Oleh Nabila Chaerani
Program Studi Pendidikan Agama
Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Institut Islam Nahdlatul Ulama
Temanggung
Email : chaeraninabila21@gmail.com
ABSTRAK
Problem wanita pada era modern
sekarang adalah perilaku tabarruj. Tabarruj adalah sebuah bentuk ekspresi orang
yang sedang memakai fashion tetapi bukan makna dari fashion itu sendiri yang
dengan sengaja dibuat gimik agar orang lain tertarik dan terlena ketika
melihatnya sehingga seolah-olah bertentangan dengan shari’ah. Penelitian ini
fokus pada bagaimana aspek-aspek dalam fashion sebagai budaya dan shari’ah
Islam, bagaimana afirmasi fashion sebagai shari’ah Islam, dan bagaimana
dinamika tarik menarik antara budaya populer yang cenderung sekuler dengan
shari’ah Islam dalam konteks fashion umat Islam. Berdasarkan fenomena di atas,
penelitian ini bertujuan mencari titik temu fashion yang sesuai dengan shari’ah
Islam berdasarkan pandangan para ulama yang termasuk dalam golongan tekstualis
(normatif) dan historis. Kedua, penelitian ini menguraikan benang kusut yang
menjadi persoalan fashion umat Islam yang telah terkontaminasi budaya populer
sehingga mengabaikan shari’ah Islam dan jauh dari aspek religius.
Kata kunci : fashion, budaya, shari’ah
The problem of women in the modern
era is tabarruj behavior. Tabarruj is a form of expression for people who are
wearing fashion but not the meaning of fashion itself, which is deliberately
made a gimmick so that other people are interested and complacent when they see
it so that it seems to be contrary to the shari'ah. This study focuses on how
aspects of fashion as a culture and Islamic shari'ah, how fashion affirms as
Islamic shari'ah, and how the dynamics of attraction between popular culture
that tends to be secular and Islamic shari'ah in the context of Muslim fashion.
Based on the above phenomena, this study aims to find a fashion meeting point
that is in accordance with Islamic shari'ah based on the views of scholars who
are included in the textualist (normative) and historical groups. Second, this
study describes the tangled threads that are the problem of Muslim fashion
which has been contaminated with popular culture so that it ignores Islamic
shari'ah and is far from religious aspects.
Keywords: fashion, culture, shari'ah
PENDAHULUAN
Cantik adalah sesuatu hal yang
menjadi dambaan setiap wanita. Fitrah atau pembawaan wanita adalah menampilkan
kecantikan yang dimilikinya. Wanita dan kecantikan selalu menjadi satu paket
yang sulit untuk dipisahkan. Wanita dengan segala sesuatu yang dimilikinya
menjadikannya sebagai makhluk Tuhan yang sangat indah. Wanita merupakan
perhiasan dunia dan tanpa kehadirannya, dunia terasa tidak sempurna. Islam
memberikan kedudukan dan kehormatan yang tinggi kepada wanita, baik dari segi
hukum atau pun dari masyarakat sendiri. Pada kenyataannya, apabila kedudukan
tersebut tidak seperti yang diajarkan oleh ajaran Islam, maka persoalannya akan
lain. Sebab struktur, adat, kebiasaan dan budaya masyarakat juga memberikan
pengaruh yang signifikan kepada wanita
Problem fashion wanita
muslimah pada masa ini menjadi salah satu problematika paling penting yang
menghadang. Seiring masuknya budaya Barat ke Indonesia, gaya dan bentuk fashion
wanita sekarang ini menjadi semakin beragam. Segala jenis pakaian didominasi
dari sana. Bahkan hijab yang menjadi ciri khas seorang muslimah kini menjadi
trend baru di dunia fashion.
