Oleh Risma Kumala Azhari

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah INISNU TEMANGGUNG

Di tengah kondisi kemerosotan moral dan lunturnya karakter di atas, di luar ada paham penyimpang yang berusaha memasukkan ajaran-ajarannya pada jiwa yang lemah dari segi agama. Ajaran yang ditawarkan memang berasal dari Al-Qur’an, namun ayatnya dimaknai secara sempit yang berdampak pada wajah damainya agama Islam diubah dengan wajah horor yang menebar teror.

Maka di saat seperti itu, kita butuh tongkat yang bisa menuntun ke arah jalan yang lurus yakni diinul Haq dengan melakukan Amar ma'ruf dan nahi mungkar dengan cara yang hikmah. Jika diibaratkan, NU adalah sebagai tongkat dan Aswaja adalah sebagai jalan yang lurus. Untuk menemukan tongkat tersebut kita harus mengikuti jalannya para ulama karena ulama adalah pewaris para Nabi. Tongkat estafet (amanah) perjuangan nabi telah dipasrahkan kepada para ulama, kemudian kitalah yang seharusnya menerima tongkat estafet tersebut untuk mempertahankan ajaran paham Aswaja, hingga akhirnya sampai pada finish dengan kesalehan sosial dan dengan akhir hayat yang husnul khotimah.

Siapa itu ulama ?

Lahirnya Nahdlatul Ulama tentunya sangat erat kaitanya dengan keberadaannya para ulama. Maka dari itu pembahasan mengenai ulama juga dirasa penting dalam mengenalkan paham Aswaja secara lebih luas.

Pertama, arti ulama dan kriterianya, secara lughawi ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim, yakni orang yang berpengetahuan, ilmuan ataupun saintis. Dalam pengertian warga nahdliyin kata ulama mempunyai arti yakni sebagai ahli ilmu pengetahuan agama Islam sekaligus sebagai tokoh dan pemimpin keagamaan. Sedang di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa ulama adalah mereka yang menguasai segala bidang ilmu, tidak terbatas ilmu agama, dan ilmunya menjadikan mereka semakin takut kepada Allah SWT. Sebagaimana yang telah tertulis dalam Al-Qur’an QS Al Fathir ayat 28 berikut:

“ sesungguhnya yang takut kepada Allah SWT. Saat diantara hamba-hambanya hanyalah ulama”.

Dalam perkembangan selanjutnya, ulama dijadikan sebagai tokoh yang memimpin politik, memimpin gerakan sosial dan juga memimpin gerakan melawan penjajah. Ulama juga disebut informal leader sebagai satu-satunya orang yang ditaati masyarakat di lingkungan yang dipimpinnya seperti pondok pesantren, madrasah dan sebagainya.

Gelar yang dialamatkan kepada ulama di masyarakat beragam, pertama, gelar wali diberikan pada ulama tingkat khos, yakni memiliki pribadi yang berkemampuan khusus. Gimana para wali juga dipanggil sunan (susuhunan = yang disuwuni) seperti halnya para raja. Hal ini berarti memiliki derajat seperti raja atau sultan yang dapat mengayomi dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kedua, gelar kyai, gelar ini sebagai kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Di samping itu, gelar kyai digunakan untuk seorang ulama desa yang mempunyai pengaruh besar. Adapun ulama yang masuk dalam lingkungan birokrat tradisional diberi gelar: penghulu, modin, kaum abdi dalem dan lain sebagainya.

 Kemudian di sini akan dijelaskan apa saja syarat seseorang hingga bisa disebut sebagai ulama paling tidak harus memenuhi lima kriteria yaitu:

Pertama, mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam.

Kedua, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.

Ketiga, memiliki akhlak mulia dan sifat-sifat ulama yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari seperti zuhud, qana'ah, amanah dan sifat-sifat mulia lainnya.

Keempat, berjuang untuk kemaslahatan umat, peka terhadap kepentingan umum, dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk meningkatkan agama Allah SWT.

Kelima, mampu menjadi teladan dan contoh bagi umat manusia dalam bertutur kata dan bertingkah laku.

Kemudian idealnya ulama itu berkarakter sebagai pewaris sifat nabi, yang tampil untuk mensosialisasikan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat, dengan mengedepankan sifat jujur (shidiq), dapat dipercaya atau tanggung jawab (amanah), menyampaikan ajaran (tabligh), dan memiliki kecerdasan (fathonah). Tingkah laku ulama akan membawa pada ketentraman (sakinah), kesejahteraan di alam (rahmat lil alam), dan kedamaian (ishlah), sehingga akan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Namun ulama bukanlah nabi yang ma’shum (dijaga dari perbuatan tercela) oleh Allah SWT., melainkan ulama adalah manusia biasa yang dapat tergoda oleh gemerlapnya dunia.

Peran penting para ulama

Ulama mempunyai peran yang cukup penting di masyarakat dan negara, karena ulama merupakan institusi yang meneruskan perjuangan nabi Muhammad saw. Seorang ulama dituntut berperan aktif dalam character building umat menjadi generasi yang matang, baik secara spiritual ataupun intelektual, karena kyai merupakan figur yang paling penting dari suatu masyarakat. Ia seringkali sebagai pengasuh, pendidik, dan pembimbing di masyarakat. Oleh karena itu sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan lingkungan masyarakat salah satunya bergantung pada kemampuan kyai sebagai agen kemajuan pembangunan dan perubahan sosial keagamaan.

