termasuk dugaan modivikasi khath Liwa Rayah oleh HTI.

Bendera tauhid itu merupakan produk budaya sebagai lambang negara. Nilai bendera terletak pada fungsinya bukan pada bentuknya. Bentuk bendera mengikuti konvensi, konsensus dan adat yang sedang berlaku. Singkatnya bertauhid, fardhu ‘ain; Berbendera tauhid (Liwa Rayah) hukumnya mubah.

"HTI Akan Kembali!”
Melihat status hukum syara’ atas bendera Liwa Rayah yang hukumnya mubah, bukan fardhu dan bukan juga sunnah, masuk akal kiranya kalau timbul kecurigaan umat mengapa ek-HTI getol membawanya di muka umum. Pasti ada motif-motif politik tertentu di balik penyusupan eks-HTI di PA 212 yang ditandai oleh bendera Liwa Rayah di acara-acara PA 212. Eks-HTI yang berambisi meraih kekuasaan untuk mendirikan negara Khilafah di wilayah NKRI, tentu ada pesan politik yang ingin mereka sampaikan  di balik kibaran dan bentangan Liwa Rayah.

Setidaknya dari bendera hitam putih itu eks-HTI pada acara-acara PA 212, mau menyampaikan pesan kepada pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka masih ada, belum the end. Pencabutan badan hukum HTI oleh Kemenkumham bersifat administrasif hanya berdampak pada lenyapnya nama HTI dan seruan Khilafah di ruang-ruang publik. Namun pengurus, anggota dan simpatisan HTI tetap bisa bergerak, bebas mengorganisasi diri, berdakwah, berinteraksi dengan masyarakat baik secara individual maupun dalam arahan tanzhim (struktur organisasi).

Mereka  terus melakukan rekrutmen secara rahasia, meningkatkan kapasitas internal sampai suatu saat jika iklim politik nasional sudah kondusif mereka akan kembali dengan tubuh yang lebih besar dan kuat guna meraih kekuasaan di negeri ini. “Kami akan kembali!” , begitu kira-kira pesan singkat yang disampaikan eks-HTI melalui kibaran dan bendtangan bendera Liwa Rayah di acara-acara PA 212.

Bandung, 21 November 2017
Bagikan :

Tambahkan Komentar