Di
Indonesia, keberadaan hijab telah diterima secara luas di berbagai lingkungan
dan status sosial. Secara sosio-kultural, hijab telah masuk dalam berbagai
bidang seperti pendidikan, kesehatan, hukum, politik, sosial, budaya, seni dan
lainnya. Penerimaan masyarakat di Indonesia mengenai penggunaan hijab terjadi
bukan hanya karena adanya pemahaman mengenai perintah dan anjuran agama
terhadap penggunaan hijab, tetapi juga diikuti dengan kesadaran masyarakat
akan tren. Ditinjau berdasarkan asal mulanya, hijab berasal dari bahasa Arab
yang bermakna tirai, penghalang, dan sesuatu yang menjadi penghalang atau
pembatas antara dua hal. Berdasarkan perspektif sejarah, kata ‘hijab’ lebih
sering digunakan untuk memisahkan ruangan seperti di masjid-masjid, khususnya
antara lelaki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Dalam perspektif agama
Islam, hijab merupakan pakaian untuk menjaga kehormatan dan harga diri manusia
khususnya kehormatan wanita. Islam mewajibkan kepada seluruh umat perempuan
muslim agar berjilbab dengan tujuan untuk menutup aurat, sesuai dengan yang
diperintahkan Al-Qur’an dalam An Nuur :31 tentang menutup aurat.
Ditinjau dari kacamata politik dan
historis, hubungan kaum muslimin dengan pemerintah Indonesia mengalami pasang
surut. Beberapa pemberontakan di awal kemerdekaan yang menginginkan
terbentuknya Negara Islam Indonesia ditolak oleh mayoritas warga negara. Beberapa
masalah seperti kasus Tanjung Priok juga dikaitkan dengan Islam aliran garis
keras.
Pemerintah Orde Baru menetapkan
lima agama resmi, dan kedudukan agama Islam sederajat dengan agama-agama lain.
Pemerintah Orde Baru selalu mendorong partisipasi Islam dalam masalah sosial,
tetapi Islam politik sangat dibatasi, khususnya sumber kekuasaan Islam politik
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
cukup tinggi pada era tahun 1980 hingga 1990an, berimbas pada perubahan sosial
masyarakat yang cepat pula. Investasi yang tinggi di berbagai bidang
menumbuhkan pola perilaku konsumtif pada masyarakat. Nilai nasionalisme yang
digaungkan sejak awal kemerdekaan, lambat laun memudar, hal ini menjadikan
pemerintah menjadi lebih terbuka terhadap Islam, sehingga posisi Islam pun
lambat laun menguat.
Perkembangan teknologi media massa
menciptakan dunia sebagai “global village” yang memungkinkan seluruh masyarakat
dunia menerima informasi dari berbagai belahan bumi.. Globalisasi Islam terjadi
melalui perkembangan televisi dan media massa. Orang Islam mulai merasa anggota
masyarakat internasional
Era reformasi di Indonesia yang
dimulai sejak 1998 memberikan berbagai euphoria kebebasan termasuk kebebasan
berbusana muslim mengenakan hijab. Hijab tidak lagi dikenakan oleh perempuan
pada kalangan tertentu saja misalnya kalangan pesantren dan organisasi
kemasyarakat yang berafiliasi islam, tetapi mulai dikenakan oleh seluruh
lapisan masyarakat, segala kalangan, baik kalangan bawah hingga kalangan atas.
Hijab pun mulai memasuki dunia
fashion dengan berbagai trend dan gaya yang sedang popular di kalangan dunia
mode. Berbagai disain terbaru muncul beriringan dengan trend disain busana umum
yang muncul dalam dunia mode. Media massa memiliki peran penting dalam
mempopulerkan trend-trend busana muslim yang berkembang melalui pemodelan yang
diperagakan oleh artis, selebriti hingga pejabat tinggi. Masyarakat pun
mengimitasi pemodelan media massa tersebut, yang menyebabkan hijab menjadi
bagian dari budaya populer
PEMBAHASAN
Dinamika masyarakat yang berubah
sangat cepat berpengaruh sangat signifikan terhadap gaya berhijab. Hijab tidak
lagi sederhana sebagaimana konsep di dalam Al Qur’an tetapi berkembang
mengikuti trend fashion di dunia mode sehingga perempuan berhijab pun mampu
tampil modis, fashionable dan stylish sesuai dengan trend yang
sedang popular di masyarakat. Kreativitas berbusana muncul yang menghasilkan
berbagai gaya hijab yang modern. Mulai hijab segi empat dengan berbagai corak
dan warna, pashmina, hingga hijab instant yang siap pakai. Kalangan pemakai
hijab pun meluas, tidak hanya dari kalangan perempuan pesantren dan perempuan
aktivis organisasi Islam, tetapi juga masyarakat biasa, artis, pejabat, hingga
para perempuan yang terjerat dalam kasus kejahatan juga menggunakan hijab
sebagai penutup wajah untuk menghindari sorotan kamera media.
Dalam Oxford English Dictionary
(OED), kata fashion memiliki banyak arti sesuai dengan fungsinya.
Sebagai kata benda berarti mode, sedangkan sebagai kata kerja berarti kegiatan
membuat atau melakukan. Sementara itu, mode menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah ragam, cara atau bentuk yang terbaru pada suatu waktu
tertentu tentang pakaian, potongan rambut, hiasan dan sebagainya
Hijab menurut agama Islam adalah
pakaian yang wajib dikenakan perempuan untuk menutupi aurat yakni rambut, dada,
dan bagian tubuh lainnya, sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an, “Hendaklah
mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya”. (Al-Qur’an, An Nuur
:31). Islam mengajarkan hidup sederhana termasuk dalam berpakaian, dengan model
yang sederhana dan tidak mengenakan perhiasan yang berlebihan. Hal ini
bertujuan bahwa dengan menutup auratnya, perempuan dapat terhindar dari fitnah,
menunjukkan kualitas budi pekerti, dan tingkat kedalaman akan pemahaman ilmu
agama. Hijab menurut sunah rosul adalah sederhana, sesuai dengan pola hidup
Rosululloh, dimana beliau senantiasa menjauhkan diri dari sifat sombong dan
takabur serta menjauhkan diri dari penjara materialistis
Bagi kalangan Islam yang berpandangan bahwa
pakaian adalah soal tradisi budaya semata, maka jilbab akan dipersepsikan
sebagai bagian dari budaya orang Arab atau budaya orang Timur Tengah, artinya
tidak ada keharusan untuk mengenakan jilbab dan kerudung tersebut. Sebab,
budaya lokal Indonesia mempunyai tatacara berpakaian sendiri yang dianggap
cocok, yang berbeda atau belum tentu sama dari daerah lain. Tegasnya bagi
mereka, jilbab dan kerudung tidak lebih dari produk budaya yang lahir di Arab.
Sebaliknya, untuk umat Islam yang meyakini bahwa masalah pakaian merupakan
salah satu cabang shari’at Islam, otomatis akan menganggap menggunakan jilbab
dan kerudung adalah salah satu kewajiban agama sekaligus identitas keislaman
seseorang muslimah.
Kecenderungan yang berkembang ini,
di negeri muslim yang masih agak kuat Islamnya pun mengalami pergeseran
perspektif dalam mengamalkan tradisi busana muslim. Sekarang pun marak
bermunculan busana muslim kontemporer yang tetap dengan mengenakan jilbab, akan
tetapi dengan modifikasi sedemikian rupa sehingga para muslimah ini tetap tampil
lebih menawan sebagai akibat langsung dari akulturasi dua budaya. Sehingga
berkembang istilah di kalangan kaum muslim dengan istilah jilbab gaul, jilbab
artis dan lainnya. Fenomena ini muncul seiring dengan berkembangnya fesyen yang
terlalu menonjolkan keterbukaan dan keketatan busana. Busana muslim pun tak
luput kena imbas dari mode fasion ini. Sehingga sekarang banyak kita jumpai
para remaja putri muslim yang mengenakan busana semacam ini. Jilbab dengan baju
ketat nan melekat dan kadang kala memperlihatkan pusar. Berdasarkan perspektif
inilah, pendapat al-Maududi mendapat pembenaran secara real dan nyata.
Dalam pemikiran al-Maududi dapat disimpulkan
bahwa ada dua ruang yang harus digunakan ketika membahas tentang kewajiban
pengenaan jilbab. Pertama, ruang pribadi/ privasi dan yang kedua, ruang publik.
Cara pengenaan jilbab pada dua ruang ini tentu saja memiliki perbedaan.
Dalam ruang pribadi dalam hal ini
adalah rumah maka wanita dianjurkan mengenakan jilbab dan juga diperbolehkan
mengenakan perhiasannya. Hal ini dimaksudkan untuk melayani suami saja. Namun,
hal ini tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain termasuk karib kerabat yang
telah dikenal sekalipun. Yang boleh terlihat adalah muka dan tangan saja. Ini berkaitan
erat dengan tindakan preventif untuk menghindari terjadinya fitnah. Hal ini
sejalan dengan kaidah sadu lizzaria'ah. Sehingga, apabila hendak masuk
rumah seseorang dianjurkan untuk minta izin terlebih dahulu, agar terhindar
dari melihat dari keadaan yang mestinya tidak boleh dilihat. Hal ini juga
berkaitan erat dengan perintah untuk menahan pandangan dari hal yang tidak
baik.
Sedangkan pada ruang publik di mana
orang bertemu dan berjumpa, maka wanita menurut al-Maududi harus menutup
seluruh tubuhnya termasuk muka dan telapak tangan dari pandangan orang-orang
yang tidak baik dan menunjukkan bahwa dia adalah wanita terhormat. Argumentasi
yang diajukan oleh al-Maududi adalah bahwa bahwa fitnah timbul mulai dari
pandangan mata. Mata adalah pintu gerbang menuju pintu kejahatan, karena dengan
perantara mata orang bisa tahu bahwa wanita ini seksi dan menawan sehingga muncul
keinginan yang negatif dalam dirinya.
Secara umum seorang wanita diketahui
cantik dan menawannya adalah dari wajah dan wanita dikatakan seksi apabila
mempunyai tubuh yang aduhai. Oleh karena itu, ketika keluar dari wilayah privat,
wajah ini harus ditutup dari pandangan orang lain terutama non mahram dan
begitu juga dengan tubuhnya harus dibungkus dengan pakaian yang tertutup dan
tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sebab dikhawatirkan, akan
mendatangkan fitnah bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Dengan begitu
wanita muslimah akan tetap terjaga kehormatannya dan harga dirinya.
Dari pendapat al-Maududi ini, dapat
dilihat bahwa pendapat al- Maududi di samping sangat tekstual dan normatif juga
sangat women oriented. Kesan yang didapat adalah bahwa wanita sangat
tabu berada dalam ruang publik tanpa mengenakan pakaian dengan kriteria yang
sangat ketat. Wanita seluruhnya adalah aurat, sehingga apapun yang ada pada
tubuhnya harus ditutupi dengan jilbab. Hal ini mengindikasikan bahwa yang harus
menjaga agar para laki-laki tidak terjebak melakukan dosa adalah kaum wanita.
Dalam pandangan al-Asymawi, tampak
jelas sekali bahwa ia sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa jilbab
adalah kewajiban agama yang bersifat tetap dan kontinyu. Menurutnya, penafsiran
ayat tentang jilbab ini masih menjadi perdebatan (ikhtilaf) dan silang pendapat oleh para ahli fikih (ra’yu al-basar) atau bukan hukum agama
yang jelas, tepat, dan pasti. Ada tiga ayat al-Qur'an yang ditafsirkan sebagai
perintah penggunaan jilbab atas perempuan, serta dua hadis Nabi yang dijadikan
landasannya.
