Oleh Hamidulloh Ibda
Dosen STAINU Temanggung, Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma'arif PWNU Jawa Tengah

Beberapa hari kemarin, makbedunduk saya mendapat pesan dari WhatsApp mahasiswa yang dulu pernah saya ajar. Ia bertanya begini;

"Assalamualaikum
Pak. Tanya.

Sebuah Jurnal urgensinya untuk apa sih pak?
Saya benar benar butuh alasan yang bisa memotivasi saya".

Lanjut, tidak langsung saya jawab. Sengaja saya ketik jawaban lumayan panjang. Begini:

Publikasi.
Ya, jurnal ilmiah itu nama terbitan, seperti koran, majalah, buletin, buku, dan lainnya. Untuk di jurnal ilmiah, yang dimuat tentu artikel ilmiah.

Bisa berisi novelty, hasil riset, kajian kepustakaan tentang permasalahan tertentu.

Publikasi tidak ada hubungannya dengan manfaat praktis/teoretis. Tapi artikel jurnal menjadi kewajiban siapapun khususnya jenjang S2/S3 sebagai syarat kelulusan. Bahkan, dulu sempat wacana pemerintah sebagai syarat kelulusan mahasiswa jenjang S1. Tapi gagal. Didemo, ditolak, dikritik, karena dianggap berat.

Bagi dosen, jurnal ilmiah jelas untuk kepangkatan, dari dosen tetap ke Asisten Ahli, Lektor, Lektor Kepala sampai Guru Besar atau Profesor.

Bagi ASN pun sama. Tanpa publikasi juga tidak bakalan bisa naik pangkat. Khususnya yang di atas IIIB.

Bagi perguruan tinggi, selain publikasi ya untuk diseminasi hasil riset dan pemenuhan kewajiban Tridharma, apalagi sekarang pemerintah menggenjot riset di jurnal bereputasi, baik yang terakreditasi atau terindeks Sinta, bahkan Scopus.

Jika tidak pernah/tidak tahu dunia itu, ya akan susah. Apalagi nggak punya tulisan.

Dia lanjut menjawab:
"Mh. Tak pahami alon alon pak".

Saya akui, dalam mendalami jurnal ilmiah baru pertengahan 2017 lalu. Di antara teman-teman dosen seangkatan, saya dan satu teman yang lolos kenaikan pangkat ke Asisten Ahli tahun 2019 ini, karena menyaratkan ejournal ber-OJS. Alhamdulillah. Saya 2017 itu sudah punya dua jurnal nasional, dan satu jurnal internasional.

Artinya, stok jurnal saya turah-turah. Tapi, tujuan menulis artikel di jurnal ilmiah itu tidak "serendah" untuk syarat administrasi kepangkatan. Lebih dari itu, yang paling penting justru untuk menghidupkan budaya penelitian. Mengasah nalar ilmiah, membudayakan berpikir logis, sistematis, dan empiris.

Saya pun mengalami banyak hal baru dalam menulis artikel di jurnal. Tahun 2017-2019 awal, saya sudah publikasi di 23 jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional. Baik cetak ataupun online, bahkan sampai sekarang juga masih ada yang bertatus in review atau in editing, tapi sudah saya submit dan menunggu antrean. Wajar jika kampus memberi penghargaan pada saya sebagai dosen penulis jurnal ilmiah terbanyak beberapa bulan lalu.

Awal tahun 2019 kemarin, saya juga mendapat Juara Harapan VI dalam sayembara penulisan Jurnal Internasional. Meskipun kemampuan Bahasa Inggris pas-pasan, tapi nyatanya bisa dan lolos. Artinya, asal ada kemauan, maka kemampuan akan mengikutinya. Sing penting gelem sik, soal iso opo ora, urusan ngguri. Begitu prinsipku.

Sejak Januari 2019, sampai Juni 2019 ini, saya menghitung sudah submit di jurnal internasional maupun nasional sekitar 10 lebih dengan tema beragam. Bahkan, artikel yang saya tulis dan submit di beberapa jurnal yang sudah terindeks Sinta juga mangkrak belum ada kabar. Padahal sudah 3 tahunan. Ada yang antri nomor 94. Ada yang antri 2 tahun. Beragam. Tapi saya biarkan, wong nulis bagi saya hobi kok. Bukan paksaan, apalagi tuntutan.

Artinya, menulis di jurnal ilmiah butuh kesabaran. Bukan instan. Semua butuh review, editing, dan ini triknya, "menuruti kemauan reviewer". Titik.

