Oleh : Tsania Salwa Maulida

Mahasiswi Ekonomi Syariah semester 5 INISNU Temanggung

Sejak  era  reformasi,  korupsi  menjadi  kejahatan  yang  mendapat  perhatian  dari masyarakat  luas  dan  mendapatkan  perhatian  untuk  ditangani  secara  serius.  Perhatian yang  besar  terhadap  kejahatan  korupsi  dikarenakan  dampak  yang  luar  biasa  terhadap masyarakat  dan negara  akibat  perilaku  korupsi.  Secara  umum  korupsi merupakanpenyalahgunaan kewenangan demi kepentingan pribadi atau orang lain. Lebih jauh lagi,  korupsi  dianggap  sebagai  perbuatan  busuk  dan  merupakan  salah  satu  dari  sekian banyak penyakit sosial.

Pada saat ini, perilaku korupsi telah menjalar ke dalam lingkup keluarga di mana terdapat beberapa pelaku korupsi yang berasal dari satu keluarga. Padahal, keluarga merupakan  pondasi  utama  di  dalam  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara.  Baik  atau buruknya karakter suatu bangsa, banyak ditentukan oleh konsep pendidikan dan interaksi di dalam keluarga. Namun, kenyataan yang terjadi sekarang adalah perilaku korupsi yang melibatkan  keluarga  semakin  banyak  dan  beragam. Sejumlah  kasus  korupsi bahkan memanfaatkan  keluarga  dalamhaltindak  pidana  pencucian  uang  hasil  korupsi. Selain itu,  terdapat  pula  kasus  korupsi  di  mana  keluarga  sebagai  pendorong  dari  perilaku korupsi itu sendiri.

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya fakta dari KPK, menunjukkan bahwa pada saat ini banyak pelaku korupsi yang berusia relatif muda yaitu di bawah 35 tahun sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat regenerasi pelaku korupsi. Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa padalevel masyarakat sampai lingkup yang terkecil yaitu keluarga, tidak mampu secara optimal memainkan perannya sebagai wadah penanamannilai-nilai  awal  anti  korupsi. Korupsi  di  dalam  keluarga  seharusnya  dapat dicegah  jika  masing-masing  anggota  keluarga  berani  untuk  membentengi  diri  dan anggota  keluarganya  dengan  nilai-nilai  anti  korupsi.  Namun,  untuk  mencapai  hal tersebut,  diperlukan  adanya  suatu  dorongan  yang  mampu  menggerakkan  masyarakat sampai dengan level terkecil untuk memerangi korupsi.

Komisi  Pemberantasan  Korupsi  (KPK)  dibentuk  sesuai  amanat  UU  nomor  30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai jawaban atas hambatan  yang ada pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini. Selain mendapat amanat untuk melakukan langkah penindakan, KPK juga diberi mandat untuk melakukan  tindakan  pencegahan  korupsi.  Selama  ini,  upaya  pencegahan  maupun pemberantasan korupsi pada sektor pelayanan publik dilakukan melalui perbaikan sistem dan managemen dalam rangka membatasi dan menutup celah pelaku korupsi. Program-program  peningkatan  integritas juga  merupakan  upaya  alternatifdalam  rangka  dengan sasaran individu dan masyarakat luas. Namun, berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut ternyata belum mencapai hasil maksimal jika tidak disertai dengan suatu konsep sosial  dan  budaya  yang  mampu  mendorong  tumbuh  dan  berkembangnya  sikap  mental anti  korupsi  di  tengah  masyarakat. 

Sehubungan dengan  hal  tesebut,  maka  diperlukan suatu gerakan sosial yang mengakar, berkelanjutan dan berorientasi jangka panjang yang mengusung nilai anti korupsi, bukan hanya gerakan yang sifatnya jargon atau kampanye yang sifatnya jangka pendek. Upaya pemberantasan korupsi, gerakan sosial (social movement)  yang luas dan mendalam  diperlukan  untuk  memangkas  korupsi  yang  terlihat  maupun  tidak  terlihat. Gerakan tersebut merupakan upaya masyarakat secara bersama-sama untuk melakukan koreksi  terhadap  kondisi yang  ada  dalam  rangka  menciptakan  kehidupan  yang  lebih baik.  Adapun  hasil  akhir  yang  diharapkan  dari  gerakan  sosial  tidak  hanya  sebatas perubahan sikap dan perilaku individu di dalam masyarakat, tetapi juga memunculkan tatanan  sosial  baru  yang  bebas  dari  korupsi.  Diharapkan  gerakan  sosial  ini  dapat mewujudkan budaya masyarakat Indonesia yang lebih berintegritas.

