Ilustrasi
Oleh Ayik Heriansyah
Penulis adalah Pengurus LD PWNU Jabar

Abad 15 Hijriah belum sampai setengah jalan. Masih suasana perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet di tengah konsolidasi negara-negara bangsa di dunia Islam , ada keinginan untuk umat Islam menjadikan abad 15 Hijriah abad kebangkitan Islam. Pasca runtuhnya simbol kekuatan politik umat Islam yaitu Khilafah Turki Utsmani 1924, umat Islam bak anak ayam kehilangan induknya. Suasana gamang ini makin membuncah sejalan dengan makin dalamnya kolonialisasi bangsa Barat di negeri-negeri Islam. Ternyata Barat tidak cukup dengan mengeruk kekayaan alam negeri Islam, mereka juga melakukan serangan pemikiran dan budaya di tengah-tengah umat.

Trauma yang mendalam akibat penjajahan militer Barat dan masih intensifnya serangan pemikiran dan budaya asing, direspon para ulama dengan berbagai cara. Empat tahun setelah upaya untuk membangkitkan kembali Kekhilafahan dipandang sulit, maka ulama mengambil inisiatif membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan. Ormas-ormas ini dibentuk untuk menjadi “badal” pengganti pengurusan semua urusan hajat umat. Karena bagaimanapun sempitnya keadaan saat itu karena penjajahan, kehidupan umat Islam harus tetap berlangsung. Kegiatan peribadahan, pendidikan, santunan dan dakwah tidak boleh berhenti.

Merespon pembubaran Khilafah Turki Utsmani oleh Muthafa Kemal at-Tartuk (1924), di Mesir  berdiri organisasi Ikhwanul Muslimin (1928). Organisasi yang dibidani oleh Syaikh Hasan al-Banna menjadi induk harakah-harakah Islam di Timur Tengah. Ikhwanul Muslimin di kemudian hari menginspirasi lahirnya harakah-harakah Islam di Indonesia, Asia Tengah dan Eropa. Di Indonesia sendiri awal abad 20 berdiri ormas-ormas Islam lebih dulu daripada di Mesir. Antara lain Jami’at Khair (1905), Sarekat Dagang Islam/Sarekat Islam (1905), Perserikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Thawalib Sumatera (1920), Persatuan Islam (1923) dan Nahdhatul Ulama (1926).

Dengan berdirinya ormas-ormas Islam ini fungsi Khilafah sebagai pengurus urusan umat (ri’ayah su’unil ummah) terkait menjaga agama dan mengatur dunia (hirasatuddin wa siyasatuddunya)  tidak mengalami kekosongan. Betul, aslinya tugas mengurus urusan umat merupakan tugas khalifah, namun dalam keadaan darurat ormas Islam bisa jadi badal pengganti peran Khalifah. Aktivitas ormas Islam termasuk fardhu kifayah (kewajiban kolektif) mengingat persoalan penjagaan agama dan mengatur dunia dinilai dari aspek realisasinya bukan siapa pelaksananya.

Awal tahun 1980-an di Indonesia bersemi embrio-embrio gerakan Islam versi Timur Tengah. Gerakan ini diilhami oleh organisasi Ikhwanul Muslimin. Dimulai dengan kegiatan usrah (pengajian kecil) di kampus-kampus. Pengajian-pengajian mahasiswa marak tempat menyalurkan hasrat akan ilmu dan sarana aktualisasi diri. Para mahasiswa tidak bisa lagi mengekpresikan sikap ke luar setelah pemerintah orde Baru membuat aturan NKK/BKK yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Kebijakan Soeharto begitu refresif kepada mahasiswa karena kerusuhan Malari (Malapetaka Limabelas Januari). Malari adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Ulah mahasiswa ini bikin malu Soeharto di hadapan pemerintah Jepang.

Embrio-embrio Usrah membesar menjadi komunitas muslim baru di kota-kota besar. Mereka menyebutnya Jama’ah Tarbiyah yang merupakan gerakan Islam cabang Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Kemudian menjelma menjadi partai politik Islam, Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera. Ruh pergerakan mereka tetap melekat dengan semangat harakah Islamiyah menyongsong kebangkitan Islam (shahwah islamiyah). 30 tahun lebih gerakan Islam mengarungi medan dakwah di Indonesia. Buahnya bermunculan. Ada yang manis, tidak sedikit terasa asam dan pahit.

