Ilustrasi: Kompas.com

Oleh Hamidulloh Ibda

Menjelang tahun politik tahun 2024, umat Islam wajib tahun tentang hukum golput menurut Islam, atau merujuk dasar-dasar Islam perspektif agama dan kewarganegaraan. Tentu kita bertanya-tanya, apa hukum golput menurut Islam? Bagaimana hukum golput dalam Islam? Apakah hukum golput itu mubah, makruh, halal (boleh), atau hukum golput itu haram?

 

Golput, singkatan dari "golongan putih" atau "golongan putus tali," merujuk pada tindakan untuk tidak memberikan suara dalam pemilihan umum atau pemilu. Ini adalah isu yang sering kali memicu perdebatan, terutama ketika dilihat dari perspektif Islam. Dalam konteks ini, kita akan menjelaskan hukum golput menurut Islam dengan menggali pemahaman agama dan kewarganegaraan.

 

Sebelum membahas hukum golput dalam Islam, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan golput dan mengapa orang mungkin memilih untuk tidak memilih dalam pemilu. Golput dapat dipicu oleh beberapa faktor, seperti ketidakpuasan terhadap calon yang tersedia, ketidakpercayaan pada sistem politik, atau bahkan penolakan terhadap seluruh proses pemilihan itu sendiri.

 

Perspektif Islam tentang Kewarganegaraan

Islam mengajarkan pentingnya partisipasi aktif dalam urusan umat dan negara. Ada beberapa prinsip dalam Islam yang relevan dalam konteks.

 

Pertama, keadilan dan kepemimpinan yang adil. Islam mengajarkan pentingnya memiliki pemimpin yang adil dan berkomitmen untuk melindungi hak-hak warganegara. Oleh karena itu, berpartisipasi dalam pemilu dapat dianggap sebagai cara untuk memilih pemimpin yang akan mengemban tanggung jawab ini. Kedua, kewajiban untuk berkontribusi. Seorang Muslim memiliki kewajiban untuk berkontribusi positif dalam masyarakat dan negara. Ini termasuk memilih pemimpin yang akan membantu mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan sehari-hari.

 

Hukum Golput Menurut Islam

Tidak ada hukum yang secara langsung mengatur golput dalam Islam. Namun, beberapa ulama dan cendekiawan Islam telah mengemukakan pendapat yang berbeda tentang masalah. Pertama, mendukung partisipasi. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang Muslim seharusnya aktif dalam proses politik dan pemilihan. Mereka berargumen bahwa dengan tidak memilih, seseorang mungkin melewatkan kesempatan untuk memengaruhi perubahan positif dalam masyarakat. Kedua, menjaga prinsip-prinsip Islam. Sejumlah ulama juga mengatakan bahwa jika tidak ada calon yang memenuhi prinsip-prinsip Islam atau jika seluruh proses pemilihan dianggap korup, maka golput dapat dianggap sebagai tindakan proteksi terhadap prinsip-prinsip agama.

 

Selain itu, dalam Islam dianjurkan semua umatnya untuk mendukung pemerintahan yang baik. Hal ini menegaskan bahwa ikut mencoblos atau tidak golput itu sangat dianjurkan. Syekh M Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan bahwa umat Islam berkewajiban untuk menjaga keberlangsungan kepemimpinan di tengah masyarakat. Kewajiban ini bersifat syari, bukan aqli.

 

قوله (بالشرع فاعلم لا بحكم العقل) أي إن وجوب نصب الإمام بالشرع عند أهل السنة فاعلم ذلك

 

Artinya, “(Berdasarkan perintah syariat, patut diketahui, bukan berdasarkan hukum logika), maksudnya, penegakan pemerintahan merupakan kewajiban sesuai perintah syariat bagi kalangan Ahlussunnah wal jamaah. Pahamilah hal demikian,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 118).

 

Maka simpulannya umat Islam jika ingin mendukung kepemimpinan yang baik harus turut mencoblos, bukan golput. Ketiadaan kepemimpinan yang baik lahir dari apatisme dan sikap apolitis warga masyarakat yang tidak ikut andil di dalam perpolitik termasuk urun rembuk atau menggunakan hak suaranya.

 

Hukum golput menurut Islam tidak bersifat mutlak, dan pendekatan dapat bervariasi sesuai dengan pemahaman individu dan konteks sosial-politik. Namun, penting untuk diingat bahwa Islam mendorong partisipasi aktif dalam urusan kewarganegaraan, dan pemilihan pemimpin yang adil dapat dianggap sebagai kewajiban agama. Dalam menghadapi golput, Muslim sering kali dihadapkan pada pertimbangan etis dan politik yang kompleks, yang harus mereka pertimbangkan dengan bijak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan keadaan mereka

Bagikan :

Tambahkan Komentar