Pertama, ayat hijab (kewajiban
hijab), meskipun ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi, ayat tersebut
tetap berlaku bagi perempuan mukminah lainnya karena mengandung perintah
kemuliaan akhlak, yang tentu tidak berlaku pengkhususan. Bagi yang menuntut peniadaan
hijab, ayat tersebut tidak bersinggungan sama sekali dengan tradisi model
penutup rambut bagi perempuan mukminah. Penamaan penutup kepala dengan hijab
dan melandaskannya pada ayat tersebut merupakan tindakan salah kaprah karena
hijab secara bahasa adalah al-satir
(penutup tertentu/sekat), bukan jilbab atau penutup kepala.
Kedua, ayat khimar, QS.
An-Nur (24): 31, yakni anjuran untuk menjumbaikan kerudung ke dada sebagai koreksi
atas tradisi perempuan yang memperlihatkan dadanya. Bagi yang mendukung
kewajiban berjilbab, ayat al- Qur'an tersebut memerintah untuk bertutup dan
telapak tangan. Bagi yang mendukung peniadaan kewajiban berjilbab, ayat ini meluruskan
tradisi berbusana pada zaman itu dengan penekanan pada penutup dada dan agar tidak
memperlihatkannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan penutup kepala.
Ketiga, ayat jalabib, QS Al-Ahzab
(33):59, yakni perintah memanjangkan pakaian perempuan untuk membedakan perempuan
merdeka dan budak agar tidak digoda oleh laki-laki. Bagi yang mendukung
kewajiban berjilbab, ayat tersebut menyuruh seluruh perempuan mukminah-budak
atau bukan-untuk menutup organ tubuh dan bertindak sopan. Bagi yang tidak mendukung,
hukum yang tetap dari ayat tersebut adalah kesopanan dan tidak berlaku pamer
yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perintah berjilbab.
Dari keterangan di atas bahwa al-Asymawi
secara tersirat juga menganjurkan pengenaan jilbab sebagai item fashion muslimah
sebagai bagian dari busana yang sopan. Al-'Asymawi sama sekali tidak menyatakan
bahwa jilbab tidak boleh dipakai karena ia adalah bagian dari masa lalu yang usang.
Ia memang secara tegas menyatakan konsep jilbab adalah bukan dari budaya Islam,
melainkan ia merupakan warisan dari masa pra Islam yang telah ada sebelum Islam
datang ke tanah Arab. Tradisi ini, sebagaimana telah disebutkan dalam latar
belakang turunnya ayat ini merupakan ralat terhadap budaya berjilbab yang
terjadi masa itu.
Ketika ayat ini diturunkan yaitu ayat
jilbab, mayoritas perempuan mengenakan jilbab dengan cara menjumbaikan kerudungnya
ke arah punggung sehingga leher dan sebagian bagian dari dada perempuan itu terlihat.
Lalu ayat ini turun agar para wanita memprioritaskan jumbaian kerudungnya ke
arah dada sebagai koreksi terhadap tradisi yang ada ini. Makanya, al'Asymawi mengatakan
bahwa jilbab bukanlah merupakan tradisi Islam secara genuin, namun
jilbab merupakan budaya yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah Arab.
Namun, al-'Asymawi sama sekali tidak
mengatakan bahwa jilbab tidak boleh dikenakan oleh wanita muslimah tetapi bukan
sebagai yang wajib dalam menutup aurat.
Penulis setuju dengan pendapat
al-'Asymawi yang mengatakan bahwa inti dari jilbab adalah identitas kemuslimahan
yang bercorak pada kesederhanaan dan kepantasan dalam berbusana tanpa perlu
menentukan model jilbab yang akan dipergunakan. Pilihan terhadap model diserahkan
sepenuhnya kepada kaum wanita. Akan tetapi pengenaan jilbab tersebut tetap
harus tetap mengacu pada kaidah–kaidah berbusana yang tidak mempertontonkan
aurat seorang perempuan. Apabila hal ini telah dipenuhi, maka ciri-ciri busana
yang baik dapat dikatakan sudah memenuhi syarat untuk menutup aurat.
