Tabayuna.com - Hati-hati, bahaya infiltrasi kaderisasi Wahabisme di SMA Negeri dan Universitas Negeri dengan berkedok pembinaan agama dan moral.

▪Dari mana muncul pikiran orang seperti @estiningsihdwi yang tanpa sungkan menyebut pahlawan kafir ? 

▪Dari mana muncul pikiran anak-anak yang tidak mau menghormat pada bendera merah putih ?

▪Dari mana asal pikiran anak-anak yang tidak mau menghafal Pancasila ?

▪Dari mana pikiran anak-anak yang ogah bergaul dengan temannya non-muslim karena menganggap mereka kafir ?

▪Dari mana asal pikiran anak-anak yang duduk harus terpisah antara laki-laki dan perempuan ?

Semuanya berawal dari upaya infiltrasi diam-diam kaum Wahabi ke sekolah-sekolah dan universitas dengan menggunakan strategi Halaqah.

Gerakan Tarbiyah memang dikenal menggunakan strategi Halaqah untuk menjamin kaderisasi gerakan.

Halaqah juga jadi wadah taurits (pewarisan nilai, sikap maupun transfer informasi dan komando).

Dan melalui Halaqah ini, gerakan Tarbiyah akan melakukan perjuangan bertingkat mulai dari kelompok keluarga.

Lalu melalui jalur pendidikan, kesehatan dan sosial, meningkat lagi ke pemerintahan dan parlemen, dan terakhir merubah dasar negara.

Halaqah itu sendiri terdiri dari 5 sampai 12 orang anggota (Mutarabbi) yang dibimbing oleh Murabbi atau mentor.

Sekilas terlihat tak ada yang salah dengan Halaqah di SMA negeri yang mengambil wujud Rohis (Kerohanian Islam).

Para guru dan orangtua berpikir anak-anak mengikut Rohis akan bagus untuk menangkal berbagai pengaruh buruk narkoba dan pergaulan bebas.

Anak-anak Indonesia
Tapi mereka tidak sadar bahwa Rohis sudah diinfiltrasi Tarbiyah dan anak-anaknya malah menjadi kader-kader ekstrim.

Anak-anak menjadi rela membenci orang tuanya sendiri bila dianggap tidak sejalan dengan pemahaman Wahabi.

Siswa SMA negeri yang terdorong masuk Rohis, masuk dalam perangkap jaringan Liqo yang menyediakan mentor, selanjutnya mereka akan mendapatkan pendamping dari para mentor atau patron Murabbi.

Materi mentoring dari Murabbi di Rohis menyangkut masalah sehari-hari (Ubudiyah) sampai soal Ukhuwah.

Disinilah siswa di-indoktrinasi beragama secara ekslusif dengan memahami nilai Islam yang monolitik dan abaikan kearifan tafsir Islam yang beragam.

Mentoring membangun militansi dan radikalisasi siswa SMA karena materi mentoring juga menyinggung isu gerakan Islam Trans-Nasional.

Mentoring di Rohis, siswa SMA juga ditekankan soal pendisiplinan ritual keagamaan di lingkungan sekolah dan luar sekolah.

Siswa SMA juga diarahkan menjadi Mujahid militan yaitu perang jihad dengan kaum kafir. Waktu mentoring justru jauh lebih panjang dibandingkan pelajaran agama di sekolah. 
Guru agama hanya jadi pembina formal di Rohis.

Tapi dalam prakteknya pendamping dari jaringan Murabbi jauh lebih berperan dari pada guru pembina formal.

Para Murabbi umumnya berasal dari alumni yang belum lama lulus dan sedang menjadi mahasiswa.

Para Murabbi juga gunakan pendekatan teman sebaya, karena memang dari sisi usia, para Murabbi tidak terlalu jauh terpaut dari siswa SMA. Sehingga lebih disenangi dibandingkan guru formal.

Kedok Agama
Siswa SMA merasa dalam suasana yang nyaman karena bicara dengan usia sebaya. Pendekatan teman sebaya juga digunakan Murabbi untuk membangun ikatan emosional dengan siswa SMA. Pendekatan teman sebaya untuk membantu menyelesaikan semua masalah termasuk kesulitan memahami pelajaran di sekolah.

