Ilustrasi Tempo |
Sekedar berbagi. Saya mengalami sakit jiwa skizofrenia-paranoid karena konflik-batin yang sangat parah dalam beragama. Meskipun, psikiater mengatakan itu karena keturunan genetik dari Ibu saya. Ibu memang seorang penganut Tarekat Qodiriyah, NU. Aneh dan tak mau melakukan ritus ritus pada umumnya. Padahal Bapak seorang guru Muhammadiyah yang puritan walau ketika diskusi sering emosional, ia tak pernah memaksakan pandangan ke anak-anaknya. Semua anaknya bebas menjelajah dan bereksplorasi.
Kakakku yang pertama seorang petualang kuliah. Dari STAN keluar, pindah Sastra Inggris Undip keluar lagi, pindah ke Psikologi UGM keluar lagi. Ia drop out dari UGM semester ke 7. Menurutku ia orang gila yang tak terdeteksi Psikiatri. Ia merasa dirinya seperti Mersault dalam novel Stranger karya Camus.
Mengenalkanku banyak hal mulai dari Hawking sejak aku SMP dengan buku Riwayat Sang Kala yang dibelinya di Gramedia, tahun 1994 an sampai Sigmund Freud. Padahal hingga sekarang ia belum menyentuh buku buku yang ia beli sendiri untukku. Juga menghembuskan ambisi Filsafat Barat dan Islam padaku sejak kelas 1 Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam, Surakarta.
Di Pondok, banyak yang menganggap saya keblinger karena ublek dengan buku buku Nurcholish Madjid dan Fazlur Rahman serta sejenisnya. Membawa buku Filsafat Modern Harry Hamersma di depan Ustadz Farhan membuat ia menasehatiku panjang lebar. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang diajarkan secara disiplin di Pesantren Modern membantu saya memahami banyak literatur literatur asing, disamping Tahfidz Al Quran.
Kakak juga mengenalkan Soedjatmoko yang mengulas novel Boris Pasternak, Dr. Zhivago, yang membuat aku kesepian berdiskusi dengan siapa ketika kuliah. Anehnya, sampai sekarang ia juga belum membaca buku tersebut. Aku diwarisi olehnya buku buku yang sangat banyak hingga ratusan, yang sebagian besar ia belum membacanya satu halaman pun karena ia sibuk menghidupi anak istrinya.
Setelah mengalami skizofrenia diawali dengan lari telanjang bulat keliling kampung dan diikat serta dibawa ke RSJ, aku merasa sudah tidak punya harga diri lagi. Dianggap sampah, depresi berat paska-skizofrenia, mau bunuh diri setiap hari, tidak ada kenikmatan hidup dan inginnya hanya tidur dan musnah dari mengada. Seperti mayat berjalan dan kegiatannya cuman baca buku.
Dalam kengerian dan keputusasaan, aku putuskan murtad. Dengan tidak percaya pada wujud gaib apa pun, tak terbebani ritual, menolak kenabian yang kontradiktif dan melupakan kebenaran kitab suci, membuat hidup menjadi lebih semangat meskipun minum obat setiap pagi dan malam.
Setelah masuk kuliah tapi dekat dengan rumah karena masih pengawasan, diriku seperti ikan bertemu kolam air. Perpustakaan menjadi tongkrongan yang mengasyikkan. Meski murtad, aku banyak berkedok. Demi menghormati orang tua dan teman teman kuliah, aku merasa tidak pantas menunjukkan kemurtadanku, cukup kritis dan liberal saja. Apalagi dua kakakku Muhammadiyah dan dua adikku perempuan penggiat PKS. Aku harus menyesuaikan diri. Menghargai mereka lebih penting dari pada menunjukkan eksistensi diri.
Setelah Ibu Bapakku meninggal dan buku bukuku dikasuskan ke Polisi, tidak ada beban lagi untuk memekarkan sayap sebagaimana adanya. Dua kakakku pun hanya menghela napas dan dua adikku banyak berdoa, semoga diberikan hidayah padaku.
Amin.
Tambahkan Komentar