Suasana kegiatan di Aula Kecamatan Gemawang.
Temanggung, TABAYUNA.com – Dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang jurnalistik dan melek literasi media, Pengurus Anak Cabang Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Gemawang, Temanggung, didorong menguasai literasi baru untuk menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0. Hal itu terungkap dalam Workshop Literasi dan Jurnalistik, di Aula Kecamatan Gemawang, Jumat (2/8/2019).

Kegiatan yang diselenggarakan PAC Fatayat NU Gemawang, Temanggung ini menghadirkan pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah, Hamidulloh Ibda, yang dihadiri puluhan kader dan pengurus. Dalam pemaparannya, Hamidulloh Ibda mengatakan bahwa literasi merupakan usaha untuk melek aksara melalui kegiatan membaca, menulis, dan menganalisis. "Literasi selama ini masih sebatas kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, ini merupakan literasi lama. Padahal di era Revolusi Indhstri 4.0 dan Society 5.0, masyarakat harus menguasai literasi baru, yaitu literasi data, teknologi, dan literasi manusia," kata penulis buku Konsep dan Aplikasi Literasi Baru tersebut.

Dalam kesempatan itu, pengurus Bidang Literasi Media Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jateng tersebut memaparkan pentingnya keterlibatan Fatayat dalam mencerdaskan anak-anak agar tidak terkena hoaks, pornografi dan radikalisme yang disebar melalui media siber saat ini. "Keterlibatan Fatayat sebagai ibu, atau calon ibu dalam mengawal anak-anak sangat penting. Maka selain lewat pembelajaran, tradisi literasi harus dihidupkan lewat pembiasaan dan keteladanan. Mengonsumsi informasi atau berita lewat gawai penting. Namun anak-anak harus diarahkan, didampingi, karena pengetahuan atau informasi cepat saji di media lebih banyak mengandung virus," kata dosen STAINU Temanggung tersebut.

Maka wajar, kata dia, di era post truth seperti saat ini, guru atau kiai yang menjadi sanad harus diutamakan daripada belajar atau ngaji dengan Google. "Belajar dengan ulama, kiai, jelas ada sanad keilmuwannya. Tapi ngaji dengan Google, tidak jelas sanadnya. Maka kiai dan ulama tetap rujukan utama dalam mendapatkan ilmu agama. Jika ingin pandai ilmu agama ya mondok di pesantren, belajar ilmu fikih, nahwu, sorof, balaghoh dan lainnya. Bukan otodidak belajar di internet," kata alumnus Ponpes Mambaul Huda Kembang, Pati tersebut.

Kalau sekadar untuk mencari berita, atau data, lanjut Ibda, sah-sah saja tidak ada yang melarang. "Tapi kalau menjadikan internet sebagai rujukan utama itu namanya makan mie instan. Jika belum makan nasi, ya nanti perut akan sakit karena internet itu sekunder bukan primer," beber penulis buku Media Literasi Sekolah tersebut.

Usai pemaparan materi, peserta sebanyak 126 tersebut diajak praktik menulis berita dan langsung dikirim ke media massa. Sampai berita ini ditulis, kegiatan masih berlangsung di Aula Kecamatan Gemawang tersebut. (Tb55/HI).
Bagikan :

Tambahkan Komentar