Oleh Ahmad Fauzi

Nurcholish Madjid adalah seorang raksasa pemikiran Islam di Indonesia. Tulisan beliau mengenai Ke-Islaman, Ke-Indonesiaan dan Ke-Modernan sangatlah baru di zamannya dan telah memengaruhi cara berpikir dan beragama banyak manusia di negeri ini.

Namun, kini pemikiran Islam di Indonesia seolah mandeg tanpa ada pengruntuhan epistemologis atau pergeseran paradigma yang mendasari pemikiran pemikiran sebelumnya. Yang ada pengolahan kembali atau daur ulang yang bersifat siklis dan menjemukan. Contohnya adalah gerakan Jaringan Islam Liberal dan sejenisnya.

Salah satu tema yang ditawarkan oleh Cak Nur yaitu pluralisme yang berbasis titik temu agama agama. Beliau menjadikan Suroh Ali Imron ayat 64 sebagai landasan untuk merangkul dan menyatukan banyak perbedaan agama agama yang ada.

"Katakanlah (untuk Muhammad), Wahai Ahlul Kitab, mari kita menuju satu kata persamaan antara kami dan kamu sekalian untuk tidak menyembah tuhan selain Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan apapun, dan jangan dari sebagian kita dan yang lainnya mengambil kepercayaan pada tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling dari seruan ini, katakanlah kami adalah orang orang yang berserah diri (pada Allah)."

Cak Nur terpengaruh oleh pemikiran Fritjof Schuon, dalam bukunya Transcendent Unity of Religion yang diterjemahkan dengan judul Mencari Titik Temu Agama Agama. Buku tersebut berusaha mencari pertemuan agama agama dunia dalam dimensi esoteris atau bathiniah. Dan Cak Nur berusaha mencari padanan dari titik temu tersebut dalam ayat Al Quran. Ia mengambil term, Kalimah Sawaa' (kata persamaan) atau Common Platform.

Namun ada kelemahan mendasar dari padanan Cak Nur atas Schuon, yaitu ketika beliau mengajak para para pemeluk agama selain Islam untuk bersatu padu. Quran mengistilahkan pemeluk agama lain dengan Ahlul Kitab, orang orang beragama yang memiliki kitab suci (tidak hanya Kristen dan Yahudi tapi juga Hindhu dan Buddha, Konfusius, Tao, dan sejenisnya), dalam hal ini beliau merujuk pada Rasyid Ridho dengan Tafsir Al Manaar-nya. Lalu bagaimana dengan pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak memiliki kitab suci tertulis, semisal mereka yang menjadikan alam semesta yang membentang luas dan cahaya bathin dalam diri mereka sendiri sebagai kitab suci yang sebenarnya. Ada puluhan kepercayaan yang dipeluk masyarakat Indonesia  yang tak berkitab suci tertulis juga kaum ateis dan humanis atau deis yang tak memeluk salah satu agama resmi di negeri ini.

Ajakan Cak Nur terasa eksklusif bertentangan dengan pemikirannya yang dianggap inklusif.

Ia juga mengajak pemeluk agama lain untuk bersatu dengan setengah paksaan. Yaitu,  diminta untuk tidak menyembah tuhan selain Allah dan tidak menyekutukannya.

Dasar persatuan pluralisme Cak Nur begitu arogan. Menundukkan dan memaksa pemeluk agama lain dalam ketuhanan versi Islam. Kita tidak bisa menyatukan agama agama dengan dasar ketuhanan. Justeru ketuhanan telah menciptakan perbedaan, banyak konflik dan tidak sedikit perang. Setiap agama memiliki konsepnya sendiri tentang tuhan, juga banyak agama yang tidak memiliki konsep tentang tuhan. Bahkan, setiap orang memiliki persepsinya sendiri yang berbeda dalam memahami dan meyakini tuhan. Apakah semua hal tersebut bisa disatukan dengan konsep ketuhanan Islam?

Cak Nur tidak melihat aspek lain yang bisa menyatukan agama agama yang ada. Yaitu, kemanusiaan. Memang terkesan sekuler juga non teistik bahkan agnostik atau ateis tapi yang paling dikhawatirkan bisa memertanyakan dan menyerang dasar dasar Islam itu sendiri. (*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar