Ilustrasi Radar Tasikmalaya
Oleh Ahmad Fauzi

Malam ini mataku susah terpejam. Terbayang-bayang wajah bapakku yang jarang tersenyum riang. Tidak banyak ia bercerita pada anak-anaknya. Ia lulusan IAIN jurusan Tarbiyah pendidikan yang sangat mengagumi buku Emile karya Rousseau. Anak-anaknya dibiarkan belajar sendiri, dibesarkan oleh alam pengalaman tanpa banyak arahan. Kenapa dan apa maksud serta manfaatnya, dibiarkan mengambang. Setelah dewasa baru sedikit kupahami kenapa ia memerlakukan anak-anaknya begitu.

Selama dua tahun ini, aku berjualan buku-buku yang kutulis sendiri. Memang banyak pemesannya, tapi aku sering mengecewakan para pelanggan karena buku-buku yang mereka pesan selalu terlambat sampai. Paling cepat satu atau dua minggu buku baru sampai ke alamat tujuan, dan tidak sedikit yang terlambat mulai dari 2 atau 3 bulan hingga lebih baru sampai di tangan pemesan. Sangat memalukan dan tidak profesional, susah untuk dimaafkan. Demi bertahan hidup dan aktualisasi diri, hal ini harus tetap kujalani meski tanpa muka dan tuna-kehormatan.

Memang karya-karyaku secara hukum adalah sah dan tidak dilarang. Tapi, semenjak kasus Agama Skizofrenia dan Nabi Kriminal digugat oleh FPI dan disidangkan oleh MUI Jawa Tengah, karya-karyaku terkesan dilarang dan dipantau terus bahkan diawasi oleh pihak berwenang sampai sekarang. Dua buku di atas oleh penyidik dianggap berbahaya dan dimasukkan dalam berkas BAP. Akhirnya, jadilah diri ini tersangka. Puncaknya saya dimasukkan ke dalam RSJ untuk diminta visum et repertum, apakah penulis betul-betul menderita sakit jiwa. Setelah terbukti memang penderita skizofrenia, status tersangka pun diSP3. Apakah ini selesai?

Buku-buku karya saya memang sah secara hukum, tapi selalu di awasi. Bahkan tempat percetakan buku-buku karya saya selalu rutin didatangi orang tak dikenal. Sudah berkali-kali saya menawarkan ke percetakan lain, tapi tak ada satu pun yang berani mencetaknya karena takut bermasalah dan beresiko. Akhirnya, saya betul-betul bergantung dengan percetakan di Semarang yang berani mencetaknya. Tentu main kucing-kucingan dengan pihak berwenang. Buku-buku saya pun dikirimkan dari sana menuju alamat pemesan. Karena banyak kendala dan masalah dengan pihak percetakan yang nekad itu, menjadikan buku-buku sering terlambat lama hingga bulanan baru sampai ke pembaca.

Untuk menghibur diri, aku pun mengenang masa lalu, ketika bapak menjadi agen surat kabar Republika di Semarang. Bapak seorang pegawai negeri pas-pasan. Dengan lima anak yang semuanya disekolahkan. Dua kakakku kuliah dan dua adikku masih sekolah dasar. Waktu itu aku masih SMP kelas dua. Karena gaji Bapak sangat tidak mencukupi, ia pun nyambi menjadi agen koran. Hasilnya cukup lumayan, tapi sangat memprihatinkan. Setiap jam tujuh Bapak harus sudah di sekolah untuk mengajar dan pulang sampai rumah jam 2. Padahal koran Republika turun dari pesawat di bandara jam tujuh pagi juga. Maka, resikonya surat kabar tersebut baru diantar setelah Bapak pulang dari sekolah. Waktu itu, motor hanya satu, dan dua kakakku kuliah di luar Jawa Tengah. Awalnya Bapak sering mengajak aku mengantar koran jam 2 siang, Bapak menyetir dan aku membawanya masuk ke meja halaman depan pelanggan. Lama-lama Bapak sering kecapekan, karena tempat sekolah sangatlah jauh. Akhirnya karena sekolahku dekat, aku yang mengantar koran tersebut sepulang bapak dari sekolah. Tanpa SIM meski pakai helm. Mulailah ujian mental. Tak tahu malu mengantar koran yang seharusnya sampai jam tujuh pagi, eh malah baru di antar jam 3 atau sering tiba jam 4 sore. Kritik, keluhan, hingga cacian sudah biasa, tapi tidak sedikit yang menepuk bahuku dan berterima kasih.

Tahun 90-an adalah masa-masa kejayaan ICMI dan Republika. Saingan CSIS dan Kompas. Gara-gara sering membaca Republika, sejak SMP aku sudah mengenal Nurcholish Madjid, Amien Rais, Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Syafii Maarif, Farid Masudi, Muslim Abdurrahman, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, dan sebagainya. Waktu itu aku sedang mengagumi Anas Urbaningrum dan Eep Saefulloh Fatah. Dua intelektual muda yang akan bersinar tapi akhirnya layu tumbang karena kasus korupsi dan menikahi istri orang. Dan satu yang kuingat dari Republika, Amien Rais dulu adalah tokoh yang berani menyatakan di majalah Panji Mas bahwa negara Islam itu bukan perintah tuhan dan tidak ada dalam Al Quran. Waktu itu ia masih toleran, agak liberal dan Indonesianis, berbeda dengan sekarang. Membaca sudah menjadi gairahku mulai dari SMP hingga kini.

Mohon maaf sangat pada pemesan buku-buku saya yang setia menunggu dan memberi kepercayaan pada kami. Buku-buku pasti sampai ke alamat tujuan. Terima kasih. Selamat malam.
Bagikan :

Tambahkan Komentar