Globalisasi tak bisa dihindari. Menutup diri pada pengaruh global hampir tidak mungkin. Arab yang menjadi asal muasal gerakan Islam di Indonesia terus bergejolak. Arab Spring di awal dekade kedua abad 21 masih bergetar. Ditambah dinamika yang terjadi kawasan teluk terutama di Jazirah Arab. Semua ini sedikit banyak akan menyentuh perasaaan dan pikiran para aktivis dakwah dari gerakan Islam.

Muncul kegelisahan dan kegalauan di tengah-tengah mereka karena proyek dakwah dari induncul uk harakah Islamiyah di dunia yaitu Ikhwanul Muslimin, gagal. Muhammad Mursi kader Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu dan terpilih jadi Presiden. Dia melakukan Ikhwanisasi jabatan dan  birokrasi. Ini memicu kekhawatiran militer Mesir yang dibekingi Barat. Mursi dikudeta.

Di Turki, Erdogan kader gerakan Islam yang sukses. Tapi gerakan Islam di Indonesia kurang sreg dengan Erdogan. Erdogan dianggap tidak mencerminkan Ikhwanul Muslimin sepenuhnya. Mursi masih lebih kental ke-IM-an dibandingkan Erdogan. Kebijakan politik luar negeri Erdogan susah ditebak, antara pro Islam atau Barat. Erdogan masih menjalin kerjasama dengan Israel. Dia juga berambisi memasukkan Turki ke dalam Uni Eropa.

Di sisi lain, Erdogan selalu terdepan membela hak-hak kaum muslim yang tertindas. Di Myanmar, misalnya. Waktu konflik Arab Saudi dengan Qatar, Erdogan berpihak ke Qatar. Qatar dikenal sebagai negara kaya yang open terhadap gerakan Islam. Qatar menampung tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin seperti Syaikh Yusuf Qardhawi. Jadi ada benarnya keberpihakan Erdogan kepada Qatar karena solidaritas sesama orang harakah.

Keadaan gerakan Islam di Timur Tengah membingungkan para aktivis gerakan Islam di Indonesia. Mesir, Turki atau Qatar yang seharusnya dirujuk untuk mewakili wajah politik Ikhwanul Muslimin?. Di dalam negeri sendiri, aktivis gerakan Islam menghadapi dinamika politik yang panas yang bisa membakar nilai-nilai ke-ikhwan-an. Di samping tentu saja gejolak di internal imbas kasus-kasus yang menimpa aktivis gerakan Islam. Ustadz Anis Matta dalam tulisannya di WAG mengatakan: “ kegelisahan aktivis aktivis dakwah bukanlah kegelisahan sendirian, tetapi sudah menjadi kegelisahan global. Karena memang sedang ada krisis di tingkat global dan juga di tingkat Gerakan Islam .”

Sebagai ikhwan yang turut membina gerakan Islam di Indonesia dari awal. Ustadz Anis Matta menyampaikan  otokritik; “Pada aspek pengelolaan masyarakat dan pengelolaan negara di sini ada kekosongan manhaj, dalam situasi dan kondisi hari ini itulah yg namanya “krisis manhaj”. Gerakan Islam belum sampai menyiapkan perangkat – perangkat yang komprehensif dalam aspek mengelola masyarakat dan negara dengan situasi dan kondisi yang sangat drastis perubahannya.

Gerakan Islam hari ini belum memiliki “tools” dalam menghadapi zaman ini. 18 tahun memasuki amal siyasi adalah bekal dalam mengisi kekosongan manhaj. Persoalan berikutnya Gerakan Islam adalah masalah eksistensial. Krisis eksistensial dipengaruhi oleh krisis pertama yaitu krisis manhaj. Krisis manhaj membuat gerakan Islam gagap membaca zaman dan membaca peristiwa, ketika gagap membaca zaman dan membaca peristiwa maka Gerakan Islam gagap merespon dan bertindak dengan tepat.”

