Muhadjir Effendy (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta, TABAYUNA.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy akan menarik buku ajar untuk sekolah dasar yang menyebut NU sebagai 'organisasi radikal'. Muhadjir mengatakan pihaknya akan merevisi buku ajar tersebut agar memuat sistematika dan informasi yang benar.


"Jadi begini, buku ini ditulis pada 2013. Kemudian, karena ada berbagai masukan, akhirnya pada 2016 ditulis kembali. Dan dalam penulisan itu kemudian kita ada masalah ini. Terkait dengan itu, kita tadi sudah bertemu dengan pimpinan PBNU dan LP Ma'arif. Kami dari Kesekjenan dan Kalibtang, termasuk Humas dan Ristekom, menyimpulkan bahwa buku ini akan ditarik, dihentikan, ditarik, kemudian kita revisi. Kemudian dalam proses revisi itu akan dimitigasi, supaya secara sistematika benar. Secara substansi juga benar," kata Muhadjir di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (6/2/2019) seperti yang dilansir detik.com.

Ketua LP Ma'arif PBNU Z Arifin Djunaidi mengapresiasi langkah cepat Mendikbud yang akan menarik buku ajar itu dari peredaran. Dia berharap kasus tersebut tak terulang di lain waktu.

"Sekali lagi kami dari NU mengapresiasi Pak Menteri yang sudah sedemikian cepat merespons masalah ini dengan segala jajarannya dari Pak Sekjen dan Pak Litbang, Pak Ari. Mudah-mudahan harapan kami ke depan tidak akan ada lagi yang seperti ini. Jadi pengalaman kami sebenarnya pada masa-masa yang lalu, misalnya untuk buku-buku keagamaan itu pasti selalu ada yang mengganjal. Selalu juga kami sampaikan dan cepat direspons. Sekarang ini juga kan sudah ada kesepakatan dengan Kementerian Agama," tuturnya.

Sementara itu, Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi berharap Kemendikbud membuat buku sejarah yang bisa membangkitkan rasa kecintaan terhadap Tanah Air. Menurut dia, penulisan buku sejarah juga jangan seolah menghadap-hadapkan antara paham keagamaan dan paham kebangsaan.

"Itu penting sekarang karena saat ini banyak paham yang mengkontradiksikan antara paham keagamaan dengan paham kebangsaan. Nah, sejarah, penulisan sejarah dengan demikian memiliki fungsi penting untuk menghubungkan atau memberikan fungsi jembatan bahwa paham keagamaan dan paham kebangsaan itu tidak bertentangan. Tetap saja, buku sejarah, buku pelajaran anak-anak itu, berorientasi pada fakta, tapi kan fakta itu tetap ada saja ujungnya itu interpretasi. Dan sejarah itu di mana-mana adalah menginterpretasikan fakta. Arahnya, bagaimana interpretasi fakta itu mengarah ke titik sambung antara paham kebangsaan dan paham keagamaan. Itu pertama. Kalau yang kedua, yang kita bahas tadi itu memang agak kontroversi, anomali. Karena dalam histografi, ilmu sejarah itu tidak ada istilah dalam periodesasi yang menyebut periodesasi radikal. Itu adalah hal yang kemudian disalahpahami, lalu kemudian menimbulkan kontroversi yang kemudian kita selesaikan bersama-sama. Saya kira itu," ujarnya.

PBNU sebelumnya memprotes penggunaan 'organisasi radikal' dalam buku ajar untuk sekolah dasar. PBNU menilai frasa radikal yang ditulis di buku tersebut bisa menyebabkan kesalahpahaman.

"Meskipun frasa 'organisasi radikal' yang dimaksud adalah organisasi radikal yang bersikap keras menentang penjajahan Belanda, dalam konteks ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sangat menyayangkan diksi 'organisasi radikal' yang digunakan oleh Kemendikbud dalam buku tersebut. Istilah tersebut bisa menimbulkan kesalahpahaman oleh peserta didik di sekolah terhadap Nahdlatul Ulama," kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, dalam keterangan tertulis. (tb44/knv/fjp).
Bagikan :

Tambahkan Komentar