Ilustrasi Tempo.co

Oleh: Makhbub Hidayatur Rohman

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam INISNU Temanggung

 

Pernikahan merupakan adanya awal pertalian hubungan antara laki-laki dan perempuan yang secara lahir batin dengan tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada era ini, melaksanakan pernikahan adalah sesuatu yang masih berlaku sesuai dengan agamanya masing-masing. Kebanyakan pernikahan dilakukan atas dasar kesamaan, baik itu kesamaan dalam hal suka sama suka maupun kesamaan keyakinan atau agama. Namun tak jarang juga atas dasar kesamaan suka sama suka sehingga menepis kesamaan keyakinan atau agama.

Berdasarkan UU perkawinan no.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.  Artinya apabila hukum dalam agama yang dianutnya tidak boleh atau dilarang melakukan pernikahan beda agama maka secara otomatis pernikahan menjadi tidak sah. Namun nyatanya, tak jarang juga masyarakat Indonesia yang melanggar Batasan UU itu.

Dalam beberapa agama di Indonesia tentunya masing-masing mempunyai suatu hukum yang berbeda-beda sesuai dengan landasan hukum yang terdapat pada kitab sucinya. Pendapat dari berbagai agama terkait pernikahan berbeda-beda. Dalam tradisi Islam, dikuatkan dengan fatwa MUI, bahwa hukum yang paling kuat terkait pernikahan beda agama adalah haram. Hal ini didasarkan oleh dalil Al-Quran pada surah Al-Baqarah ayat 221 yang artinya, “Janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. Selain ini, dalil Al-Qur’an, hadis maupun ijma ulama masih banyak yang menyatakan adanya pelarangan terkait pernikahan beda agama.

Agama Katolikpun memiliki kententuannya. Menurut kitab Kanonik tahun 1917 kanon 1060 dalam Sri Wahyuni mengatakan bahwa: “Dengan sangat keras gereja di mana‐mana melarang perkawinan antara dua orang yang dibabtis, yang satu Katolik dan yang lain anggota dari sekte bidah atau skisma, dan bila ada bahaya murtad pada jodoh Katolik serta anaknya, maka juga dilarang oleh hukum Ilahi sendiri”. Dari keterangan ini, maka jelaslah bahwa dalam agama Katholik pun pernikahan beda agama juga merupakan larangan. Hal ini dikuatkan lagi dalam kanon 1070 yang berbunyi: “Tiadanya permandian sah sebagai halangan nikah yang mengakibatkan perkawina  orang Katolik dengan orang tak dibaptis menjadi tidak sah”.

Selain Islam dan Katolik, perkawinan dalam agama Hindu dimulai dengan ajaran mengenai samkara. Yaitu sebuah dasar yang mengatakan bahwa syarat-syarat pernikahan adalah wanita dan pria sama-sama beragama Hindu serta  pemberkahan keagamaan yang dipimpin oleh pemimpin agama. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa dalam agama Hindu terdapat ajaran samkara yang tentu saja bila dilaksanakan pernikahan beda agama maka hukumnya tidak boleh atau dilarang.

Dalam agama Budha, mengenai pernikahan terdapat pokok-pokok kebahagiaan yag terdiri atas empat kunci yaitu, Sama sadha (keyakinan yang sama), Sama sila (moralitas yang sama), Sama caga (memiliki kemurahan hati yang sama), Sama paisya (memiliki kebijaksanaan yang sama). Dapat di mengerti dalam agama Buddha pun menganjurkan untuk memiliki kesamaan dalam keyakinan. Dalam agama Buddha cenderung tidak ada larangan yang keras terkait pernikahan beda agama. Namun dalam ajaranya yang merupakan syarat bagi kebahagiaan suami isteri adalah berkeyakinan yang sama.

Setiap agama telah memiliki pandangannya masing-masing yang pada kenyataanya terlah perpandangan keras akan perkara ini.  Para ahli hukum menyatakan bahwa sejauh ini, dalam hukum perkawinan  terjadi kekosongan hukum. Hal ini dikarenakan bahwa dalam UU pernikahan atau perkawinan tidak mencantumkan adanya pernikahan beda agama. Namun secara garis besar bahwa dalam agama-agama di Indonesia telah melarang memiliki pasangan dengan berbeda agama.

Bagikan :

Tambahkan Komentar