Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar

Salah satu faktor penyebab bubarnya Khilafah Turki Utsmani 1924 adalah gerakan separatis pemuka-pemuka Arab yang berkolaborasi dengan negara-negara Eropa terutama Inggris.

Gerakan separatisme Arab mendapat legitimasi pemikran politik dari paham nasionalisme. Paham yang berakar pada naluri mempertahankan diri (gharizatu baqa’). Naluri alamiah yang tertanam dalam diri manusia sejak lahir.

Bentuk terkecil dari naluri ini adalah usaha manusia mempertahankan diri dari kematian dan kebinasaan. Pengelompokan, persatuan dan pengorganisasian manusia dari unit keluarga, marga, suku, bangsa dan umat merupakan upaya manusia untuk mempertahankan diri secara bersama-sama. Kehidupan berkelompok adalah naluri dasar dan sesuai fithrah manusia.

Nasionalisme sering disebut kelompok radikal dengan ‘ashabiyah. ‘Ashabiyah adalah sifat yang diambil dari kata ‘ashabah. Dalam bahasa Arab, ‘ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapapun yang menyerang mereka. Menurutnya, penggunaan kata ‘ashabiyyah dalam hadis identik dengan orang yang menolong kaumnya. sementara mereka zalim. (Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, Dar al-Fikr, t.t.I/606).

Pandangan ini sama dengan pandangan al-Manawi ketika menjelaskan maksud hadis:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّة
Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah (HR Abu Dawud).
Beliau menyatakan, “Maksudnya, siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar ‘ashabiyah, yaitu bahu-membahu untuk menolong orang yang zalim.” Sementara al-Qari menyatakan, “Bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.”( Muhammad Syamsu al-Haq, (‘Aun al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, XIV/17).

Dalam hadis lain, larangan berperang di bawah bendera ‘Ummiyyah atau ‘Immiyyah, menurut as-Sindi, adalah bentuk kinâyah, yaitu larangan berperang membela jamaah (kelompok) yang dihimpun dengan dasar yang tidak jelas (majhûl), yang tidak diketahui apakah haq atau batil. Karena itu, orang yang berperang karena faktor ta’âshub itu, menurutnya, adalah orang yang berperang bukan demi memenangkan agama, atau menjunjung tinggi kalimah Allah.( As-Sindi, Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibn Majah, Maktabah Syamilah, t.t., VII/318).

Jadi makna ‘ashabiyyah di atas bersifat khusus, berupa ajakan untuk membela orang atau kelompok, tanpa melihat apakah orang atau kelompok tersebut benar atau salah; juga bukan untuk membela Islam, atau menjunjung tinggi kalimat Allah, melainkan karena dorongan marah dan hawa nafsu. ‘Ashabiyah begini yang dilarang dalam Islam.

Adapun ‘ashabiyah secara umum (kekeluargaan, kemargaan, kesukuan dan kebangsaan) yang muncul dari naluri dan fithrah manusia bukan perkara yang tercela dan haram. Eksistensi suku dan bangsa, kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun termasuk oleh kaum radikal, karena Allah swt sendiri yang telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Rasulullah saw menyatakan dirinya berasal dari suku Quraisy. Ketika Beliau hijrah ke Yatsrib, eksistensi suku-suku di sana tetap diakui, dijaga dan dipelihara. Terbukti di Piagam Madinah, Rasulullah saw menyebut satu per satu suku-suku yang ada termasuk dari suku-suku dari bangsa Yahudi dan musyrikin. Setiap suku dibiarkan tetap dengan adat, tata aturan dan hukum yang selama ini berlaku selama tidak bertentangan dengan risalahnya. Setiap suku punya kepala suku dan bendera perang (rayah) masing-masing. Mereka juga memiliki rayah (panji perang). Rayah-rayah di bawah ketika mereka berperang bersama Rasulullah saw.

Dr. Abdullah bin Muhammad bin Sa’d al-Hujailiy seorang dosen jurusan peradilan dan politik pemerintahan Universitas Madinah di buku al-Alamu nabawiy asl-Syarif wa Tatbiqahi al-Qadimatu wa al-Ma’asiratu menyusun daftar pasukan Nabi saw menurut suku dan bendera suku yang dibawa. Formasi pasukan disusun menurut suku yang ditandai dengan rayah. Puncak formasi pasukan Rasulullah saw saat fathu Makkah. Disebut juga fathu al-A’zham. Saat itu barisan pasukan disusun berdasarkan suku dan rayah (panji) kesukuan. Panji bani ‘Abd al-Asyhal dipegang oleh Abi Nadzah, panji bani Dzaffar dipegang oleh Qatadah bin Nu’man, panji bani Haritsah dipegang oleh Abi Burdah bin Nayar, panji Muawiyah dipegang oleh Jabir bin Utaik dan belasan suku lainnya.

Imam Ibnu Jama’ah mengatakan, ‘Ibnu ‘Aid bin Ahmad al-Qurasyi (w. 233 H) dalam kitabnya al-Shawaif menyatakan bahwa diriwayatkan bahwa bendera bani Salim berwarna putih. Pada saat perang Hunain, mereka berperang dengan bendera tersebut sampai-sampai berwarna merah oleh darah. Akhirnya mereka menetapkan warna merah untuk bendera mereka.

Beliau berkata lagi, ‘telah diriwayatkan bahwa bendera bani Sukun berbentuk segi empat. Bendera ini memiliki dua sisi yang berwarna merah sampai ke tengahnya. Tombaknya berwarna hitam, dan di tengahnya ada rumbai berwarna hijau. Mereka memiliki  rayah (panji) al-Khuthamah berwarna putih, di tengahnya terlukis bulan sabit berwarna biru. Panji itu memiliki dua buah rumbai berwarna merah, di sisi atas dan bawah.