Saya juga tidak membatasi tulisan sesuai focus and scope pendidikan. Semua tema menarik, isu seksi, dan ada novelty, saya tulis, teliti, dan submit. Jika menganut mazhab akademisi linier ya kadang memang menulis harus sesuai pendidikan. Tapi bagi saya itu soal lain. Toh, nyata saya nulis tema politik, budaya, bahasa, pendidikan, hukum, juga lolos dan dimuat.

Hobikan Saja!
Bagi saya, menulis memang hobi sejak kuliah S1. Sebelum lulus S1, saya sudah menulis buku. Juga mendapat penghargaan sebagai mahasiswa terproduktif menulis artikel di koran.

Nah, karena dulu menulisnya opini, kini sejak 2017, saya harus menyesuaikan gaya selingkung tulisan berbasis ilmiah. Harus ada objek jelas, berbasis riset, teori mumpuni, literatur bereputasi, yang susah adalah adanya novelty.

Tapi, semua itu saya hobikan saja. Tidak saya anggap beban. Selain jadi author, kini saya juga mengelola dua jurnal ilmiah yang posisinya sebagai admin dan editor, kadang juga nyambi reviewer. Didaulat juga jadi editor di jurnal yang sudah terakreditasi Sinta.

Harapan tahun ini, tidak muluk-muluk. Saya ingin menembus Scopus yang free for author tanpa lewat bayar membayar yang biasanya dilakukan melalui International Conference. Semoga terwujud.

Tanpa menjadi hobipun, ketika Anda sudah niat meniti karir di dunia akademik/pendidikan, pastinya menulis menjadi keniscayaan. Orang yang menulis pasti banyak baca. Sedikit tidur, dan sedikit omong kosong. Itu bedanya!

Cara berpikirnya pun lebih komprehensif, terstruktur, berdasar, tidak sekadar asumsi dan ahistoris. Maka kuncinya, menulis itu soal kebiasaan, bukan paksaan, apalagi disebut sebagai mukjizat. Sebab, namanya keterampilan berbahasa ya soal kebiasaan, habit lah bahasa lainnya.

Saya teringat kata Pak Sumarjoko, senior saya di kampus. Begini: "Kuliah S1, S2, S3 kui gampang, Pak. Asal punya modal uang, waktu, kesempatan beasiswa, pasti bisa kuliah. Namun tidak semua orang bisa menulis dengan baik karena itu skill". Begitu katanya.

Tapi bagi saya bukan soal skill, tapi soal kebiasaan. Jangankan nulis ilmiah, nulis status di medsos atau story WA saja, bagi yang tidak terbiasa akan susah. Bahkan sering jiplak karya, ide, atau tulisan orang lain. Dus, semua kembali pada kebiasaan.

Bagi saya, menulis juga investasi. Dulu, saya mengutip, tapi setelah punya karya, banyak tulisan saya dikutip. Ini merupakan kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Apalagi, artikel kita dikutip doktor, profesor, atau peneliti yang artikelnya itu dimuat di jurnal terindeks Scopus. Ini kebanggan luar biasa. Dan, itu sudah saya alami bulan lalu, karena satu artikel saya dikutip peneliti dalam dan luar negeri dan dimuat di jurnal terindeks Scopus.

Jika Anda saat ini berposisi sebagai mahasiswa, guru atau dosen, silakan menulis. Saya sendiri masih belajar di dunia jurnal ilmiah. Jika Anda ingin diskusi, ayo saya siap berbagi dan belajar.

Jangan sampai Anda malas, lalu untuk menulis karya, Anda plagiasi, duplikasi, fabrikasi, dan falsifikasi karya orang lain. Itu dosa intelektual yang hina. Masak Anda jadi sarjana, magister dan doktor hasil plagiasi? Njuk nek kerjo, dadine priwek kuwi lah?

Maka, solusinya adalah menghidupkan pilar literasi menurut Phoenix (2017), yaitu membaca, menulis, mengarsipkan. Kurangi menulis status, tulis di buku, jurnal, koran, itu lebih bermanfaat.

Eman-eman sekali Anda punya akal, otak, namun tidak dipakai. Eman-eman juga Anda punya ide, namun terbuang begitu saja. Sebab, ide itu mahal! Susah carinya!

Jika tidak mau dan mampu, mending turu wae. Sebab, penulis itu jarang tidur. Ia bekerja dalam sunyi, dan menyisihkan waktunya untuk dikenang ratusan tahun mendatang lewat kegiatan menulis.

Nek ora percoyo, ya karepmu! Percoyo, yo karepmu! Sebab, maju-mundur, mati-hidup, panen-puso, sukses-gagale awakmu ya awakmu dewe sing nentukke. Bukane ngono, to Cuk?
Bagikan :

Tambahkan Komentar