Oleh : Nurul Fadilah

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung

Perkembangan (moral development) melibatkan perkembangan pikiran, perasaan dan perilaku mengenai aturan serta kesepakatan tentang apa yang harus dilakukan dalam interaksi mereka dengan orang lain.

Perasaan moral, perasaan atau kecemasan dan rasa bersalah merupakan pusat perkembangan moral yang diajukan oleh teori psikologi Sigmund Freud, menurutnya untuk mengurangi kecemasan, hindari hukuman, dan pertahankan kasih sayang orangtua, anak-anak mengidentifikasi orangtua menginternalisasi standar benar-salah mereka, sehingga mereka mengembangkan super ego, elemen moral kepribadian. Rasa bersalah dapat memotivasi perilaku moral. Salah satu contoh emosi penting   yang menanggapi perasaan orang lain dengan bekal emosi yang bersuara dalam hati mengenai perasaan orang lain tersebut.

Penalaran Moral, menurut jean piaget anak-anak bermain kelereng untuk mempelajari bagaimana mereka memikirkan dan menggunakan aturan permainan. Ia juga bertanya kepada anak-anak tentang isu etis, misalnya pencurian, kebohongan, hukuman, dan keadilan. Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak mengalami dua tahap yang berbeda ketika mereka berfikir tentang moralitas.

Dari usia 4-7 tahun, anak-anak menampilkan moralitas heteronom, tahap pertama perkembangan moral adalah teori piaget. Anak-anak menganggap keadilan dan aturan sebagai sifat dunia yang tidak dapat berubah ataupun dihapus dari kontrol manusia.

Dari usia 7-10 tahun, anak-anak berada dalam masa transisi, menunjukkan sebagian fitur tahap pertama penalaran moral dan sebagian fitur tahap kedua, moralitas otonom.

Dari 10 tahun dan lebih tua, anak-anak menunjukkan moralitas otonom. mereka menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum diciptakan oleh manusia, dan dalam menilai suatu tindakan, mereka mempertimbangkan niat sang aktor dan konsekuensinya.

Menurut piaget anak menunjukkan moralitas heteronom, mereka menilai kebenaran dan kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan konsekuensinya, bukan niat dari pelakunya. Pemikir heteronom juga percaya pada keadilan imanen, yang dimana konsepnya bahwa jika sebuah peraturan dilanggar,hukuman akan segera dijatuhkan. Anak-anak percaya bahwa pelanggaran secara otomatis terhubung pada hukuman. Dengan demikian anak sering terlihat cemas setelah melakukan sesuatu yang salah, mengharapkan hukuman yang tidak terelakkan. Keadilan imanen juga berarti bahwa jika sesuatu yang tidak menguntungkan dialami seseorang, maka orang tersebut pasti sebelumnya telah melanggar aturan, anak-anak yang lebih tua merupakan otonomis moral yaitu mereka mengenali bahwa hukuman hanya terjadi jika ada seseorang menyaksikan kesalahan dan bahwa, saat itu hukuman tidak dapat dihindari9.

Piaget percaya bahwa pemehaman sosial datang melalui saling memberi dan menerima dari hubungan teman sebaya. Dalam kelompok teman sebaya, ketika orang lain memiliki kekuatan dan status yang sama dengan anak. Hubungan orang tua dan anak memiliki kekuatan jika orangtua kuat dan anak tidak maka lebih kecil kemungkinan meningkatkan penalaran moral pada anak.

Perilaku moral anak, perilaku moral berpegang bahwaproses penguatan, hukuman, dan imitasi menjelaskan perkembangan perilaku moral. Ketika anak- anak diberi imbalan bagiperilaku yang konsisten dengan hukum dan kesepakatan sosial, mereka cenderung untuk mengulangi perilaku tersebut.

Pengasuhan dan perkembangan moral anak, orangtua dalam pandang mereka, bertanggungjawab untuk menyediakan kesempatan pengambilan peran, konflik kognitif, dan aturan, namun teman sebaya memainkan peran utama dalam pembentukan moral anak. Sebuah strategi pengasuhan menjadi usaha proaktif yang penting untuk mencegah terjadinya potensi perilaku salah oleh anak-anak sebelum hal tersebut terjadi. Ada 4 gaya pengasuhan menurut Baumirind, Diana Baumirind bersikukuh bahwa orangtua tidak boleh menghukum atau menjauhi anak secara fisik. Sebaliknya, mereka harus mengembangkan aturan-aturan untuk anak-anak mereka dan penuh kasih terhadap mereka.

Pengasuhan Otoriter, adalah gaya orangtua membatasi dan menghukum ketika orangtua memaksa anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Orangtua yang otoriter sering memukul anaknya, dan menegakkan aturan-aturan kaku, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka, dan menunjukkan kemarahan kepada anak. Anak-anak dari orangtua yang otoriter sering tidak bahagia, takut, dan ingin membandingkan dirinya dengan oranglain, gagal untuk memulai aktivitas dan lemah dalam berkomunikasi. Anak laki-laki dari orang tua yang otoriter dapat berperilaku agresif.

Pengasuhan Otoritatif, adalah pengasuhan dengan mendorong anak untuk menjadi mandiri, tetapi masih menempatkan batasan dan kontrol atas tindakan mereka. Orangtua yang otorititatif dapat memeluk anak dengan cara yang menghibur dan berkata "kamu tahu bahwa seharusnya kamu tidak melakukan hal seperti itu, yuk, kita ngobrol tentang gimana cara nya biar kamu bisa menangani situasi itu dengan lebih baik lain kali". Anak- anak dari orangtua yang otoritatif sering gembira, terkendali, dan mandiri, serta berorientasi pada prestasi, mereka cenderung memelihara hubungan yang bersahabat dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan menangani stres dengan baik.

Pengasuhan lalai, merupakan gaya orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai mengembangkan rasa bahwa aspek lain kehidupan lebih penting dari pada mereka. Mereka sering memiliki harga diri yang rendah dan tidak matang, serta mungkin menunjukkan pola membolos dan kenakalan.

Pengasuhan permisif, gaya pengasuhan ketika orangtua sangat terlibat dengananak-anak mereka, tetapi menempatkan beberapa tuntutan atau kontrol atas mereka. Orangtua seperti ini membiarkan anak-anak mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Hasilnya anak-anak tidak pernah belajar untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan untuk mendapatkan keinginan mereka. Anak-anak yang orangtuanya permisif jarang belajar untuk menghormati oranglain dan mengalami kesulitan mengendalikan perilaku mereka, mereka juga mengalami kesulitan dalam hubungan teman sebaya.

Bagikan :

Tambahkan Komentar