Bupati Kudus tersangka OTT saat ditangkap KPK. Foto: Kompas.com

Oleh Hamidulloh Ibda

Ada banyak hikmah atas perayaan Idul Adha. Jika tidak ada perubahan, maka percuma umat Islam merayakan Idul Adha. Setiap tahun sekali, umat Islam di dunia memperingati Hari Raya Kurban, Lebaran Haji atau dikenal akrab sebagai Idul Adha.


Di dunia Arab, Hari Raya Kurban dirayakan dengan penuh gegap-gempita, melebihi Hari Raya Idul Fitri. Umat Islam pun menyambutnya dengan haru-biru. Kenapa demikian? Hari Raya Kurban dirayakan bersamaan dengan ibadah haji, rukun Islam kelima.

Puncaknya, peringatan hari raya ini ditandai dengan penyembelihan unta, domba, kambing, dan sapi, yang dagingnya dibagikan kepada kalangan fakir miskin. Setiap muslim yang mampu diwajibkan mengeluarkan sebagian hartanya untuk berbagi rezeki kepada orang lain yang tidak mampu.

Setelah melaksanakan salat Idul Adha, umat Islam secara bersamaan melaksanakan aktivitas kurban. Peristiwa ini membuktikan sebuah pemandangan yang nyata perihal hakikat Islam sebagai agama yang tidak hanya semata-mata menekankan tentang ritualitas (ibadah mahdlah), melainkan juga menitikberatkan pentingnya ranah relasi sosial (mu’amalah).

Perayaan kurban bukan hanya dalam rangka menyerahkan diri kepada Tuhan, tetapi juga yang jauh lebih penting dari itu, yaitu membumikan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan senyata-nyata.  Karena itu, dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Siapa yang memiliki kelapangan rezeki tapi ia tidak berkurban maka janganlah mendekati musala kami” (HR Iman Ahmad dan Ibnu Majah). Di dalam Alquran, Allah SWT berfirman: “Hendaklah kamu melaksanakan salat dan sembelihlah hewan kurban” (QS Al-Kautsar: 2).

Setiap muslim sejatinya tidak hanya menjadikan agama sebagai peristiwa ritual belaka, melainkan juga sebagai perhelatan yang bernuansa sosial sehingga mampu menumbuhkan kepedulian sosial. Menurut Peter L Berger, setiap agama harus melahirkan voluntarisme, yaitu kesukarelaan untuk melayani sesama manusia. Agama tidak pada tempatnya jika hanya menumbuhkan sikap fanatis dan fundamentalistis, karena setiap agama pada hakikatnya merupakan instrumen untuk memupuk kesadaran pentingnya saling berbagi di antara sesama makhluk manusia.

Korupsi?
Bahkan, sebuah fakta yang sangat kontradiktif dipertontonkan. Ketika festival keagamaan makin marak dan hiruk-pikuk di berbagai tempat, korupsi dan intoleransi juga makin masif. Realitasnya dapat disimpulkan, tidak ada relasi antara perayaan keagamaan yang mengharu-biru dengan perilaku sosial-politik kewargaan.

Saban hari kita disajikan dengan informasi yang menohok hati nurani, betapa korupsi tidak kunjung sirna dalam praktik politik para elite. Alih-alih ingin memberantas korupsi, justru rezim yang berkuasa cenderung ingin menutup-nutupi kasus korupsi yang menimpa mereka. Kasus Wisma Atlet, Hambalang, simulator SIM, korupsi daging sapi, dan tragedi ketua Mahkamah Konstitusi, kasus OTT Bupati Kudus merupakan betapa korupsi sudah menjadi masalah serius. Korupsi dimulai oleh pemangku kekuasaan dengan total penyimpangan anggaran yang sangat fantastik.

Pada saat yang sama, khutbah keagamaan terlihat abai terhadap fenomena tersebut. Kita jarang sekali mendengarkan ceramah-ceramah keagamaan yang secara lantang mengkritik maraknya korupsi. Secara implisit terlihat adanya sikap permisif dari kalangan agamawan terhadap budaya korupsi yang sudah menggerogoti nilai-nilai luhur dalam berbangsa dan bernegara.

Semua itu terjadi, karena ritual dan perayaan keagamaan kehilangan nilai profetik dan makna transformatifnya. Belum lagi ketidakmampun dalam melakukan kontekstualisasi nilai-nilai keagamaan dalam ranah sosial-politik sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Akibatnya, peristiwa keagamaan ibarat buih yang ditelan ombak dari masa ke masa.

Menyembelih Korupsi
Di sinilah momentum Idul Adha menjadi relevan dan signifikan. Perayaan kurban harus menjadi alarm mengingatkan umat agar memberantas korupsi. Korupsi harus “dipotong” laiknya hewan kurban. Inti dari agama pada hakikatnya adalah “melayani orang lain”, bukan “merugikan orang lain” atau “mencederai orang lain”. Karena itu, lewat esensi ajaran agama (kurban), umat Islam harus memberantas korupsi kapan saja dan di mana saja.

Prinsip “memberantas korupsi” sejatinya tak hanya menjadi khutbah belaka, melainkan harus diterjemahkan dalam kehidupan nyata. Seperti disebutkan dalam ajaran Islam, bahwa mencegah kemunkaran adalah wajib hukumnya. Apalagi, kejahatan korupsi saat ini sudah merajalela dan melebihi batas. Perintah salat Idul Adha sejalan lurus dengan perintah menyembelih hewan kurban, termasuk menyembelih penyakit korupsi.

Dengan demikian, peringatan Idul Adha 2019 ini sejatinya dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, khususnya dalam rangka menyambungkan antara nilai-nilai keislaman yang adiluhung dengan realitas sosial-politik.

Kita berharap agar perayaan keagamaan tidak hanya dijadikan seremonial belaka, melainkan sebagai momentum untuk memecahkan persoalan yang mahapelik, seperti korupsi yang telah menggerogoti uang negara. Kuncinya adalah memaknai hari raya kurban untuk “menyembelih penyakit korupsi”. Spirit memberantas harus menjadi prinsip kuat di dalam setiap sanubari para elite politik sekaligus elite agama kita. Jika tidak disembelih, korupsi pasti merajalela. Itu pasti.
Bagikan :

Tambahkan Komentar