Pelan-pelan kehadiran Murabbi justru diperkuat oleh sekolah karena dianggap menyempurnakan proses pembelajaran agama. Bahkan sekolah memperbolehkan hari Minggu untuk siswa mendapatkan tambahan program asistensi agama oleh para Murabbi.

Bekerjanya indoktrinasi ala Murabbi ini akhirnya mempengaruhi pola pikir, cara siswa berkomunikasi dan berinteraksi. Mulai muncul pengentalan identitas dan simbol agama di sekolah-sekolah negeri. Dan ini justru didukung oleh kebijakan sekolah. Apa saja pengentalan identitas dan simbol agama?

Mulai dari soal jabat tangan kepada lawan jenis, suara perempuan dianggap aurat, menolak hormat bendera, pengentalan identitas dan simbol agama sampai ke soal pemisahan tempat duduk antara laki-laki dengan perempuan. Eksklusifisme juga terkait dengan simbol-simbol nasional.

Siswa mulai melihat secara segregatif antara kita dengan mereka, antara Muslim dengan kafir. Siswa SMA mulai segregatif antara agama dan sekuler. Simbol-simbol negara dianggap simbol sekuler yang tidak patut dihormati. Bahkan pahlawan-pun juga dibedakan antara pahlawan Islam dan pahlawan kafir (non-Muslim).

Seperti kasus @destiningsihdwi, kader dan caleg DPR dari PKS yang bikin banyak orang geleng kepala. Perlu diingat bahwa asistensi agama Islam bukan hanya ada di sekolah SMA negeri saja, tapi juga ada di universitas negeri. Program asistensi di Universitas negeri ini cara kerjanya mirip dengan sistem mentor di SMA Negeri.

Mahasiswa baru yang ambil mata kuliah agama Islam digiring untuk masuk program asistensi agama Islam yang diasuh oleh Murabbi mahasiswa senior.

Murabbi senior ini berada di bawah komando Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang tugas utamanya *“meng-Wahabi-kan”* seluruh elemen universitas.

Para mahasiswa baru kemudia dibagi dalam Halaqah-halaqah kecil yang didampingi oleh Murabbi dengan pendekatan teman sebaya.

Para Murabbi juga dampingi mahasiswa baru dalam kesulitan ambil mata kuliah, bahkan sampai urusan mencarikan jodoh demi kemurnian kaderisasi.

Selain melalui program asistensi agama Islam, gerakan Tarbiyah juga masuk merebut Mushala dan Mesjid Kampus.

Di setiap Mesjid yang dikuasai, mereka selenggarakan kegiatan mulai pengajian rutin, diskusi sampai selenggarakan pendidikan usia dini.

Setelah Mushala dan Mesjid Kampus dikuasai, maka mereka mulai masuk ke organ-organ resmi kampus dan laboratorium penelitian.

Dengan masuk ke organ-organ resmi kampus (BEM/ Senat/ Majelis Wali Amanah) mereka akan berupaya mengendalikan kebijakan kampus.

Arahkan politik kampus seperti pemilihan rektor dan dekan, pengaruhi rekruitmen dosen dan peneliti di laboratorium.

Sepak terjang mereka sangat sektarian dan mempertajam segregasi berdasarkan agama. Paham keagamaan sangat monolitik.

Pemilihan berdasarkan simbol dan identitas keagamaan diperkuat.

Cara pandangnya sangat ekslusif : Muslim dan kafir, serta mudah mengkafirkan.

Strategi Wahabisme di kampus dan sekolah ini menjadi wadah bersemainya gerakan radikal yang mudah dimobilisasi dengan sistem komando.

Wahabisme juga memanfaatkan ruang kebebasan untuk pelan-pelan membunuh semangat kebangsaaan dan penghormatan pada keberagaman.

Dengan memanfaatkan fasilitas negara, Wahabisme menyemaikan paham yang mudah mengkafirkan orang lain dan menolak bendera merah putih. (ARN)

Semoga Bermanfaat Dan Tetap Waspadai
Bagikan :

Tambahkan Komentar