Oleh Ahmad Fauzi

“Saya selalu menganggap aneh bahwa, sementara kebanyakan para ilmuwan mengklaim untuk menjauhkan diri dari agama, sebetulnya agama mendominasi pikiran mereka lebih banyak dari apa yang dilakukan oleh agamawan. (Fred Hoyle).

Dalam bukunya yang terkenal “A Brief History of Time,” Stephen Hawking memulai dengan memaparkan sebuah cerita tentang seorang perempuan tua yang menginterupsi perkuliahan mengenai alam semesta untuk menyatakan bahwa dia mengetahui lebih baik. Alam semesta, katanya betul-betul merupakan sebuah piring ceper yang terletak di atas punggung seekor kura-kura raksasa. Ketika ditanyakan oleh si pemberi kuliah, di atas apa kura-kura itu berada, dia menjawab, “Kura-kura itu sepenuhnya ada di bawah!”. Siapakah yang dapat membuktikan bahwa nenek itu salah?

Cerita ini menyimbolkan persoalan essensial yang dihadapi oleh seluruh mereka yang mencari jawaban akhir mengenai misteri eksistensi fisik. Kita ingin menjelaskan dunia dari sudut pandang sesuatu yang lebih fundamental, boleh jadi rangkaian sebab-akibat, yang pada gilirannya terletak di atas beberapa hukum atau prinsip-prinsip etika, tetapi kemudian juga mencari penjelasan tertentu untuk dataran yang lebih fundamental ini. Di manakah mata rantai penalaran semacam itu dapat berakhir? Adalah sulit untuk dipuaskan dengan mundur tak terhingga. “Tidak ada menara kura-kura!” Kata John Wheeler, “Tidak ada struktur, tidak ada rencana organisasi, tidak ada kerangka kerja ide-ide yang diletakkan oleh struktur ataupun level lain dari ide-ide, yang diletakkan oleh level yang lain, dan yang lain lagi, yang secara ad infinitum jatuh kepada kegelapan tanpa dasar.”

Apakah alternatifnya? Adakah kura-kura super (simbol dari tuhan) yang bertahan di landasan menara, yang ia sendiri tidak didukung? Dapatkah kura-kura super ini dalam hal apapun juga “mendukung dirinya sendiri?”
Bagikan :

Tambahkan Komentar