Bendera bani Hudailah berwarna putih dan tengahnya bergambar bulan sabit merah. Bendera bani Hawazin berwarna merah dan hitam. Bendera bani Abbas berwarna merah, bergambar bulan putih dan memiliki tiga buah rumbai. Dua berwarna merah, satu berwarna putih. Bendera bani Asad berwarna kuning, berbentuk segi empat. Bendera bani Quaibah berwarna putih. Di tengahnya bergambar raja singa. Bendera ini memiliki rumbai berwarna putih. Bendera bani Qurrah berwarna putih dan biru. Bendera suku Ghassan dua sisinya berwarna merah dan tengahnya berwarna putih. Al-Qalqasyandiy berkata, ‘simbol bani Umayyah berwarna hijau. Rayah (panji) yang dimiliki setiap kabilah mempunyai bentuk dan warna yang berbeda. Jumlahnya mencapai lebih 70 rayah. ( Mustanid al-Anjad: hal. 76).

Kenyataan pahit hilangnya Khilafah Turki Utsmani karena gerakan separatisme Arabisme membuat kelompok radikal trauma sampai kehilangan akal sehat lalu menolak bangsa, kebangsaan dan negara bangsa secara membabi buta. Mereka menolak negara yang berdasarkan kebangsaan. Mereka alergi dan phobi terhadap kata bangsa, nasionalisme, tanah air apalagi negara bangsa. Bagi  mereka menerima paham kebangsaan dan negara bangsa berarti melegitimasi kejatuhan Khilafah, membiarkan perpecahan umat dan mendukung agenda Barat dalam menghegemoni dunia Islam. Karena itu mereka menentang paham kebangsaan dan menolak negara bangsa tanpa terkecuali. Untuk membenarkan pendapatnya, kaum radikal menggunakan hadits-hadits Nabi saw tentang ‘ashabiyah.

Tanpa menafikan gerakan separatisme Arabisme yang berujung runtuhnya Khilafah Turki Utsmaniyah menjadikan wilayah Arab dikuasai negara-negara Eropa kemudian berdiri negara-negara kecil di Arab, tapi sungguh tidak tepat jika paham kebangsaan Arab dijadikan faktor utama Arabisme berdirinya negara-negara kecil di Arab. Jika Arabisme yang menjadi faktor utama sudah barang tentu cukup ada satu negara di Arab karena Arab disatukan oleh bahasa, sejarah, budaya dan agama, membentang dari Maroko sampai Irak, dari Lebanon sampai Yaman. Akan tetapi pada kenyataannya ada 15 negara Arab modern. Hal ini membuktikan ada faktor-faktor lain selain Arabisme yang membuat Khilafah Turki Utsamiyah bubar. Namun tulisan ini tidak untuk membahas faktor-faktor keruntuhan Khilafah Turki Utsmaniyah terebut, tulisan ini hanya mau menegaskan bahwa ‘ashabiyah bukan biang perpecahan umat.

Memang panggung utama sejarah umat Islam klasik ada di Arab dan Turki meskipun demikian harus diakui panggung utama sejarah umat Islam masa modern pindah ke Nusantara. Ini mungkin yang disebut Nabi saw kebangkitan Islam kedua bermula dari Timur. Dimana arus kebangkitan baru umat Islam yang dimotori para kiai dan santri berhasil menyelamatkan wajah politik umat Islam pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani. Ketika Arab dan Turki jatuh ke tangan negara-negara Eropa, para kiai dan santri berhasil memerdekakan Indonesia tanpa embel-embel “merdeka hadiah dari penjajah” seperti yang dialami negara Malaysia dan Brunai Darussalam. Estafet kepemimpinan politik umat Islam dilanjutkan oleh Indonesia dengan segala dinamika internal dan eskternalnya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Terkesan memaksa dalil, jika kaum radikal menggunakan hadits-hadits Nabi saw yang mencela ‘ashabiyah dalam pengertian khusus untuk dijadikan dasar menentang ‘ashabiyah secara umum, menolak bangsa, negara bangsa dan bendera bangsa. Para kiai sudah mengantisipasi kemungkinan ‘ashabiyah kebablasan menjadi nasionalisme yang chauvinistik (arogan, zalim dan fanatik buta) dengan  menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagai pagar dari Persatuan Indonesia. Tegasnya ‘ashabiyah Indonesia dalam koridor syariat Islam, ‘ashabiyah yang memandang dan memperlakukan bangsa lain dengan adil dan beradab. ‘Ashabiyah begini yang dicontohkan para sahabat dengan suku mereka saat mereka hidup bersama Rasulullah Muhammad saw.

Sikap phobia kaum radikal terhadap ‘ashabiyah sampai pada taraf menolak eksistensi bangsa Indonesia beserta produk-produk turunannya seperti NKRI, hubbul wathan, bendera merah putih, terminologi ghairu muslim untuk kafir muwathin, pemilu, dan bersungguh-sungguh berjuang mendirikan khilafah sebenarnya bentuk phobia ‘ashabiyah akut yang salah alamat. Kenapa harus phobi terhadap nasionalisme Indonesia?! Atau jangan-jangan ada agenda lain kaum radikal di balik kata-kata “tauhid”, “syariah” dan ‘khilafah”?. Na’udzubillahi min dzalik.

Bandung, 5 Maret 2019
Bagikan :

Tambahkan Komentar