Strategi Pemberantasan Korupsi dengan Pendekatan Keluarga. Keluarga merupakan tempat pertama individu mendapatkan pendidikan sekaligus merupakan pondasi awal dalam pembentukan karakter. Ibarat sebuah rumah, bangunan yang pertama kali dibuat adalah pondasi rumah, pondasi yang kuat akan membuat rumah tidak  mudahroboh  meski  diterjang  angin  kencang.Rumah  juga  merupakan  tempat penanaman  ideologi  seseorang  terbentuk  pertama  kalinya.  Oleh  karena  itu,  keluarga menjadi alat yang sangat efektif dan sangat fundamental dalam menumbuhkan sikap anti korupsi  di  Indonesia.  Penanaman  sikap  anti  korupsi  berbasis  keluarga  sangat diperlukan karena hampir sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa tindak pidana  korupsi  hanya  terjadi  pada  kelompok  keluargaatau  masyarakat  yang  memiliki kekuasaan dan jabatan.

Keluarga  yang  umumnya  terdiri  dari  ayah,  ibu,  dan  anak-anaknya  merupakan unsur  terkecil  di  dalam  masyarakat. Bila  melihat  peran  keluarga  dalam  membentuk karakter seseorang, maka semua anggota keluarga mempunyai andil  yang sama. Peran ayah  dan  ibu  sebagai  otoritas  tertinggi  dalam  rumah  tangga  menjadi  sangat  sentral, terutama  peran  ibu,  karena  sebagian  waktu  anak  dihabiskan  di  rumah.  Orang  tua merupakan pihak  yang pertama dan utama di dalam melakukan internalisasi nilai-nilai terhadap anak. Dari keluarga, penanaman nilai-nilai karakter termasuk di dalamnya nilai kejujuran dan anti korupsi diteladani anak dari perilaku orangtuanya.

Hasil baseline studi dari KPK menekankan pentingnya peran pendidikan baik secara  formal  maupun  informal  di  dalam  upaya  pemberantasan  korupsi.  Selama  ini, fokus  perhatian  utama  pencegahan  perilaku  korupsi  adalah  pada  tatanan  pendidikan formal di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Padahal upaya penanaman nilai-nilai di anti korupsi pada lingkup pendidikan informal terutama di dalam keluarga tidak kalah penting dan menjanjikan hasil yang lebih maksimal karena keluarga memiliki peran yang signifikan  di  dalam  pembentukan  karakter  dan  penanaman  nilai-nilai  positif.  Karakter dan  nilai-nilai  moral  tersebut  amat  penting  sebagai  elemen  dasar  untuk  membentuk masyarakat  yang  anti  korupsi.  Sebagai  tambahan,memperkuat  pandangan  bahwa struktur  sosial  dan  budaya  memainkan  peran  penentu  terhadap  korupsi.  Hasil penelitian   tersebut   juga   mengkonfirmasi   bahwa   upaya-upaya   anti   korupsi harus mempertimbangkan  konteks  budaya  atau  nilai  di  masyarakat  dalam  rangka  efektivitas upaya tersebut.

Pendidikan keluarga memiliki andil yang besar dalam membangun karakter budaya anti korupsi. Keluarga yang kondisinya broken home ternya memiliki potensi yang besar kegagalannya membangun budaya anti korupsi terhadap anggota keluarganya hal ini dikarenakan rasa kepercayaaan dalam keluarga yang pudar. Demikian juga orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing yang cenderung mengkorupsi waktu di rumahnya ternyata juga berpotensi tidak dapat membangun budaya anti korupsi di anggota keluarga di rumah akrena dari hasil epngamatan anak-anak yang berada dalam lingkungan keluarga yang sibuk si anak juga pulang sekolah sering terlambat bermain semaunya karena tidak adanya keteladanan di rumah.

Demikian pula anak yang di tinggal orang tuanya karena meninggal dunia ternyata juga memiliki beban psikologis anak karakter anak bercermin pada lingkungan peragulan sehingga sangat sulit untuk membangun budaya anti korupsi anak.  Demikian juga anak yang di didik bukan oleh orang tuanya memiliki kecenderungan berkarakter sesuai dengan figur yang mendidiknya, karena itu jika anak didik oleh figur yang koruptor maka karakter anak juga koruptor akan tetapi jika figur yang mendidiknya tidak korupsi maka si anak juga tidak akan berkorupsi. Anak yang tinggal di pondok ternyata kedisiplinannya sebagian anak kedisiplinannya bersifat sama.

Bagikan :

Tambahkan Komentar