Oleh: Munawaroh

Demonstrasi bagi mahasiswa menjadi hal wajar. Namun bagaimana dengan pelajar? Tentu tidak boleh, karena mereka belum saatnya turun ke jalan. Seperti diketahui, pada September 2019 kemarin terjadi demonstrasi di seluruh penjuru negeri guna menolak RUU KPK dan RKUHP. Demo itu hampir terjadi di seluruh kota besar di Indonesia yang dilakukan mahasiswa.

Kekecewaan mahasiswa kepada DPR RI yang dianggap melemahkan KPK dan hanya akan membuata para koruptor semakin merajalela di negara kita ini. Namun demonstrasi itu tak hanya melibatkan mahasiswa, akan tetapi para pelajar juga ikut turun ke jalan melakukan aksi unjuk rasa. Bolehkah pelajar turun ke jalan?

Berbagai pendapat dari masyarakat mengatakan bahwa pelajar jangan diikutsertakan dalam kegiatan unjuk rasa tersebut. Lalu, apakah alasan mendasar mengapa pelajar tidak boleh ikut turun ke jalan? Bukankah mereka bagian dari warga negara Indonesia?

Kericuhan dan perpecahan menjadi alasan mereka tak perlu turun ke jalan. Hal tersebut akan membahayakan keselamatan bagi para peserta aksi. Masih lekat dalam ingatan kita semua aksi demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 memakan korban meninggal dunia di pihak para demonstran yaitu para mahasiswa itu sendiri. Pasti kita tidak menginginkan hal itu terjadi lagi.

Maka wajar apabila banyak pihak menyayangkan keikutsertaan para pelajar dalam unjuk rasa di depan gedung DPR RI. Mereka menganggap pelajar belum saatnya untuk ikut dalam proses demokrasi praktis seperti demo dikarenakan status mereka masih pelajar. Secara hukum, mereka masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur.

Demonstrasi dalam Demokrasi
Aksi turun ke jalan atau yang biasa kita kenal dengan demo merupakan sarana bagi masyarakat untuk menyuarakan suara mereka agar didengar para pemimpin di negeri ini. Aksi demo biasanya sebagai respon terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Kekecewaan semakin berlarut dan tidak diselesaikan secara baik oleh pemerintah.

Demonstrasi memiliki tujuan yang baik, yaitu menyuarakan aspirasi demonstran. Namun dalam aksinya tidak jarang terjadi kericuhan yang dapat membahayakan keselamatan diri dan orang lain. Mahasiswa sebagai agen of social change (agen perubahan sosial) merasa bahwa mereka harus memberikan reaksi terhadap kebijakan pemerintah terkait RUU KPK yang mereka anggap akan melemahkan kinerja KPK, dan hanya akan membuat para koruptor semakin bebas menjalankan aksi mereka.

Korupsi merupakan kejahatan yang tergolong extraordinary crame (kejahatan luar biasa) karena dampak dari korupsi sangat besar. Korupsi bisa merusak tatanan negara, merugikan orang banyak. Selain itu proses pegungkapan korupsi di Indonesia tergolong rumit. Hal itu dikarenakan sebagian kasus korupsi di Indonesia berupa praktik suap yang dalam prosesnya tak terdapat tanda terima atau kuitansi, sehingga dalam pencarian barang bukti membutuhkan usaha ekstra.

Praktik korupsi di Indonesia tiap tahun semakin meningkat, bahkan hampir di seluruh aspek kementerian atau lembaga pemerintahan. Dikutip dari Detiknews pada tahun 2018  Indonesia menduduki peringkat 89 dari 180 negara yang disurvei. Data ini menunjukkan bahwa kasus korupsi di Indonesia masih banyak.

Kejahatan laten yang semakin meraja lela ini seharusnya membuat pemerintah melakukan upaya preventif supaya paktik korupsi tidak tumbuh subur di negara ini. Namun adanya RUU KPK yang dianggap semua pihak melemahkan KPK malah disahkan pada sidang paripurna DPR. Hal ini pasti membuat kekecewaan dari semua masyarakat.

Khususnya mahasiswa sebagai agen perubahan. Mereka perlu melakukan upaya untuk menghentikan pengesahan RUU KPK tersebut dengan cara melakukan unjuk rasa. Namun aksi mereka tidak mendapat sambutan yang baik dari para anggota parlemen di senayan. Oleh karena itu kekecewaan mereka semakin memuncak kepada para anggota dewan.

Mengapa Dilarang?
Dalam Undang-Undang No 23 tentang Perlindungan Anak menyatakan anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan”. Sesuai UU itu, dapat dikatakan bahwa pelajar SMA masih termasuk dalam usia anak-anak yang setiap perbuatan mereka di bawah pengawasan orang dewasa.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik dalam Aksi Unjuk Rasa yang berpotensi kekerasan. Lewat Surat Edaran ini diharapkan agar sekolah dapat melarang peserta didiknya  apabila mereka ingin mengikuti aksi unjuk rasa.

Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi pelajar agar tidak terlibat dalam aksi unjuk rasa yang dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan diri dan orang lain. Selain itu usia pelajar merupakan usia yang secara undang-undang sebagai anak. Secara psikologis, mereka masih labil dan secara kongnitif mereka belum mengetahui hakikat aksi unjuk rasa tersebut dimaksudkan untuk apa.

Beberapa kepala dinas pendidikan juga menghibau para siswa untuk fokus belajar karena nanti akan datang saat yang tepat untuk belajar demokrasi.Oleh karena itu pelajar diharapkan lebih baik fokus kepada pendidikan mereka dari pada ikut-ikutan unjuk rasa.

Pelajar yang kategorinya masih anak di bawah umur perlu bimbingan dari orang dewasa. Saat mereka ikut demo ditakutkan akan mengalami hal-hal tidak diinginkan yang dapat membahayakan diri mereka dan orang lain. Oleh karena itu aksi unjuk rasa sangat tidak tepat apabila diikuti pelajar.

Kita sebagai pengajar sebaiknya memberikan pengertian kepada pelajar supaya mereka tidak ikut-ikutan melakukan aksi unjuk rasa itu. Karena mereka sebaiknya lebih fokus kepada pendidikan mereka dari pada ikut unjuk rasa. Kita juga harus memberikan pengertian kepada pelajar bahwa ikut berpartisipasi dalam demokrasi tidak harus dengan ikut demo. Namun memberikan prestasi yang membanggakan bagi negara akan lebih bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan tentunya negara Indonesia.

-Penulis adalah Mahasiswa STAINU Temanggung
Bagikan :

Tambahkan Komentar