Anggota Resmob Satgas 3 Tinombala Bripka Andrew Maha Putra dievakuasi setelah tertembak ke Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah, Senin (31/12/2018). Dua anggota polisi tertembak diduga oleh Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) saat melakukan evakuasi korban mutilasi di Dusun Salubose, Parigi Moutong. Wakapolda Sulteng Kombes Pol Setyo Boedi menduga, KSB tersebut adalah bagian dari kelompok DPO Poso yang kini masih diburu. ANTARA FOTO/Basri Marzuki/aww.
TABAYUNA.com - Peneliti terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menuturkan, soal terorisme di Poso, Sulawesi Tengah bukan sekadar isu terorisme semata. Namun, menurut Harits, ada kompleksitas sehingga tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan keamanan.

“Di sana (Poso) ada aspek ekonomi, residu konflik masa lalu yang belum tuntas, pendekatan budaya dan lain-lain,” kata Harits saat dihubungi, Selasa (1/1/2019) malam seperti dilansir dari Kompas.com.

Harits menilai, kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Ali Kalora menjadi bukti bahwa terorisme masih ada.

“Persoalan potensi gangguan keamanan dari kelompok sipil bersenjata seperti Ali Kalora masih ada. Dan meski selama ini Ali Kalora cs juga sudah masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) serta operasi Tinombala jilid kesekian juga masih digelar,” kata Harits.

Harits menuturkan, kelompok Ali Kalora selama ini bertahan dengan teknik gerilya di sekitar pegunungan Poso. Ali Kalora adalah pemimpin Mujahidin Indonesia Timur setelah pemimpin utamanya, Santoso, tewas tertembak dan orang keduanya, Basri, tertangkap.

“Kelompok Ali Kalora melanjutkan jejak sosok sebelumnya yakni Santoso, dengan keterbatasan senjata dan amunisi mereka cukup menguasai medan pegunungan dan ini menjadi salah satu keunggulan mereka,” tutur Harits.

Pihaknya juga mengemukakan, bahwa tipikal kelompok Ali Kalora ini sangat resisten terhadap aparat keamanan terutama personel Polri, khususnya Densus 88. “Benci dan dendam. Alias anti terhadap aparat kepolisian. Menempatkan polisi sebagai musuh dan target teror,” tutur Harits.

Menurut Harits, seharusnya ada keputusan politik yang tegas dari Pemerintah, untuk segera menumpas terorisme di Poso. Harits berpendapat, prajurit TNI perlu diterjunkan untuk menumpas teorisme kelompok MIT di Poso.

“Usulan saya kalau memang ingin cepat tuntas dengan pendekatan keamanan ya kirim saja pasukan TNI dari unit Raider atau Kopassus untuk memburu kelompok Ali Kalora. Karena Ali K cs cukup kuasai medan gunung dan hutan. Dan polisi tidak dididik dengan kemampuan perang gerilya hutan,” tutur Harits.

Harits menambahkan, masyarakat Poso tentu sangat butuh rasa aman dan Pemerintah harus hadir memastikan keamanan masyarakat Poso. “Bertahun-tahun menghadapi kasus gangguan keamanan di wilayah Poso tentu menjadi pengalaman berharga yang bisa dijadikan bahan kajian holistik untuk merumuskan solusi yang tuntas, bermartabat, dan berkeadilan,” kata Harits.

Sebelumnya, aparat yang tengah membawa jenazah RB alias A (34), warga sipil korban mutilasi di kawasan Desa Salubanga, Sausu, Parimo, Sulteng, ditembaki sekelompok orang bersenjata yang diduga kelompok Ali Kalora, pada Senin, 31 Desember 2018. Penembakan dilakukan saat salah seorang petugas hendak menyingkirkan kayu dan ranting pohon yang menghalangi jalan. Kontak tembak aparat dengan kelompok teroris tak terhindarkan sehingga menyebabkan dua petugas yakni Bripka Andrew dan Bripda Baso, terluka. (tb33/kmps).
Bagikan :

Tambahkan Komentar