Model yang digunakan adalah
pengenaan jilbab dalam pengertian baju yang panjang dan tidak transparan yang tidak
memperlihatkan lekuk-lekuk dari tubuh wanita yang dikombinasikan dengan
pengenaan jilbab yang menjuntai ke dada. Dengan demikian, ciri dari busana
muslimah yang diinginkan oleh al-Maududi dan al-'Asymawi terpenuhi. Seharusnya
seperti demikian seorang muslimah berbusana dalam kesehariannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tentang
posisi fashion dalam shari’ah dan budaya, maka penelitian ini
menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Aspek-aspek fashion yang
dapat menjadi budaya Islam adalah fashion yang memenuhi dimensi
keseimbangan antara hal-hal yang bersifat ukhrawi dan duniawi, disenbut
bersifat duniawi karena fashion sebagai ekspresi keindahan dan identitas
budaya umat Islam. Misalnya dengan berpakaian yang baik dan sopan, seseorang
lebih disegani oleh orang lain. Ia juga merasa bangga dengan hal itu. Di sisi
lain disebut bersifat ukhrawi karena ia juga merupakan manifestasi ketaatan
perintah agama Islam yang tertera dalam al-Qur‟an dan hadis yang tujuan secara shari‘ah-nya
sebagai penjaga kehormatan seorang muslim di hadapan manusia dan Allah SWT.
Dengan tidak menggunakan pakaian tipis dan ketat, seorang perempuan menunjukkan
dirinya memiliki harga diri dan kehormatan yang sangat dijaganya.
Fashion merupakan salah
satu shari’ah Islam yang tidak bisa ditolak keberadaannya oleh umat Islam dan
sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk diabaikan urgensinya. Apalagi dengan
berkembangnya zaman dan perubahan sosial budaya yang sangat cepat seperti saat
ini. Fashion menjadi lebih mendesak keberadaannya sebagai salah satu
entitas diri seorang muslim untuk tetap eksis dan memiliki pengaruh terhadap lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu, fashion sebagai
shari’ah islam dapat dilihat dalam dua sudut pandang yaitu yang pertama fashion
dilihat melalui kajian teks, berdasarkan tafsiran ulama yang terdapat dalam
al-Quran dan hadis. Yang kedua fashion sebagai shari’ah dilihat dari
sudut pandang historisitas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, A. a.-A. (tt). al-Hijab. Beirut:
Dar al-Fikr.
Anggrian,
M., & Latifah, S. N. (2018). Komodikasi Hijab dalam Budaya Visual di
Indonesia. PRABANGKARA Jurnal Seni Rupa dan Desain Volume 22, 2.
Barnard,
M. (1996). Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas
Sosial, Seksual, Kelas dan Gender, ter. Idy Subandy Ibrahim dan Yosal
Iriantara. Yogyakarta: Jalasutra.
Brenner,
S. (1996). Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and 'The
Veil'. American Ethnologist Volume 23, 676-678.
Depag.
(1994). Al-Quan dad Terjemahannya. Semarang: PT Kumudasmoro Grafindo
Semarang.
El-Guindi,
A. (2003). Jilbab antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, Terj.
Mujiburrahman. Jakarta: Serambi.
Habsari,
S. U. (2015). Fashion Hijab dalam Kajian Budaya Populer. Jurnal PPKM II
(2015) 126-134 ISSN: 2354-869X, 127.
Hamid,
A. (2012). Fiqih Wanita. Jogjakarta: Diva Press.
Muhammad,
H. (2002). Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.
Yogyakarta: LKiS.
Nasional,
T. P. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Sa‟id,
M. (2003). Kritik Atas Jilbab, Terj. Novriantoni Kahar dan Opie Tj.
Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.
Salim,
H. (1991). Wanita Islam: Kepribadian dan Perjuangannya. Bandung:
Rosdakarya.
Tambahkan Komentar