Oleh Nabila Chaerani

Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung

Email : chaeraninabila21@gmail.com

 

ABSTRAK

Problem wanita pada era modern sekarang adalah perilaku tabarruj. Tabarruj adalah sebuah bentuk ekspresi orang yang sedang memakai fashion tetapi bukan makna dari fashion itu sendiri yang dengan sengaja dibuat gimik agar orang lain tertarik dan terlena ketika melihatnya sehingga seolah-olah bertentangan dengan shari’ah. Penelitian ini fokus pada bagaimana aspek-aspek dalam fashion sebagai budaya dan shari’ah Islam, bagaimana afirmasi fashion sebagai shari’ah Islam, dan bagaimana dinamika tarik menarik antara budaya populer yang cenderung sekuler dengan shari’ah Islam dalam konteks fashion umat Islam. Berdasarkan fenomena di atas, penelitian ini bertujuan mencari titik temu fashion yang sesuai dengan shari’ah Islam berdasarkan pandangan para ulama yang termasuk dalam golongan tekstualis (normatif) dan historis. Kedua, penelitian ini menguraikan benang kusut yang menjadi persoalan fashion umat Islam yang telah terkontaminasi budaya populer sehingga mengabaikan shari’ah Islam dan jauh dari aspek religius.

 

Kata kunci : fashion, budaya, shari’ah

 

The problem of women in the modern era is tabarruj behavior. Tabarruj is a form of expression for people who are wearing fashion but not the meaning of fashion itself, which is deliberately made a gimmick so that other people are interested and complacent when they see it so that it seems to be contrary to the shari'ah. This study focuses on how aspects of fashion as a culture and Islamic shari'ah, how fashion affirms as Islamic shari'ah, and how the dynamics of attraction between popular culture that tends to be secular and Islamic shari'ah in the context of Muslim fashion. Based on the above phenomena, this study aims to find a fashion meeting point that is in accordance with Islamic shari'ah based on the views of scholars who are included in the textualist (normative) and historical groups. Second, this study describes the tangled threads that are the problem of Muslim fashion which has been contaminated with popular culture so that it ignores Islamic shari'ah and is far from religious aspects.

 

Keywords: fashion, culture, shari'ah

 

PENDAHULUAN

Cantik adalah sesuatu hal yang menjadi dambaan setiap wanita. Fitrah atau pembawaan wanita adalah menampilkan kecantikan yang dimilikinya. Wanita dan kecantikan selalu menjadi satu paket yang sulit untuk dipisahkan. Wanita dengan segala sesuatu yang dimilikinya menjadikannya sebagai makhluk Tuhan yang sangat indah. Wanita merupakan perhiasan dunia dan tanpa kehadirannya, dunia terasa tidak sempurna. Islam memberikan kedudukan dan kehormatan yang tinggi kepada wanita, baik dari segi hukum atau pun dari masyarakat sendiri. Pada kenyataannya, apabila kedudukan tersebut tidak seperti yang diajarkan oleh ajaran Islam, maka persoalannya akan lain. Sebab struktur, adat, kebiasaan dan budaya masyarakat juga memberikan pengaruh yang signifikan kepada wanita (Hamid, 2012, p. 5).

Problem fashion wanita muslimah pada masa ini menjadi salah satu problematika paling penting yang menghadang. Seiring masuknya budaya Barat ke Indonesia, gaya dan bentuk fashion wanita sekarang ini menjadi semakin beragam. Segala jenis pakaian didominasi dari sana. Bahkan hijab yang menjadi ciri khas seorang muslimah kini menjadi trend baru di dunia fashion.