Bidang keagamaan, para ulama yang menjalankan amanah itu kemudian melahirkan berbagai keilmuan murni Islam seperti tauhid, fiqih, tasawuf, tafsir, nahwu, hingga ilmu-ilmu alam seperti astronomi, falak, kedokteran, seni dan lain sebagainya. Semuanya itu perlu dipelajari dan diperkenalkan kembali dalam bahasa ilmu pengetahuan modern. Dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip Aswaja seperti tasamuh, tawazun, tawasuth dan iktidal. Semua itu harus dirasakan oleh masyarakat di segala aspek kehidupan dan diorientasinya adalah untuk mencapai keshalihan sosial.

 Dalam prosesnya, pertama membangun kepercayaan pada masyarakat melalui kemampuan dalam ilmu agama, kedua, senantiasa bertingkah laku dengan akhlak yang baik, ketiga, memiliki ketegasan serta keberanian dalam menghadapi segala macam gangguan yang mengancam dirinya dan lingkungannya. Jika dalam proses tersebut sudah terpenuhi barulah masyarakat mengakui keberadaannya dan secara berangsur-angsur masyarakat mulai berdatangan untuk berguru dan menimba ilmu darinya. Bahkan seorang ulama atau kyai menjadi rujukan hukum ketika masyarakat memiliki masalah dalam hal agama.

Bidang kemasyarakatan dan kenegaraan, dukungan NU terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai pilar bangsa merupakan wujud nyata dari rasa cinta tanah air tersebut. Dan nabi Muhammad saw telah menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Dukungan tersebut membangkitkan kesadaran bangsa akan arti penjajahan dari penindasan dan penjajahan kolonial kafir. Kemudian para ulama NU pada pasca kemerdekaan mencetuskan Tri ukhuwah sebagai prinsip dasar silaturahmi untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah dan Wathoniyah. Ukhuwah ini memiliki nilai strategis bagi NU untuk menjalankan prinsip kemasyarakatan dan kebangsaan yang bersendikan pada Tri ukhuwah yang menjadi pilar diantaranya sebagai berikut: Ukhuwah Isilamiyah (solidaritas atau persaudaraan Islam), Ukhuwah Wathoniyah (solidaritas atau persaudaraan kebangsaan), Ukhuwah Bashariyah atau insaniyah (solidaritas atau persaudaraan kemanusiaan).

 Yang perlu direnungkan dari Tri ukhuwah tersebut adalah berisi nilai-nilai ajaran Islam Aswaja, yakni mengajarkan persaudaraan dengan seluruh umat manusia, baik persaudaraan seagama, sebangsa, maupun sesama umat manusia. Hal itu menandakan bahwa islam itu tidak diskriminatif dan radikal tapi Islam itu menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi nilai toleransi antar umat beragama.

Bidang pendidikan dan ekonomi, begitu besar pengabdian para ulama dahulu yang mengajar lewat rumah surau dan masjid, hingga sekarang berkembang menjadi institut seperti pondok pesantren, madrasah, dan sekolah. Kemudian lewat pesantren para ulama menjadikan pelopor dalam melestarikan ajaran Islam Aswaja. Dengan cara mengajarkan kajian keagamaan melalui kitab kuning yang sering disebut oleh kalangan santri sendiri sebagai alat pokok untuk memperdalam agama. Dan yang menarik perhatian adalah ulama dalam menyikapi isu-isu dan tradisi modern seperti sekarang ini, ulama telah jauh-jauh hari membangun paradigma dalam menanamkan semangat untuk selalu berkreasi dan berinovasi. Paradigma yang digunakan yaitu “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”.

Sedang melalui bidang ekonomi juga menjadi perhatian ulama, karena NU sendiri lahir dari Nahdlatul Tujjar (gerakan dagang santri). Begitu pentingnya sektor ini, maka pembangunan ekonomi mesti berjalan di atas moral ekonomi yang ada. Sehingga para ulama pun merumuskan prinsip pembangunan ekonomi yang lebih dikenal dengan Mabadi’u Khoiri Ummah (prinsip pembangunan masyarakat) yakni: as-shidqu (kejujuran), al-amanah wa alwafa bil ahdi (tanggung jawab menepati janji), at-taawun (tolong menolong), al-adalah (keadilan) dan Al-Istiqomah (konsisten dan ulet).

Mabadiu Khoiri Ummah ini dibuat untuk mengingatkan kembali para suri tauladan Rasulullah SAW. Dalam membangun ketangguhan mental sebagai modal perbaikan ekonomi. Di samping itu juga untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), karena ukuran kuat lemahnya ekonomi tidak lepas dari tingkat kualitas sumber daya manusianya. Berkembangnya koperasi-koperasi di pondok pesantren, BMT (Baitul Mal wat Tamwil) merupakan salah satu bukti nyata kepedulian para ulama untuk memberdayakan ekonomi umat Islam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar