Oleh Dian Marta Wijayanti
Guru SDN Sampangan 01 UPTD Gajahmungkur Kota Semarang

Saat mengajar anak-anak di kelas, saya selalu menekankan berita hoax (KBBI: hoaks) berpotensi membodohkan bahkan radikal. Maka faham dan gerakan radikalisme dalam berita hoaks harus diperhatikan serius. Apalagi, beberapa waktu lalu kita digegerkan hoaks produksi Ratna Sarumpaet yang menjadikan netizen bertindak kekerasan di dunia maya. Mulai dari mencela, mengutuk, bahkan memunculkan sebutan “Hari Hoaks Nasional” usai kejadian itu.

Perilaku netizen yang buta literasi di dunia maya sangat menjenuhkan. Ketika ada hoaks, mereka tak membelai dengan literasi, namun hanya memunculkan idiom buruk. Mulai dari “kampret, cebong, sumbu pendek” dan lainnya.

Penetrasi hoaks yang bisa datang kapan saja justru melahirkan narasi radikalisme dari aspek bahasa. Jika bahasanya sarkas, maka netizen lain terpengaruh melakukan kekerasan. Radikalisme yang disihirkan lewat hoaks menjadi pintu masuk faham radikal melalui kata-kata. Lewat kata-kata membentuk pola pikir, sehingga menjadi tindakan dan budaya radikal. Semua pola ini harus dipotong agar tak membahayakan generasi muda.

Melawan hoaks berarti sama saja melawan radikalisme. Hoaks bukan kekhilafan, melainkan propaganda sarat isu SARA yang mengadu domba. Gerakan literasi antihoaks urgen, dan tak hanya melawan berita bohong dan fitnah, namun juga radikalisme. Sebab saat ini penyebarannya melalui dunia maya yang jauh lebih berpengaruh daripada guru dan buku.

Deteksi Radikalisme
Gerakan radikalisme dalam bentuk apa saja sangat terlarang. Kaum radikal saat ini menghalalkan segala cara untuk menguasai dunia, termasuk media massa, media sosial bahkan pendidikan. Lewat doktrin dan perkaderan berbasis online, mereka mengincar kader-kader baru untuk didoktrin termasuk pelajar dan anak-anak. Banyaknya akun medsos abal-abal dan situs online radikal menjadi “corong” hoaks dan konten radikal.

Semua itu digerakkan untuk mencuci otak kaum muda agar kehilangan jati dirinya, dan agar kehilangan rasa cinta damai, nasionalisme dan religiositas. Hal itu tak bisa dimungkiri dan kita tak boleh menutup mata. Hoaks berkembang dan selalu ada “dalang” di balik tragedi hoaks.

Radikalisme harus dideteksi melalui dunia maya, karena dunia tanpa batas ini menjadikan kita “tertipu” produsen hoaks yang selalu menawarkan nafsu membagikan, mengomentari, bahkan mencaci maki. Meski gerakan literasi digencarkan terus oleh pemerintah, baik Kemendikbud, Kemenristek Dikti, Kemenag, BNPT, namun masih sedikit yang memahami ada “politik radikalisme” melalui hoaks itu.

Lewat hoaks, faham kebencian disebar dengan dana besar pula. Kita membutuhan revolusi berpikir bahwa literasi antihoaks dibutuhkan agar generasi milenial benar-benar toleran dan antiradikalisme. Sekolah sebagai tempat mendapatkan ilmu harus mengajarkan anak-anak untuk mendeteksi hoaks sebagai deteksi dini terhadap radikalisme.

Gerakan Literasi Antihoaks
Gerakan literasi antihoaks porosnya adalah gerakan antiradikalisme. Pemerintah melalui Kemendikbud sejak awal 2015 mengajak masyarakat menyukseskan gerakan literasi nasional, gerakan literasi sekolah dan literasi keluarga. Literasi tak sekadar membaca, namun mendeteksi berita, informasi baik itu tulisan, foto maupun video justru sangat urgen.

Literasi harus menjadi soft skill agar pemuda memiliki “tameng” kuat untuk tak terprovokasi hoaks. Misalnya, ada berita berseliweran, kalau kita melek literasi tentu wajib klarifikasi ke sumber valid, dan tak hanya menelan mentah-mentah. Jika kita “termakan” hoaks, maka kita digiring menjadi radikal.

Kemampuan literasi juga tak sekadar catur tunggal bahasa, yaitu membaca, menulis, menyimak dan berbicara (Tarigan, 2005). Literasi intinya justru semua upaya mendapatkan pengetahuan, melawan hoaks dan radikalisme di media, baik wujudnya berita maupun segala hal di medsos.

Intensitas anak-anak yang sangat dekat dengan gawai harus diarahkan untuk hal-hal positif. Literasi yang selama ini digelorakan terus-menurut membuktikan bahwa ia selalu relevan untuk membangun generasi melek aksara dan informasi. Jika apatis terhadap literasi, justru hal itu kontra produktif dan langkah mundur dari kemajuan.

Spirit literasi humanis harus melekat pada pelajar agar tak mudah menyalahkan, mengafirkan, menghakimi orang lain ketika mendapatkan informasi. Pengguna internet di Indonesia kebanyakan generasi milenial. Mereka akan “labil informasi” ketika menyerap informasi karena minim kemampuan literasi.

Gerakan literasi antihoaks bisa dimulai dengan memahami makna hoaks dan melawannya. Caranya sederhana, kita berpijak media massa anjuran dewan pers dan berflatform ramah dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Melalui pembelajaran tematik di SD, misalnya, guru harus mengintragrasikan literasi, bahasa, informasi, dan radikalisme siber yang kini menjadi hantu menakutkan. Jenjang SMP dan SMA juga wajib dikenalkan dengan media massa ramah dan legal agar mereka benar-benar berkiblat pada sumber valid.

Kita juga wajib menyeleksi berita dari media abal-abal yang selalu menyeru jihad ngebom, penyebar hoaks, dan berpijak pada disiplin literasi yang menjunjung tinggi kebenaran, bukan keviralan. Jika tak demikian, kita justru akan berpotensi radikal karena di balik hoaks ada muatan radikalisme.

Gerakan literasi antihoaks ini urgen. Tujuannya, tidak sekadar untuk melek aksara, informasi, media massa, namun juga membangun generasi ramah, toleran, humanis sejak dalam pikiran, perkataan dan berujung pada perbuatan.

Bagikan :

Tambahkan Komentar