Krisis eksistensial yang dialami gerakan Islam dampak dari krisis penerapan manhaj. Tahap-tahap tarbiyah dari bina’ul fardhiyah perbaikan individu sampai utstazi’u a’lam (pemimpin dunia) mencerminkan hirarki wujud material dari eksistensi Islam. Wujud Islam dianggap ibarat sebuah bangunan mati yang tersusun atas bagian-bagian. Islam menjadi struktur materi.

Pemahaman struktrulisme Islam khas zaman modern  telah mereduksi sisi personal, moral, sosial, kultural dan spiritual pengemban ajaran Islam. Kehidupan Islam diasumsikan oleh gerakan Islam sebagai kehidupan jama’ah mereka sendiri. Di luar jama’ah tidak ada kehidupan Islam. Eksistensi Islam adalah eksistensi jama’ah.

Sehingga tahapan-tahapan tarbiyah menjadi tranformasi jama’ah dari satu tahap ke tahap selanjutnya. Tahapan-tahapan ini tidak bersentuhan langsung dengan kaum muslimin di luar jama’ah. Inilah yang menyebabkan terjadi alienasi gerakan Islam. Aktivis  gerakan Islam merasa asing di tengah umat. Mereka teralienasi. Lambat laun mereka risih dengan eksistensi diri dan jama’ahnya di tengah umat. Krisis eksistensial terjadi.

Krisis eksistensial aktivis gerakan Islam diperberat dengan lombatan jauh tahapan dari bina’ul fardhiyah (pembinaan personal) ke mihwar siyasi. Meskipun tak perlu disesali keputusan terjun ke politik praktis dengan membentuk Partai Keadilan tahun 1998, itu keputusan fatal.

Transformasi dari satu mihwar ke mihwar selanjutnya tidak alami. Ada ruang kosong menganga lebar antara mihwar personal ke mihwar politik praktis kenegaraan. Mihwar sya’bi wa tsaqafi ruang kosong itu. Dakwah sosial budaya merupakan jembatan dari mihwar bina’ul fardhiyah menuju amaliyah siyasah.

Setelah pembinaan personal dan keluarga mantap, aktivis gerakan Islam diarahkan untuk membangun proyek-proyek sosial budaya sebanyak-banyaknya.  Ini masa menanam investasi sosial dan budaya di tengah mayarakat. Tujuannya untuk meraih kepercayaan umat yang sejati maksudnya kepercayaan yang menghasilkan loyalitas karena prestasi dan kontribusi nyata aktivis gerakan Islam.

Perlahan dan pasti, loyalitas umat akan dipegang gerakan Islam sampai pada titik umat meminta aktivis gerakan Islam menjadi pemimpin mereka. Baik pemimpin informal maupun formal. Saat itu sebenarnya mulai terjadi proses alami perpindahan mihwar sya’bi wa tsaqafi menjadi mihwar siyasi.

Masyarakat adalah media tanam (tanah) bagi gerakan Islam. Memang bisa menanam tanpa tanah yaitu dengan metode hidroponik. Hanya saja tanaman hidroponik pohon batangnya kecil. Ukurannya pendek, daun dan buahnya sedikit sedangkan akarnya menggantung di atas, mudah goyang dan jatuh diterpa angina. Kehidupan gerakan Islam hidroponik tergantung asupan nutrisi yang sudah dicairkan. Nutrisi ini pada gerakan Islam berupa ketaatan dan ketsiqahan para aktivis gerakan Islam (jundi) kepada pimpinan mereka (qiyadah).

Tidak ada salahnya kalau aktivis gerakan Islam belajar dari ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, dll. Mereka menjadi gerakan dakwah yang kuat dan tangguh serta memiliki pengaruh politik, tidak lain karena ormas-ormas itu punya modal sosial dan budaya yang kuat. Kepercayaan dan loyalitas umat telah diserahkan kepada mereka. Prahara politik sekeras apapun di negeri ini, tidak bisa menggoyah eksistensi mereka. Ormas-ormas Islam bagaikan pohon yang besar. Akarnya menancap ke dalam masyarakat, daunnya meneduhi umat dan buahnya dirasakan bangsa dan negara.

Bandung, 28 November 2017
Bagikan :

Tambahkan Komentar