Di Indonesia, keberadaan hijab telah diterima secara luas di berbagai lingkungan dan status sosial. Secara sosio-kultural, hijab telah masuk dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, hukum, politik, sosial, budaya, seni dan lainnya. Penerimaan masyarakat di In­donesia mengenai penggunaan hijab terjadi bukan hanya karena adanya pemahaman mengenai perintah dan anjuran agama terhadap penggunaan hijab, tetapi juga diikuti den­gan kesadaran masyarakat akan tren. Ditinjau berdasarkan asal mulanya, hijab berasal dari bahasa Arab yang bermak­na tirai, penghalang, dan sesuatu yang menjadi penghalang atau pembatas antara dua hal. Berdasarkan perspektif seja­rah, kata ‘hijab’ lebih sering digunakan untuk memisahkan ruangan seperti di masjid-masjid, khususnya antara lelaki dan perempuan agar tidak bertatap muka. Dalam perspek­tif agama Islam, hijab merupakan pakaian untuk menjaga kehormatan dan harga diri manusia khususnya kehormatan wanita. Islam mewajibkan kepada seluruh umat perem­puan muslim agar berjilbab dengan tujuan untuk menutup aurat, sesuai dengan yang diperintahkan Al-Qur’an dalam An Nuur :31 tentang menutup aurat. (Anggrian & Latifah, 2018)

Ditinjau dari kacamata politik dan historis, hubungan kaum muslimin dengan pemerintah Indonesia mengalami pasang surut. Beberapa pemberontakan di awal kemerdekaan yang menginginkan terbentuknya Negara Islam Indonesia ditolak oleh mayoritas warga negara. Beberapa masalah seperti kasus Tanjung Priok juga dikaitkan dengan Islam aliran garis keras.

Pemerintah Orde Baru menetapkan lima agama resmi, dan kedudukan agama Islam sederajat dengan agama-agama lain. Pemerintah Orde Baru selalu mendorong partisipasi Islam dalam masalah sosial, tetapi Islam politik sangat dibatasi, khususnya sumber kekuasaan Islam politik (Brenner, 1996, p. 676).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi pada era tahun 1980 hingga 1990an, berimbas pada perubahan sosial masyarakat yang cepat pula. Investasi yang tinggi di berbagai bidang menumbuhkan pola perilaku konsumtif pada masyarakat. Nilai nasionalisme yang digaungkan sejak awal kemerdekaan, lambat laun memudar, hal ini menjadikan pemerintah menjadi lebih terbuka terhadap Islam, sehingga posisi Islam pun lambat laun menguat.

Perkembangan teknologi media massa menciptakan dunia sebagai “global village” yang memungkinkan seluruh masyarakat dunia menerima informasi dari berbagai belahan bumi.. Globalisasi Islam terjadi melalui perkembangan televisi dan media massa. Orang Islam mulai merasa anggota masyarakat internasional (Brenner, 1996, p. 678).

Era reformasi di Indonesia yang dimulai sejak 1998 memberikan berbagai euphoria kebebasan termasuk kebebasan berbusana muslim mengenakan hijab. Hijab tidak lagi dikenakan oleh perempuan pada kalangan tertentu saja misalnya kalangan pesantren dan organisasi kemasyarakat yang berafiliasi islam, tetapi mulai dikenakan oleh seluruh lapisan masyarakat, segala kalangan, baik kalangan bawah hingga kalangan atas.

Hijab pun mulai memasuki dunia fashion dengan berbagai trend dan gaya yang sedang popular di kalangan dunia mode. Berbagai disain terbaru muncul beriringan dengan trend disain busana umum yang muncul dalam dunia mode. Media massa memiliki peran penting dalam mempopulerkan trend-trend busana muslim yang berkembang melalui pemodelan yang diperagakan oleh artis, selebriti hingga pejabat tinggi. Masyarakat pun mengimitasi pemodelan media massa tersebut, yang menyebabkan hijab menjadi bagian dari budaya populer (Habsari, 2015)

 

PEMBAHASAN

Dinamika masyarakat yang berubah sangat cepat berpengaruh sangat signifikan terhadap gaya berhijab. Hijab tidak lagi sederhana sebagaimana konsep di dalam Al Qur’an tetapi berkembang mengikuti trend fashion di dunia mode sehingga perempuan berhijab pun mampu tampil modis, fashionable dan stylish sesuai dengan trend yang sedang popular di masyarakat. Kreativitas berbusana muncul yang menghasilkan berbagai gaya hijab yang modern. Mulai hijab segi empat dengan berbagai corak dan warna, pashmina, hingga hijab instant yang siap pakai. Kalangan pemakai hijab pun meluas, tidak hanya dari kalangan perempuan pesantren dan perempuan aktivis organisasi Islam, tetapi juga masyarakat biasa, artis, pejabat, hingga para perempuan yang terjerat dalam kasus kejahatan juga menggunakan hijab sebagai penutup wajah untuk menghindari sorotan kamera media. (Habsari, 2015)

Dalam Oxford English Dictionary (OED), kata fashion memiliki banyak arti sesuai dengan fungsinya. Sebagai kata benda berarti mode, sedangkan sebagai kata kerja berarti kegiatan membuat atau melakukan. Sementara itu, mode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ragam, cara atau bentuk yang terbaru pada suatu waktu tertentu tentang pakaian, potongan rambut, hiasan dan sebagainya (Nasional, 2008). Namun, pemaknaan kata fashion yang sebenarnya masih jauh dari gamblang. Sebagai tambahan atas nilai positif dan negatif bisa dilengkapi dengan ide dan praktik fashion. Polhemus dan Procter menunjukkan bahwa dalam masyarakat kontemporer Barat, istilah fashion kerap digunakan sebagai sinonim dari istilah dandanan, gaya dan busana (Barnard, 1996)

Hijab menurut agama Islam adalah pakaian yang wajib dikenakan perempuan untuk menutupi aurat yakni rambut, dada, dan bagian tubuh lainnya, sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an, “Hendaklah mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya”. (Al-Qur’an, An Nuur :31). Islam mengajarkan hidup sederhana termasuk dalam berpakaian, dengan model yang sederhana dan tidak mengenakan perhiasan yang berlebihan. Hal ini bertujuan bahwa dengan menutup auratnya, perempuan dapat terhindar dari fitnah, menunjukkan kualitas budi pekerti, dan tingkat kedalaman akan pemahaman ilmu agama. Hijab menurut sunah rosul adalah sederhana, sesuai dengan pola hidup Rosululloh, dimana beliau senantiasa menjauhkan diri dari sifat sombong dan takabur serta menjauhkan diri dari penjara materialistis (Depag, 1994).

 Bagi kalangan Islam yang berpandangan bahwa pakaian adalah soal tradisi budaya semata, maka jilbab akan dipersepsikan sebagai bagian dari budaya orang Arab atau budaya orang Timur Tengah, artinya tidak ada keharusan untuk mengenakan jilbab dan kerudung tersebut. Sebab, budaya lokal Indonesia mempunyai tatacara berpakaian sendiri yang dianggap cocok, yang berbeda atau belum tentu sama dari daerah lain. Tegasnya bagi mereka, jilbab dan kerudung tidak lebih dari produk budaya yang lahir di Arab. Sebaliknya, untuk umat Islam yang meyakini bahwa masalah pakaian merupakan salah satu cabang shari’at Islam, otomatis akan menganggap menggunakan jilbab dan kerudung adalah salah satu kewajiban agama sekaligus identitas keislaman seseorang muslimah.

Kecenderungan yang berkembang ini, di negeri muslim yang masih agak kuat Islamnya pun mengalami pergeseran perspektif dalam mengamalkan tradisi busana muslim. Sekarang pun marak bermunculan busana muslim kontemporer yang tetap dengan mengenakan jilbab, akan tetapi dengan modifikasi sedemikian rupa sehingga para muslimah ini tetap tampil lebih menawan sebagai akibat langsung dari akulturasi dua budaya. Sehingga berkembang istilah di kalangan kaum muslim dengan istilah jilbab gaul, jilbab artis dan lainnya. Fenomena ini muncul seiring dengan berkembangnya fesyen yang terlalu menonjolkan keterbukaan dan keketatan busana. Busana muslim pun tak luput kena imbas dari mode fasion ini. Sehingga sekarang banyak kita jumpai para remaja putri muslim yang mengenakan busana semacam ini. Jilbab dengan baju ketat nan melekat dan kadang kala memperlihatkan pusar. Berdasarkan perspektif inilah, pendapat al-Maududi mendapat pembenaran secara real dan nyata. (Muhammad, 2002, p. xix)

Dalam pemikiran al-Maududi dapat disimpulkan bahwa ada dua ruang yang harus digunakan ketika membahas tentang kewajiban pengenaan jilbab. Pertama, ruang pribadi/ privasi dan yang kedua, ruang publik. Cara pengenaan jilbab pada dua ruang ini tentu saja memiliki perbedaan.

Dalam ruang pribadi dalam hal ini adalah rumah maka wanita dianjurkan mengenakan jilbab dan juga diperbolehkan mengenakan perhiasannya. Hal ini dimaksudkan untuk melayani suami saja. Namun, hal ini tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain termasuk karib kerabat yang telah dikenal sekalipun. Yang boleh terlihat adalah muka dan tangan saja. Ini berkaitan erat dengan tindakan preventif untuk menghindari terjadinya fitnah. Hal ini sejalan dengan kaidah sadu lizzaria'ah. Sehingga, apabila hendak masuk rumah seseorang dianjurkan untuk minta izin terlebih dahulu, agar terhindar dari melihat dari keadaan yang mestinya tidak boleh dilihat. Hal ini juga berkaitan erat dengan perintah untuk menahan pandangan dari hal yang tidak baik. (al-Maududi, tt, p. 269)

Sedangkan pada ruang publik di mana orang bertemu dan berjumpa, maka wanita menurut al-Maududi harus menutup seluruh tubuhnya termasuk muka dan telapak tangan dari pandangan orang-orang yang tidak baik dan menunjukkan bahwa dia adalah wanita terhormat. Argumentasi yang diajukan oleh al-Maududi adalah bahwa bahwa fitnah timbul mulai dari pandangan mata. Mata adalah pintu gerbang menuju pintu kejahatan, karena dengan perantara mata orang bisa tahu bahwa wanita ini seksi dan menawan sehingga muncul keinginan yang negatif dalam dirinya. (al-Maududi, tt, p. 270)

Secara umum seorang wanita diketahui cantik dan menawannya adalah dari wajah dan wanita dikatakan seksi apabila mempunyai tubuh yang aduhai. Oleh karena itu, ketika keluar dari wilayah privat, wajah ini harus ditutup dari pandangan orang lain terutama non mahram dan begitu juga dengan tubuhnya harus dibungkus dengan pakaian yang tertutup dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Sebab dikhawatirkan, akan mendatangkan fitnah bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri. Dengan begitu wanita muslimah akan tetap terjaga kehormatannya dan harga dirinya. (al-Maududi, tt)

Dari pendapat al-Maududi ini, dapat dilihat bahwa pendapat al- Maududi di samping sangat tekstual dan normatif juga sangat women oriented. Kesan yang didapat adalah bahwa wanita sangat tabu berada dalam ruang publik tanpa mengenakan pakaian dengan kriteria yang sangat ketat. Wanita seluruhnya adalah aurat, sehingga apapun yang ada pada tubuhnya harus ditutupi dengan jilbab. Hal ini mengindikasikan bahwa yang harus menjaga agar para laki-laki tidak terjebak melakukan dosa adalah kaum wanita.

Dalam pandangan al-Asymawi, tampak jelas sekali bahwa ia sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban agama yang bersifat tetap dan kontinyu. Menurutnya, penafsiran ayat tentang jilbab ini masih menjadi perdebatan (ikhtilaf) dan silang pendapat oleh para ahli fikih (ra’yu al-basar) atau bukan hukum agama yang jelas, tepat, dan pasti. Ada tiga ayat al-Qur'an yang ditafsirkan sebagai perintah penggunaan jilbab atas perempuan, serta dua hadis Nabi yang dijadikan landasannya.

Pertama, ayat hijab (kewajiban hijab), meskipun ayat tersebut ditujukan untuk istri-istri Nabi, ayat tersebut tetap berlaku bagi perempuan mukminah lainnya karena mengandung perintah kemuliaan akhlak, yang tentu tidak berlaku pengkhususan. Bagi yang menuntut peniadaan hijab, ayat tersebut tidak bersinggungan sama sekali dengan tradisi model penutup rambut bagi perempuan mukminah. Penamaan penutup kepala dengan hijab dan melandaskannya pada ayat tersebut merupakan tindakan salah kaprah karena hijab secara bahasa adalah al-satir (penutup tertentu/sekat), bukan jilbab atau penutup kepala. (Sa‟id, 2003, p. 37)

Kedua, ayat khimar, QS. An-Nur (24): 31, yakni anjuran untuk menjumbaikan kerudung ke dada sebagai koreksi atas tradisi perempuan yang memperlihatkan dadanya. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat al- Qur'an tersebut memerintah untuk bertutup dan telapak tangan. Bagi yang mendukung peniadaan kewajiban berjilbab, ayat ini meluruskan tradisi berbusana pada zaman itu dengan penekanan pada penutup dada dan agar tidak memperlihatkannya dan tidak ada sangkut pautnya dengan penutup kepala. (Sa‟id, 2003, p. 41)

Ketiga, ayat jalabib, QS Al-Ahzab (33):59, yakni perintah memanjangkan pakaian perempuan untuk membedakan perempuan merdeka dan budak agar tidak digoda oleh laki-laki. Bagi yang mendukung kewajiban berjilbab, ayat tersebut menyuruh seluruh perempuan mukminah-budak atau bukan-untuk menutup organ tubuh dan bertindak sopan. Bagi yang tidak mendukung, hukum yang tetap dari ayat tersebut adalah kesopanan dan tidak berlaku pamer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan perintah berjilbab. (Sa‟id, 2003, p. 42)

Dari keterangan di atas bahwa al-Asymawi secara tersirat juga menganjurkan pengenaan jilbab sebagai item fashion muslimah sebagai bagian dari busana yang sopan. Al-'Asymawi sama sekali tidak menyatakan bahwa jilbab tidak boleh dipakai karena ia adalah bagian dari masa lalu yang usang. Ia memang secara tegas menyatakan konsep jilbab adalah bukan dari budaya Islam, melainkan ia merupakan warisan dari masa pra Islam yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah Arab. Tradisi ini, sebagaimana telah disebutkan dalam latar belakang turunnya ayat ini merupakan ralat terhadap budaya berjilbab yang terjadi masa itu. (Salim, 1991, pp. 3-6)

Ketika ayat ini diturunkan yaitu ayat jilbab, mayoritas perempuan mengenakan jilbab dengan cara menjumbaikan kerudungnya ke arah punggung sehingga leher dan sebagian bagian dari dada perempuan itu terlihat. Lalu ayat ini turun agar para wanita memprioritaskan jumbaian kerudungnya ke arah dada sebagai koreksi terhadap tradisi yang ada ini. Makanya, al'Asymawi mengatakan bahwa jilbab bukanlah merupakan tradisi Islam secara genuin, namun jilbab merupakan budaya yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah Arab. (El-Guindi, 2003, pp. 112-113)

Namun, al-'Asymawi sama sekali tidak mengatakan bahwa jilbab tidak boleh dikenakan oleh wanita muslimah tetapi bukan sebagai yang wajib dalam menutup aurat. (Sa‟id, 2003, p. 44) Bahkan, penulis berasumsi bahwa sebagai seorang hakim agung, tidak mungkin ia akan berpendapat bahwa wanita boleh mempertontonkan auratnya ke sembarang orang dengan tidak mengenakan jilbab dan khimar. Karena, sebagai seorang ulama tentunya ia sangat mengetahui betapa sangat tidak terpujinya tindakan tersebut. Namun, sisi yang disorot oleh al-'Asymawi adalah dari segi historis dari keberadaan jilbab tersebut. Penulis berpendapat bahwa pendapat al-'Asymawi ini merupakan respon terhadap pendapat yang mengharuskan jilbab dengan segala karakteristiknya yang menurut al-'Asymawi sudah tidak tepat dengan kondisi konteks sekarang. Sehingga muncul pendapatnya bahwa hal seperti itu tidak dapat lagi dikatakan sebagai Shari’ah yang kemudian memunculkan kontrofersi di kalangan ulama ini.

Penulis setuju dengan pendapat al-'Asymawi yang mengatakan bahwa inti dari jilbab adalah identitas kemuslimahan yang bercorak pada kesederhanaan dan kepantasan dalam berbusana tanpa perlu menentukan model jilbab yang akan dipergunakan. Pilihan terhadap model diserahkan sepenuhnya kepada kaum wanita. Akan tetapi pengenaan jilbab tersebut tetap harus tetap mengacu pada kaidah–kaidah berbusana yang tidak mempertontonkan aurat seorang perempuan. Apabila hal ini telah dipenuhi, maka ciri-ciri busana yang baik dapat dikatakan sudah memenuhi syarat untuk menutup aurat.

Model yang digunakan adalah pengenaan jilbab dalam pengertian baju yang panjang dan tidak transparan yang tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dari tubuh wanita yang dikombinasikan dengan pengenaan jilbab yang menjuntai ke dada. Dengan demikian, ciri dari busana muslimah yang diinginkan oleh al-Maududi dan al-'Asymawi terpenuhi. Seharusnya seperti demikian seorang muslimah berbusana dalam kesehariannya.

 

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tentang posisi fashion dalam shari’ah dan budaya, maka penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Aspek-aspek fashion yang dapat menjadi budaya Islam adalah fashion yang memenuhi dimensi keseimbangan antara hal-hal yang bersifat ukhrawi dan duniawi, disenbut bersifat duniawi karena fashion sebagai ekspresi keindahan dan identitas budaya umat Islam. Misalnya dengan berpakaian yang baik dan sopan, seseorang lebih disegani oleh orang lain. Ia juga merasa bangga dengan hal itu. Di sisi lain disebut bersifat ukhrawi karena ia juga merupakan manifestasi ketaatan perintah agama Islam yang tertera dalam al-Qur‟an dan hadis yang tujuan secara shari‘ah-nya sebagai penjaga kehormatan seorang muslim di hadapan manusia dan Allah SWT. Dengan tidak menggunakan pakaian tipis dan ketat, seorang perempuan menunjukkan dirinya memiliki harga diri dan kehormatan yang sangat dijaganya.

Fashion merupakan salah satu shari’ah Islam yang tidak bisa ditolak keberadaannya oleh umat Islam dan sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk diabaikan urgensinya. Apalagi dengan berkembangnya zaman dan perubahan sosial budaya yang sangat cepat seperti saat ini. Fashion menjadi lebih mendesak keberadaannya sebagai salah satu entitas diri seorang muslim untuk tetap eksis dan memiliki pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu,  fashion sebagai shari’ah islam dapat dilihat dalam dua sudut pandang yaitu yang pertama fashion dilihat melalui kajian teks, berdasarkan tafsiran ulama yang terdapat dalam al-Quran dan hadis. Yang kedua fashion sebagai shari’ah dilihat dari sudut pandang historisitas.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Maududi, A. a.-A. (tt). al-Hijab. Beirut: Dar al-Fikr.

Anggrian, M., & Latifah, S. N. (2018). Komodikasi Hijab dalam Budaya Visual di Indonesia. PRABANGKARA Jurnal Seni Rupa dan Desain Volume 22, 2.

Barnard, M. (1996). Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender, ter. Idy Subandy Ibrahim dan Yosal Iriantara. Yogyakarta: Jalasutra.

Brenner, S. (1996). Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and 'The Veil'. American Ethnologist Volume 23, 676-678.

Depag. (1994). Al-Quan dad Terjemahannya. Semarang: PT Kumudasmoro Grafindo Semarang.

El-Guindi, A. (2003). Jilbab antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, Terj. Mujiburrahman. Jakarta: Serambi.

Habsari, S. U. (2015). Fashion Hijab dalam Kajian Budaya Populer. Jurnal PPKM II (2015) 126-134 ISSN: 2354-869X, 127.

Hamid, A. (2012). Fiqih Wanita. Jogjakarta: Diva Press.

Muhammad, H. (2002). Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS.

Nasional, T. P. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Sa‟id, M. (2003). Kritik Atas Jilbab, Terj. Novriantoni Kahar dan Opie Tj. Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.

Salim, H. (1991). Wanita Islam: Kepribadian dan Perjuangannya. Bandung: Rosdakarya.

Bagikan :

Tambahkan Komentar